Sejarah Singkat Pendidikan Di Aceh oleh Ibrahim Husein
oleh: (Prof. Ibrahim Husein, MA)
Perkembangan Pendidikan di Aceh dapat kita bagi dalam tiga masa yaitu sebagai berikut :
- Pendidikan pada masa kesultanan (1297 – 1910)
- Pendidikan pada masa kolonial Belanda (1910 – 1942)
- Pendidikan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945)
- Pendidikan pada zaman Republik Indonesia (1945 – Sekarang)
I. Pendidikan pada masa kesultanan
Sampai pada saat ini salah satu-satunya sumber tertulis yang yang sampai kepada kita tentang pendidikan di Aceh pada masa kerajaan atau kesultanan Aceh adalah HIKAYAT POCUT MUHAMMAD, karya salah seorang ulama sastrawan, diduga Teungku Lam Rukam. Buku itu bukan seluruhnya membicarakan tentang pendidikan, akan tetapi sebagian kecil dari isinya memuat beberapa keterangan tentang pendidikan di Aceh. Keseluruhan isi buku itu adalah kisah perang saudara antara Pocut Muhammad dengan Sultan Jamalul-Alam Badrul Munir, yang terjadi sekitar tahun 1735.
Buku tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh G.W.J. Drewes, seorang orientaslis Belanda pada tahun 1979, diterbitkan oleh Koninklijk Institut voor Taal, Land en Volkenkunde (Royal Institute of Linguistic and Anthropology), Leiden dan dicetak pada percetakan Martinus Nijhoff, Den Haag tahun yang sama.
Pada halaman 134 buku itu, yang berkenaan dengan pendidikan di Aceh adalah sebagai berikut :
1160
‘Oh sare trôh bak meunasah,
Geutamong leupah sigra-sigra
Murid teungku na nam reutôh,
Saré riyôh subra dônya
Na nyang ladom beuet Quru’an,
Ladom tuan masa-ilai
Ladom jibeuet jarumiyah,
Ladom jipinah matan fatihah
Ladom jibeuet kitab jawoe,
Ladom laloe bak poh cakra.
1165
Rangkang röt barat ureueng beuet nahu
Rangkang röt timu ureueng meuhija
Rangkang röt tunong beuet teusawôh
Èuleumèe halôh Hikam Eheuya
Meunan-meunan ban nyang babat
Ladôm Arab ladôm Jawoe
Di teungku meung..neupeutimang
Jeueb-jeueb rangkang waki neuh na
Teungku Waki tundok ulèe
Neu-eu lagèe ureueng meuhija
Dari sya’ir-sya’ir diatas kita dapat mengambil beberapa hal yang bersangkutan dengan sistem pendidikan di Aceh pada masa kesultanan ini, antara lain adalah :
- Tempat belajar
Tempat belajar di beunasah (meunasah) dan disekitarnya terdapat beberapa rangkang yang jumlahnya tergantung kepada tingkat dan cabang ilmu yang dipelajari.
- Pimpinan pendidikan
Pimpinan pendidikan terdiri dari teungku meunasah yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat. Sultan Aceh sangat menghargai pendapatnya dalam menjalankan sesuatu kepu-tusan Kesultanan, umpamanya berperang melawan musuh Sultan.¹) Untuk menjalankan pendidikan di Kampus (sejumlah rangkang-rangkang) teungku dibantu oleh wakil-wakilnya, sesuai dengan tingkatan ilmu yang diajarkan kepada murid-murid yang belajar di kampus tersebut.
- Para murid atau pelajar
Sesuai dengan keterangan yang tersurat dalam sya’ir tersebut, para murid yang belajar dilingkungan meunasah itu, terdiri dari rendah sampai ketingkat tinggi bahkan tingkat tingkat spelisialisasi dalam suatu ilmu agama. Tidak ada keterangan yang jelas apakah mereka itu mondok (tinggal) di kampus itu.
- Ilmu-ilmu yang dipelajari
Sejauh yang dapat kita pahami dalam sya’ir tersebut, para pelajar yang belajar di situ, adalah mulai dari kelompok yang masih “menghija” (mengija) yang belum cakap membaca Al-Quran, sampai kepada mereka mempelajari ilm-ilmu khusus, seperti tasawwuf, bahasa Arab dan bahasa Jawi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila murid-muridnya bisa berjumlah enam ratus orang.
- Jenjang Pendidikan
Sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam HIKAYAT POCUT MUHAMMAD itu, jenjang pendidikan di Aceh (Pendidikan Islam) pada zaman Kesultanan diatur sebagai berikut :
- Tingkat rendah
Tingkat terendah ini mempunyai rangkang sendiri dan dikepalai oleh seorang teungku, yang dalam kedudukannya sebagai wakil Teungku Syik untuk mengajar disitu. Pelajaran yang diajarkan adalah kemampuan membaca Al-Quran, yang memulai dengan pengenalan huruf lebih dahulu, kemudian menghija, dan selanjutnya meningkat kepada cara membaca Al-Quran.
- Tingkat menengah
Tidak ada penjelasan tentang pelajaran apa saja yang diberikan sesudah murid telah mampu membaca Al-Quran. Akan tetapi menurut kebiasaan dalam pendidikan agama di Aceh, sesudah mampu membaca Al-Quran para murid mempelajari bahasa Djawoe (Melayu). Kegunaan mem-pelajari bahasa ini adalah untuk mempelajari ilmu-ilmu agama dasar yang kebanyakkan tertulis dalam bahasa Djawoe. Dan pada tingkat ini murid mempelajari tingkat agama yang bernama Masailal Al-Muftadin.Selain dari bahasa Djawoe dan tingkat ini sudah dimulai mempelajari bahasa Arab, khususnya yang menyangkut dengan ilmu Nahwu, dan kitab yang dipakai untuk mempelajari ilmu ini adalah Al-Ajrumiyah.
- Tingkat Tinggi
Sesudah mengusai bahasa Arab, para mahasiswa mulai mempelajari ilmu agama yang lebih tinggi, terutama ilmu tasawwuf. Dalam buku hikayat tadi, tidak ada disinggung proses belajar. Namun demikian kita harus mengakui hasil pendidikan mereka pada masa itu yang telah dapat men-didik para ulama yang terkenal, seperti Hamzah Al- Fan-shuri, Abdur-Rauf Syiah Kuala, Syamsuddin As-Sumatrani dll.
II. Pendidikan di Aceh pada masa kolonial Belanda Pendidikan
Aceh pada masa ini dapat dibagi dalam dua bagian :
- Pendidikan umum yang diadakan oleh kolonial Belanda
- Pendidikan yang terdiri dari :
- Pesantren/Dayah
- Sekolah Agama (madrasah)
1. Pendidikan umum yang diadakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda
Meskipun tentara kolonial Belanda secara umum telah mulai dapat menaklukan perlawanan Aceh pada tahun 1910, namun tak ada niat dari pemerintah kolonial Belanda untuk mendirikan sekolah-sekolah guna mencerdaskan rakyat Aceh, selain dari pada niat jahatnya untuk menjajah dan memeras rakyat Aceh dengan berbagai cara yang dapat terjangkau oleh nafsu angkara mereka. Sekolah atau pendidikan yang diasuh oleh ulama dianggapnya sebagai duri dalam daging, karena menurut pandangan mereka tujuan pendidikan agama ini tidak lain kecuali untuk menanam rasa kebencian dalam jiwa anak-anak dan keturunan orang Aceh terhadap pemerintah kolonial Belanda. Bahkan pendidikan agama dianggap sebagai alat untuk membentuk dan pengumpulan kekuatan guna membalas dendam terhadap kafir Belanda. Oleh karena itu pendidikan agama harus dihapus di Aceh dan diganti dengan pendidikan lain yang sesuai dengan selera penjajah Belanda.
Sesuai dengan maksud tersebut, pemerintah kolonial Belanda mendirikan dua macam sekolah bagi rakyat Aceh. Pertama, sekolah rakyat biasa dan kedua, sekolah untuk golongan elite. Untuk rakyat biasa didirikanlah sekolah yang bernama “Sekolah Desa” (Volkschool) pada tahun 1907. Lama belajarnya tiga tahun dan mata pelajarannya berkisar sekitar membaca dan menulis dalam bahasa Melayu dengan menggunakan tulisan Latin. Sekolah ini tidak mendapat sambutan dari rakyat Aceh, karena berbau kolonial dan karena bencinya akan tingkah laku kaum kafir kolonial Belanda yang kejam serta membunuh para ulama dan muhajid yang mempertahan kemerdekaan dan kehormatan bangsa mereka. Mereka memboikot sekolah ini, karena dendam mereka yang tidak habis-habisnya terhadap kolonial Belanda. Tidak heran kalau pada waktu itu timbul didiri-yang anggapan bahwa siapa yang bersekolah disekolah kan oleh kolonial Belanda, mereka akan menjadi kafir. Sekolah yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda ini baru diterima oleh sebagian rakyat Aceh berbaringan dengan masuknya “Sarekat Islam” (S.I) pada tahun 1920. Perjuangan Sarekat Islam bertujuan disamping untuk melepaskan rakyat Aceh dari tindisan penjajahan, juga meninginkan rakyat Indonesia melek huruf dan menguasai berbagai ilmu penge-tahuan (modernisasi pendidikan). Dikaitkan dengan pengaruh perjuangan Sarekat Islam dan kesadaran rakyat Aceh terhadap pendidikan, maka jumlah sekolah desa itu bertambah dan jumlah muridnya meningkat menjadi 33.000 orang pada tahun 1935. 3) Mulai tahun 1938, Pemerintah Kolonial Belanda mem-buka Vervolgschool, yang masa belajarnya 5 tahun, sekolah ini merupakan sambungan Volkschool, tetapi tidak semua Volkschool menjadi Vervolgschool yang waktu belajarnya ditambah dari 3 tahun menjadi 5 tahun.
Apapun sekolah untuk golongan elite ialah sekolah H.L.S (Hollands Inlandsche School) yang pada tahun 1938 telah berjumlah sebanyak 8 buah di seluruh Aceh yang muridnya berjumlah 1.500 orang. Adapun murid-murid yang diterima disini adalah anak-anak yang menurut keyakinan orang Belanda akan menjadi pendukung politik mereka dikemudian hari. Mereka yang cakap akan dikirim ke Bukit Tinggi untuk meneruskan pendidikan disana. Pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah M.U.L.O di Kutaraja pada tahun 1930 sebagai tempat pendidikan bagi tammatan H.I.S di Aceh. Pemerintah Belanda tidak memberi kesempatan kepada para murid yang menyelesaikan pelajarannya di Vervolgschool untuk memperoleh pendidikan lanjutan seperti MULO. Oleh karena itu tampillah sekolah swasta yang didirikan oleh Muham-madiyah dan Taman Siswa yang masing-masing masuk di Aceh pada tahun 1928 dan 1932. Sekolah-sekolah swasta tersebut mempunyai program yang sama dengan HIS, bahkan sekolah Taman Siswa mendirikan sekolah setingkat MULO di Kutaraja dan Bireuen.
Kesimpulannya, Pemerintah Kolonial Belanda secara umum hanya mendirikan sejumlah Sekolah Dasar dan sebuah tingkat SMP, yaitu MULO di Kutaraja.
2. Pendidikan Agama pada masa Kolonial Belanda.
- Pesantren/Dayah
Sebenarnya pendidikan pesantren (dayah) adalah kelanjutan dari pendidikan yang sudah sudah ada pada masa Kesultanan Aceh. Sejak kerajaan Aceh terlibat perang dengan penjajah Belanda dari tahun 1873-1910, pendidikan dayah terhenti sama sekali, karena semua pimpinannya ikut berperang. Setelah perang berakhir, para ulama dan pemimpin-pemimpin agama kembali kekampung dan mengaktifkan kembali pendidikan Dayah. Pendidikan Dayah dapat kita katagorikan dalam dua bagian, yaitu pendidikan di meunasah dan pendidikan di rangkang. Pendidikan Meunasah berjalan dengan baik dan lancar, karena didukung oleh tiga faktor utama. Pertama, faktor kesadaran orang tua, karena mereka merasa bertanggung jawab atas anaknya sejak dini. Kedua, adalah faktor masyarakat. Masyarakat merasa bahwa lembaga pendidikan ini adalah miliknya, dan disini belajar semua anak anggota masyarakat tanpa kecuali, dengan tidak memandang status sosial dari setiap individu. Faktor ketiga, ibadah. Pendidikan ini dianggap sebagai suatu ibadah wajib atas setiap muslim. Segala sesuatu yang menyangkut dengan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab bersama dan dilaksanakan dengan penuh keikhlasan. Kewajiban guru adalah mengajar dan kewajiban murid adalah belajar disitu atas dasar perintah agama. Dengan demikian semua orang tua murid me-wajibkan anak-anak mereka belajar di meunasah ini adalah semacam wajib belajar yang kita kenal pada waktu ini sebagai compulsory education yang terdapat pada setiap yang telah maju.
Perbedaan diantara dua macam wajib belajar ini adalah : Pertama dilaksanakan atas dasar perintah agama. Kedua dilaksanakan atas dasar kewajiban mengikuti peraturan yang ditetapkan penerintah.
Pada masa itu masyarakat Aceh belum mengenal co-education, oleh karena itu anak-anak laki-laki belajar di meunasah, dibawah pimpinan peutua meunasah dan anak perempuan belajar di rumah guru, dibawah pimpinan seorang guru wanita, yang sering disebut dengan teungku Inong. Adapun tujuan pendidikan pada tingkat meunasah ini adalah untuk memberikan pengetahuan dasar agama. yang harus diketahui oleh setiap orang Islam. Oleh karena itu pendidikan pada tingkat ini terdiri dari kemampuan membaca Al-Quran, menghafal beberapa surat pendek Juz Amma yang harus dibaca pada waktu mengerjakan shalat, Selain dari pada itu diajarkan pula ilmu-ilmu dasar me-laksanakan rukun-rukun Islam, seperti shalat, mengucapkan dua kalimat syahadat, puasa dan keterampilan yang berkenaan dengan tingkah laku dan akhlak mulia.
- Pendidikan Rangkang
Berbeda dengan pendidikan meunasah, pendidikan rangkang itu biasanya terpisah dengan lingkungan rumah tangga atau kampung halaman para santri atau pelajar tingkat dayah. Pendidikan tingkat ini (rangkang atau dayah) tidak terdapat pada setiap desa bahkan pada setiap kecamatan. Salah satu sebabnya ialah karena pendidikan rangkang itu terdapat di dayah (pesantren) yang didirikan oleh seorang teungku atau ulama. Biasanya Dayah ini didirikan dikampung atau ditempat ulama itu sendiri. Pendidikan rangkang ini adalah pendidikan lanjutan dari pendidikan dasar yang terdapat di meunasah. Ilmu yang dipelajari ditingkang ini adalah ilmu-ilmu yang lebih tinggi dari pendidikan awal tadi, seperti mempelajari bahasa Arab (atau yang lebih populer sebagai ilmu alat) yang terdiri dari ilmu nahwu dan saraf. Apabila para santri telah menguasai ilmu alat tadi mereka dibenarkan menyambung pendidikan-nya ditingkat yang sebut dengan bale, dibawah pimpinan Teungku di Bale.
Pendidikan tingkat bale ini, sudah merupakan tingkat spelisailisasi dalam ilmu agama, dalam bidang ilmu Figh. Tafsir, Hadist, Tasawwuf dan lain-lain. Belajar pada tingkat bale ini selain dari belajar yang masih berada dibawah pim-pinan seorang Teungku Syik dalam memahami pengertian-pengertian sukar yang terdapat dalam kitab-kitab tertentu, juga terdapat cara belajar dengan cara Teungku Syik me-milih masalah-masalah tertentu atau masalah yang timbul dalam masyarakat, kemudian dibahas bersama, dimana Teungku Syik bertindak sebagai moderator (pemandu). Belajar seperti ini adalah meniru sistem pendidikan Ma’had ‘Ulya pada masa Kerajaan Islam Timur Tengah. Kadang-kadang pula khalifah mengundang para ulama ke Istana guna memecahkan masalah yang pelik-pelik yang terjadi dalam masyarakat.
- Pendidikan Madrasah
Pengaruh kebangkitan semangat nasionalisme baik yang datang dari dalam maupun dari luar negeri ke Aceh telah mendorong para pemuda untuk memperluas wawasan ilmu pengetahuan, dalam arti tidak terbatas dalam mempelajari ilmu agama saja.
Kedatangan Serikat Islam ke Aceh membawa kesegaran berfikir orang Aceh, yaitu supaya bersatu dengan suku-suku lain bangsa Indonesia untuk menantang penjajahan Belanda. Selain dari perkumpulan yang datang dari Jawa menganjurkan agar mengubah siasat perjuangan orang Aceh dari memanggul senjata kepada bergabung dan me-ngukuhkan persatuan dan persaudaraan diantara sesama bangsa Indonesia, terutama kaum muslimin. Himbauan Serikat Islam ini dapat diterima sebagian rakyat Aceh. Cabang Serikat Islam yang pertama didirikan di Lhok-seumawe pada tahun 1920. Kedatangan Serikat Islam ini telah membawa udara segar dan pengalaman yang meng-untungkan rakyat dalam bidang ekonomi, agama dan pendidikan. Mereka telah berani menandingi dan meng-hadapi orang-orang Cina yang diberi hak monopoli oleh Pemerintah kolonial untuk menguasai perdagangan di Aceh.
Pemimpin Aceh pada waktu itu menyadari bahwa merebut kemerdekaan tidak cukup dengan memiliki semangat dan sentimen agama saja, akan tetapi mereka harus memiliki ilmu-ilmu modern. Disamping itu sistem pendidikan harus dirubah sehingga kurikulum pendidikan bukan hanya terdiri dari ilmu agama dan bahasa Arab saja, akan tetapi harus dilengkapi dengan ilmu-ilmu dan pengetahuan yang lain. Oleh karena itu didirikanlah madrasah-madrasah yang pada hakekatnya masih merupakan pendidikan agama, hanya kurikulumnya sudah diperluas dengan ilmu-ilmu yang baru seperti Sejarah Umum, Sejarah Islam, Sejarah Indonesia, Tata Negara, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Aljabar, Ilmu Ukur, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.
Pendidikan untuk mempelajari ilmu modern disamping mempelajari ilmu agama telah berkembang sejak tahun 1926, dan untuk itu telah didirikan beberapa sekolah, seperti Madrasah Al-Irsyad di Lhokseumawe dan dibe-berapa tempat lain, akan tetapi tidak berusia lama disebabkan bermacam-macam faktor.
Diantara madrasah-madrasah yang mempunyai pengaruh besar membawa perubahan dalam pendidikan agama di Aceh adalah Madrasah Sa’adah Al-Abadiyah (M.S.A.) yang mula-mula didirikan di Garot pada tahun 1929 dan kemudian dipindahkan ke Blang Paseh (Kelapa Satu) Sigli pada tahun 1930. Kedua, adalah Madrasah Al-Muslim yang didirikan di Matang Glumpang Dua, pada tahun 1930. Ketiga, adalah Perguruan Djadam yang didirikan pada tahun 1931 di Montasiek. Keempat, adalah Perguruan Islam di Seulimeum yang didirikan pada tahun 1926. Disamping itu masih banyak madrasah-madrasah dengan program yang sama yang bertebar diseluruh Daerah Aceh, antara lain : Darul Huda di Bambi, Darul Ma’arif di Garot, MSA di Beureunun, Madrasah Ibtidaiyah di Teupin Raya. Pembaharuan pendidikan agama dari sistem dayah menjadi sistem madrasah merupakan sutu kemajuan yang besar artinya bagi kemajuan Daerah Aceh, karena dari pendi-dikan ini lahirlah pejuang-pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Tidak dapat dilupakan pula munculnya Normal Islam Institut (N.I.I) di Bireuen pada tahun 1939, merupakan suatu langkah maju dalam bidang pendidikan agama di Aceh. Normal Islam sebagai suatu jenis dari pen-didikan guru, telah mendidik guru-guru agama yang cakap dalam jumlah besar dan disebarkan kesekolah-sekolah agama dan madrasah yang ada diseluruh Aceh. Bila kita tinjau lebih jauh lagi, ternyata Normal Islam bukan sekedar mencetak guru-guru agama di Aceh, akan tetapi juga telah membentuk dan melahirkan para pemimpin yang mengisi jabatan-jabatan dalam pemerintahan pada masa tahun-tahun pertama dari Republik Indonesia.
Selain Normal Islam Institut Bireuen, juga MIM (Ma’had Iskandar Muda) yang didirikan oleh T.P Polem di Lampaku, merupakan Perguruan Islam tingkat menengah yang kedua di Aceh.
Dari segi lain dapat kita lihat bahwa Normal Islam Bireuen dan MIM Lampaku adalah Perguruan Islam yang tertinggi (tingkat menengah) di Aceh pada zaman kolonial, disamping sekolah MULO yang merupakan tempat belajar tingkat menengah umum bagi anak-anak golongan elite dengan jumlah murid yang sangat terbatas pula.
III. Pendidikan pada pendudukan Jepang
Tentara Jepang menduduki Aceh hanya dalam masa 32 tahun, karena itu tidak sempat menjalankan politik pendidikannya di daerah ini. Dari gerak gerik pemerintah Jepang selama 3 tahun ini, dapat kita duga pemerintah Jepang mempunyai rencana pendidikan yang besar, yaitu memasukan Indonesia kedalam Asia Raya ciptaan Jepang. Untung saja Jepang dikalahkan oleh Sekutu. sebelum rencananya terlaksana.
Namun demikian ada beberapa catatan yang penting selama 3 1/2 tahun yang dilakukan tentara Jepang itu, antara lain adalah :
- Menghapus semua sekolah yang berbau Belanda. Sekolah HIS dan Europescheschool, dijadikan sekolah rakyat dan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar diganti dengan bahasa Indonesia. Sekolah MULO di Kutaraja dijadikan Sekolah Menengah biasa (Tyugakko).
- Bahasa Jepang diajarkan pada tiap-tiap sekolah, lagu Kimigayo, wajib dipelajari dan diajarkan disemua sekolah tanpa kecuali. Nyanyian dalam bahasa Jepang diajarkan juga pada semua Sekolah Rakyat.
- Para guru diwajibkan mempelajari Jepang. Kursus bahasa Jepang dibuka dimana-mana. Disamping pula sebuah Sekolah Guru yang dalam bahasa Jepang disebut Sihan Gakko. Sekolah agama diperbolehkan berjalan seperti biasa dan dianjurkan mempelajari bahasa Jepang bagi sekolah-sekolah yang ada gurunya.
Pada waktu itu terdapat dua sekolah guru, yaitu Sihan Gakko Kutaraja dan Sekolah Normal Islam Bireuen. Kalau ada ulang tahun Kerajaan Jepang yang diadakan di Kutaraja, kedua sekolah guru di undang ikut hadir, untuk ikut pertandingan atletik dan kegiatan olahraga lainnya.
Salah satu gejala sosial yang berkenaan dengan pendidikan pada masa pendudukan Jepang ini, sebagian dari pemuda Aceh memperoleh kesempatan untuk masuk pendidikan militer Jepang, dengan mendaftarkan diri sebagai Giyugun yang dipusatkan di Lhokseumawe dan beberapa tempat lainnya di Aceh. Banyak pemuda Aceh yang menggunakan kesempatan ini, antara lain adalah Syamaun Gaharu, Hasan Saleh. Hasballah Haji, dan lain-lain.
IV. Pendidikan Aceh Pada masa Republik Indonesia.
Secara garis besarnya pendidikan di Aceh pada masa Republik Indonesia adalah sama dengan apa yang ada di daerah-daerah lain di seluruh tanah air.
Sesudah kita memperoleh kemerdekaan, pendidikan bukan lagi suatu rahmat yang hanya dinikamti oleh segolongan kecil manusia elite saja, akan tetapi semua warga negara dimana saja ia berada, pendidikannya dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara, Bab XIII, pasal 31. Dalam ayat (1) dinyatakan: “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran,” Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan atau sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang-Undang”.
Dan pada saat ini sedang diusahakan sistem wajib belajar, dengan maksud terjamin pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia. Saat ini kita Bangsa Indonesia telah mempunyai Undang-Undang Pendidikan, yang mengatur sistem pendidikan nasional Indonesia.
*****o0o****
Daftar Footnotes
- G.W.J. Drewes: Hikayat Pocut Muhammad. The Waque Martinus Nijhoff, 1979, halaman 134.
- Anthony Reid, The Blood Of The People. Oxford Universey Press 1946, halaman 21.
- Ibid: Anthony Reid, The Blood Of The People, halaman 22.
- Ibid: Anthony Reid, The Blood Of The People, halaman 24,