A. Kurikulum Fleksibel
1. Pengertian Kurikulum Fleksibel
Secara etimologis, pengertian kurikulum fleksibel dapat diambil dari kata kurikulum dan fleksiberl. Kurikulum yang dimaksud adalah sesuai dengan definisi kurikulum yang tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 19, “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan.” Sementara kata fleksibel diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu lentur, mudah dibengkokkan, luwes, mudah dan cepat menyesuaikan diri. Rao dan Meo (2016) mengatakan bahwa apa yang dinamakan fleksibel kurikulum adalah sebuah program yang ditujukan agar peserta didik mendapatkan akses sesuai dengan kebutuhan dan kapasitasnya. Jonker, Marz, dan Vogt (2020) juga sependapat dengan Rao dan Meo tentang arti Fleksibel Kurikulum. Mereka menegaskan bahwa fleksibel kurikulum dikonsepkan berdasarkan kemampuan beradaptasi dan kemudahan akses dari kurikulum terhadap kebutuhan peserta didik dan kapasitas mereka.
Dengan semakin banyaknya keberagaman peserta didik di sekolah maka kurikulum yang fleksibel sangat diperlukan. Cheong (2013) mengatakan bahwa fleksibilitas dari kurikulum biasanya terjadi di seputaran peserta didik yaitu tentang apa pilihan yang tersedia bagi peserta didik dan bagaimana pilhan tersebut mempengaruhi pembelajaran mereka. Menurut Collis and Moonen (2001) dengan adanya kurikulum yang fleksibel ini peserta didik dapat mengelola sendiri proses pembelajaran dan lingkungan belajarnya. Oleh karena itu, kurikulum fleksibel yang dimaksud dalam tulisan ini adalah seperangkat rencana atau program yang bersifat lentur, luwes, dan dapat disesuaikan dengan keadaan, kapasitas, dan kebutuhan peserta didik yang beragam sebagai pedoman dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Sejalan dengan pengertian kurikulum ini, kurikulum fleksibel dapat ditinjau dengan mempertimbangkan fungsi kurikulum itu sendiri. Menurut Alexander Inglis, dalam Hamalik 2011) kurikulum dapat diklasifikasikan berdasarkan 6 fungsinya:
- Persiapan, maksudnya adalah kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi selanjutnya.
- Penyesuaian, artinya kurikulum yang dibangun harus mampu memberikan arahan agar peserta didik dapat beradaptasi dan mengatasi masalah/isu yang mereka hadapi di lingkungan sekitar secara fleksibel.
- Integrasi, dalam hal ini kurikulum harus dapat membangun pribadi yang memiliki pengetahuan dan keterampilan secara utuh, sehingga dapat berintegrasi dengan masyarakat di sekitar secara lokal maupun global secara fleksibel. Hal ini dapat diwujudkan melalui pendekatan multidisiplin dan interdisiplin antar mata pelajaran.
- Diferensiasi, maksudnya adalah kurikulum diimplementasikan dalam suasana pembelajaran yang disesuaikan dengan keadaan peserta didik, dengan tetap memberikan hak pendidikan yang sama untuk semua peserta didik sesuai dengan kebutuhan dan perbedaan setiap individu.
- Pemilihan, artinya kurikulum yang memberikan keleluasan kepada peserta didik untuk memilih program yang sesuai dengan minat dan kemampuannya, sehingga kurikulum harus menyediakan berbagai pilihan program bagi peserta didik.
- Diagnostik, maksudnya adalah kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan peserta didik untuk mampu menerima kekuatan (potensi) dan kelemahan dirinya.
Berdasarkan keenam fungsi kurikulum yang di atas, fleksibilitas kurikulum muncul pada fungsi penyesuaian, integrasi, diferensiasi dan pemilihan. Oleh karena itu sudah selayaknya kurikulum yang fleksibel dirancang untuk memenuhi fungsi-fungsi tersebut.
Penerapan kurikulum fleksibel di sekolah memberikan manfaat baik kepada guru, peserta didik, dan bahkan sekolah itu sendiri. Manfaat kurikulum fleksibel ini adalah:
- Peserta didik dapat mengembangkan potensi sesuai dengan minat dan bakatnya karena peserta didik dapat mengikuti pembelajaran sesuai dengan kebutuhannya yang unik.
- Peserta didik dapat menentukan apa, kapan, di mana, dan bagaimana ia akan memelajari materi-materi yang akan dibahas.
- Peserta didik belajar bertanggung jawab atas kurikulum yang sudah dipilihnya.
- Iklim belajar akan menjadi kondusif dan menyenangkan karena peserta didik mengerjakan tugas sesuai dengan minat dan pilihannya.
- Guru dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik karena ia sudah mengerti karakteristik peserta didik di kelasnya dengan lebih baik.
- Guru tidak mengalami kesulitan untuk memotivasi para peserta didiknya dalam pembelajaran karena semua yang dikerjakan oleh mereka sesuai dengan kebutuhan dan kemauan mereka.
- Sekolah – sekolah swasta akan terbantu mendapatkan pesertapeserta didik baru pada setiap awal tahun pelajaran karena para peserta didik mengetahui adanya kebebasan dari mereka untuk menentukan program mereka sendiri dalam kurikulum ini, tanpa beban paksaan.
2. Penerapan Kurikulum Fleksibel pada Proses Pembelajaran
Kurikulum fleksibel jika diterapkan dalam proses pembelajaran di setiap kelas akan menghasilkan adanya proses pembelajaran yang juga bersifat lentur, luwes, dan mengikuti keadaan serta kebutuhan peserta didik. Lee dan McLoughlin (2010) mendefinisikan pembelajaran fleksibel sebagai “seperangkat pendekatan pendidikan dan sistem yang berkaitan dengan pemberian pilihan, kenyamanan, dan personalisasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Secara khusus, pembelajaran fleksibel memberikan pembelajar dengan pilihan tentang di mana, kapan, dan bagaimana pembelajaran terjadi, dengan menggunakan berbagai teknologi untuk mendukung proses belajar mengajar.”
Dalam proses implementasi kurikulum fleksibel, Barber A.H (2014) menyatakan pentingnya pendekatan yang tepat sebagai pondasi. Elemen yang perlu diperhatikan antara lain kesiapan guru, pendidikan profesional guru, dan desain kurikulum. Barber menambahkan bahwa prioritas utama dalam kurikulum fleksibel adalah keberagaman format instruksi pembelajaran bagi siswa, sehingga pengalaman belajar siswa menjadi lebih beragam sesuai dengan karakteristik siswa. Keunikan yang muncul pada kurikulum fleksibel dapat ditemukan dalam satu atau lebih sesi pembelajaran pada satu pertemuan, pada satu semester, pada sesi pengayaan, maupun pada sesi pembelajaran ekstrakulikuler.
Pembelajaran yang fleksibel memiliki beberapa ciri, yaitu:
- Menawarkan pilihan belajar yang kaya bagi peserta didik dari berbagai dimensi studi (Goode et al., 2007).
- Menerapkan pendekatan konstruktivisme yang berpusat pada peserta didik yang ditunjukkan dengan pergeseran dari guru yang mengambil tanggung jawab belajar ke peserta didik yang mengambil tanggung jawab ini juga (Lewis & Spencer, 1986; Goode, 2007).
- Pelajar diberikan berbagai pilihan dan mengambil lebih banyak tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri.
Kelenturan pada kurikulum dapat dilakukan pada delapan aspek berikut.
a. Kapan dan di mana pembelajaran itu terjadi
Ketika pelajar mengikuti pembelajaran (Collis et al., 1997), memulai dan menyelesaikan suatu materi (McMeekin, 1998), berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran (Collis et al., 1997; Collis, 2004; Casey, 2005), laju studi (Collis, 2004; Casey & Wilson, 2005) bisa fleksibel. Peserta didik ditawarkan pilihan berdasarkan kebutuhan mereka (misalnya, belajar di malam hari atau akhir pekan). Lokasi peserta didik melaksanakan kegiatan pembelajaran dan mengakses materi pembelajaran juga bisa fleksibel di mana saja dan kapan saja melalui perangkat seluler, seperti di kampus, rumah, transportasi umum, bandara atau bahkan di pesawat (Collis et al., 1997; McMeekin, 1998; Gordon, 2014).
b. Apa dan bagaimana peserta didik akan belajar
Hal ini memungkinkan peserta didik untuk menentukan bagian dan urutan konten sesuai dengan keinginan mereka, jalur pembelajaran, bentuk orientasi mata kuliah, ukuran dan cakupan mata kuliah melalui modulasi konten (Collis et al., 1997; Collis, 2004; Casey & Wilson, 2005; Gordon, 2014).
c. Bagaimana cara menyampaikan instruksi
Penyampaian yang fleksibel menawarkan berbagai cara dan tempat peserta didik dapat mengakses materi pembelajaran yang sesuai (Collis et al., 1997; Lundin, 1999; McMeekin, 1998). Peserta didik dapat mengalami pembelajaran berbasis kampus, pembelajaran berbasis web, atau keduanya melalui teknologi yang berbeda, seperti Augmented Reality (AR).
d. Strategi apa yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan pembelajaran?
Pilihan peserta didik dapat ditawarkan menggunakan beberapa pendekatan instruksional, seperti ceramah dengan tutorial, studi independen, diskusi, kelompok seminar, debat, pendekatan penemuan yang dipimpin peserta didik, dan pendidikan gamifikasi (Gordon, 2014).
e. Jenis sumber belajar apa yang harus disediakan untuk peserta didik?
Sumber belajar yang dibuat oleh peserta didik, perpustakaan, bahkan sumber berkualitas tinggi dari web juga bisa menjadi pilihan potensial (Collis 2004; Casey, 2005).
f. Teknologi apa yang benar-benar berguna untuk pembelajaran, pengajaran dan administrasi?
Berbagai alat web 4.0 dapat digunakan untuk membantu pelajar menghasilkan konten dan berinteraksi dengan rekan, seperti blog, wiki, dan jejaring sosial. Selain itu, beberapa media komunikasi berbasis teknologi, seperti email dan aplikasi pesan instan, membuat pekerjaan instruktur dan staf administrasi jauh lebih nyaman. Jenis teknologi yang digunakan di berbagai sekolah di China selama wabah Covid-19 berbeda-beda sesuai dengan infrastruktur dan lingkungan sekolah.
g. Kapan dan bagaimana memberikan penilaian dan evaluasi?
Fleksibilitas tersebut dapat ditunjukkan dengan metode asesmen seperti presentasi, makalah penelitian, proyek tim, penilaian sejawat, dan tes standar (misalnya, beberapa pilihan). E-portfolio juga merupakan salah satu metode yang dapat memberikan keleluasaan bagi mahapeserta didik untuk memperbaharui bukti-bukti yang mereka miliki perkembangan dan pencapaian (Gordon, 2014).
h. Dukungan dan layanan apa yang harus disediakan untuk peserta didik dan instruktur?
Peserta didik bisa mendapatkan bantuan melalui meja bantuan, tatap muka atau pertemuan online dengan tutor, sesi bantuan kelompok dan melalui alat chatting real-time berbasis video
B. Pembelajaran Berdiferensiasi (differentiated instruction)
1. Pengertian Pembelajaran Berdiferensiasi
Dalam Undang-undang No 20 Tahun 2002 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa pengembangan kurikulum secara berdiversifikasi dimaksudkan memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi dan kekhasan potensi yang ada di daerah untuk mengakomodasi berbagai keragaman yang ada termasuk peserta didik.
Keragaman layanan dari tinjauan perbedaan karakteristik peserta didik disebut dengan diferensiasi pembelajaran. Ketika peserta didik datang ke sekolah, mereka memiliki berbagai macam perbedaan baik secara kemampuan, pengalaman, bakat, minat, bahasa, kebudayaan, cara belajar, dan masih banyak lagi perbedaan lainnya. Oleh karena itu, tidak adil rasanya jika guru yang mengajar di kelas hanya memberikan materi pelajaran dan juga menilai peserta didik dengan cara yang sama untuk semua peserta didik yang ada di kelasnya. Guru perlu memperhatikan perbedaan para peserta didik dan memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya.
Pembelajaran berdiferensiasi merupakan satu cara untuk guru memenuhi kebutuhan setiap peserta didik karena pembelajaran berdiferensiasi adalah proses belajar mengajar dimana peserta didik dapat mempelajari materi pelajaran sesuai dengan kemampuan, apa yang disukai, dan kebutuhannya masing-masing sehingga mereka tidak frustasi dan merasa gagal dalam pengalaman belajarnya (Breaux dan Magee, 2010; Fox & Hoffman, 2011; Tomlinson, 2017). Dalam pembelajaran berdiferensiasi, guru harus memahami dan menyadari bahwa tidak ada hanya satu cara, metode, strategi yang dilakukan dalam mempelajari suatu bahan pelajaran. Guru perlu menyusun bahan pelajaran, kegiatan-kegiatan, tugas-tugas harian baik yang dikerjakan di kelas maupun yang di rumah, dan asesmen akhir sesuai dengan kesiapan peserta didik-peserta didik dalam mempelajari bahan pelajaran tersebut, minat atau hal apa yang disukai peserta didikpeserta didiknya dalam belajar, dan bagaimana cara menyampaikan pelajaran yang sesuai dengan profil belajar peserta didik-peserta didiknya.
Jadi dalam pembelajaran berdiferensiasi ada 3 aspek yang bisa dibedakan oleh guru agar peserta didik-peserta didiknya dapat mengerti bahan pelajaran yang mereka pelajari, yaitu aspek konten yang mau diajarkan, aspek proses atau kegiatan-kegiatan bermakna yang akan dilakukan oleh peserta didik di kelas, dan aspek ketiga adalah asesmen berupa pembuatan produk yang dilakukan di bagian akhir yang dapat mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran.
Pembelajaran berdiferensiasi berbeda dengan pembelajaran individual seperti yang dipakai untuk mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Dalam pembelajaran berdiferensiasi guru tidak menghadapi peserta didik secara khusus satu persatu (on-one -on) agar ia mengerti apa yang diajarkan. peserta didik dapat berada di kelompok besar, kecil atau secara mandiri dalam belajar.
Walaupun banyak tokoh pendidikan membicarakan hal ini, namun pada tulisan kali ini akan dibahas ide dan hasil karya dari Carol Tomlinson, seorang penggagas utama dari pembelajaran berdiferensiasi ini.
2. Ciri-ciri Pembelajaran Berdiferensiasi
Association for Supervision and Curriculum Development (2011) menyadur Tomlinson sebagai pionir dari pembelajaran berdiferensiasi dengan menuliskan bahwa ada beberapa karakteristik dasar yang menjadi ciri khas dari pembelajaran berdiferensiasi ini. Ciri-ciri tersebut dapat dilihat melalui tabel di bawah ini: (ASCD, 2011).
Tabel 3.1 Ciri-ciri pembelajaran berdiferensiasi
Ciri-ciri | Penjelasan dari ciri-ciri | |||
Bersifat proaktif | Guru secara proaktif dari awal sudah mengantisipasi kelas yang akan diajarnya dengan merencanakan pembelajaran untuk peserta didik yang berbeda-beda. Jadi bukan menyesuaikan pembelajarannya dengan peserta didik sebagai reaksi dari evaluasi tentang ketidakberhasilan pelajaran sebelumnya. | |||
Menekankan kualitas daripada kuantitas | Dalam pembelajaran berdiferensiasi, kualitas dari tugas lebih disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Jadi bukan berarti anak yang pandai setelah selesai mengerjakan tugasnya akan diberi lagi tugas tambahan yang sama, namun ia diberikan tugas lain yang dapat menambah keterampilannya. | |||
Berakar pada asesmen | Guru selalu mengases para peserta didik dengan berbagai cara untuk mengetahui keadaan mereka dalam setiap pembelajaran sehingga berdasarkan hasil asesmen tersebut, guru dapat menyesuaikan pembelajarannya dengan kebutuhan mereka. | |||
Menyediakan berbagai pendekatan dalam konten, proses pembelajaran, produk yang dihasilkan, dan juga lingkungan belajar. | Dalam pembelajaran berdiferensiasi ada 4 unsur yang dapat disesuaikan dengan tingkat kesiapan peserta didik dalam mempelajari materi, minat, dan gaya belajar mereka. Ke empat unsur yang disesuaikan adalah konten (apa yang dipelajari), proses (bagaimana mempelajarinya), produk (apa yang dihasilkan setelah mempelajarinya), dan lingkungan belajar (iklim belajarnya) | |||
Berorientasi pada peserta didik | Tugas diberikan berdasarkan tingkat pengetahuan awal peserta didik terhadap materi yang akan diajarkan sehingga guru merancang pembelajaran sesuai dengan level kebutuhan peserta didik. Guru lebih banyak mengatur waktu, ruang, dan kegiatan yang akan dilakukan peserta didik daripada menyajikan informasi kepada peserta didik. | |||
Merupakan campuran dari pembelajaran individu dan klasikal | Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk kadang-kadang belajar bersamasama secara klasikal dan dapat juga belajar secara individu. | |||
Bersifat hidup | Guru berkolaborasi dengan peserta didik terus menerus termasuk untuk menyusun tujuan kelas maupun individu dari para peserta didik. Guru memonitor bagaimana pelajaran dapat cocok dengan para peserta didik dan bagaimana penyesuaiannya. |
Sumber: (ASCD, 2011)
3. Arti penting Pembelajaran Berdiferensiasi
Pembelajaran yang berdiferensiasi memungkinkan guru untuk memberi peserta didik dukungan yang mereka butuhkan, yang sangat mungkin berbeda-beda satu sama lain. Alih-alih menyatukan mereka dalam satu kelompok besar di kelas dengan satu cara untuk semua, pembelajaran berdiferensiasi yang diberikan dalam kelompok belajar yang lebih kecil memudahkan guru untuk melihat peserta didik mana yang telah menguasai tujuan pelajaran dan telah memiliki keterampilan untuk melanjutkan pembelajaran. Di saat yang sama, guru juga dapat melihat peserta didik yang masih membutuhkan dukungan atau intervensi.
Catlin Tucker (2011) menjelaskan pentingnya pembelajaran diferensiasi ke dalam tiga poin, yaitu:
- pembelajaran yang berdiferensiasi menantang peserta didik yang cerdas untuk menggali pembelajaran secara lebih dalam. Disisi lain pembelajaran berdiferensiasi juga menyediakan dukungan bagi peserta didik tingkat bawah atau peserta didik dengan ketidakmampuan belajar – baik yang teridentifikasi maupun yang tidak teridentifikasi;
- memberi kesempatan peserta didik untuk menjadi tutor sebaya. Hal ini memperkuat pemahaman peserta didik yang telah menguasai materi sambil memberikan dukungan bagi peserta didik yang masih kesulitan. Gaya belajar timbal balik dan kolaboratif semacam ini adalah cara guru untuk memanfaatkan kekuatan di kelas; dan
- sama halnya dengan ukuran pakaian di toko yang tidak akan selalu pas dengan ukuran tubuh konsumen, guru juga perlu memahami bahwa satu pendekatan standar untuk mengajar tidak akan memenuhi kebutuhan semua atau bahkan sebagian besar peserta didik. Tanpa upaya untuk memvariasikan instruksi untuk memenuhi kebutuhan individu setiap peserta didik, kurikulum pasti akan membosankan dan membingungkan bahkan membebani. Pembelajaran berdiferensiasi adalah kunci untuk menjangkau semua peserta didik.
4. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Berdiferensiasi
Dalam pembelajaran berdiferensiasi ada beberapa prinsip dasar yang harus diingat oleh guru dalam penerapannya. Tomlinson (2013), menjelaskan ada 5 prinsip dasar yang berhubungan dengan pembelajaran berdiferensiasi. Kelima prinsip itu dapat disimpulkan seperti Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Prinsip dasar pembelajaran berdiferensiasi Sumber: diadaptasi Tomlinson, Carol A. (2017)
a. Lingkungan Belajar
Lingkungan belajar yang dimaksud meliputi lingkungan fisik sekolah dan kelas dimana peserta didik menghabiskan waktunya dalam belajar di sekolah. Iklim belajar merujuk pada situasi dan kondisi yang dirasakan peserta didik saat belajar, relasi, dan berinteraksi dengan peserta didik lain maupun gurunya. Di dalam pembelajaran guru harus memberikan respons kepada peserta didik sesuai dengan kesiapan, minat, dan profil belajar mereka supaya kebutuhan mereka dalam belajar terpenuhi. Guru perlu memiliki koneksi dengan peserta didiknya sehingga ia dapat mengenali profil peserta didik yang diajarnya baik dalam hal kesiapan mereka dalam menerima pelajaran, minat apa yang dimiliki peserta didiknya untuk dapat dengan mudah menerima pelajaran, dan bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikan pelajaran kepada peserta didik sesuai dengan gaya belajar mereka masing-masing.
Prinsip ini mengharuskan guru memperhatikan kenyamanan dan keamanan para peserta didik di kelasnya. Fisik kelas perlu ditata dengan baik sesuai dengan kebutuhan pelajaran. Kursi dan meja belajar peserta didik harus disesuaikan bentuknya dengan pelajaran saat itu. Misalnya pengaturan kursi dan meja untuk diskusi kelompok kecil tentu saja berbeda dengan kursi untuk melakukan debat. Iklim belajar harus diupayakan agar terdapat rasa saling percaya, menghormati satu dengan yang lainnya, pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat dalam pelajaran, pengajaran untuk tekun dan bekerja keras dalam mengikuti pelajaran dan mengerjakan tugas yang diberikan, dan kesempatan untuk berefleksi tentang apa yang telah dikerjakan atau dipelajari di kelas. Semua orang di dalam kelas baik guru maupun para peserta didik harus memiliki pemikiran bahwa mereka semua harus bertumbuh dan tidak ada yang tertinggal. Para peserta didik yang pandai pun harus merasa bertumbuh di kelas sehingga mereka tidak merasa bosan berada di kelas. Setiap orang di dalam kelas juga harus memiliki relasi yang baik satu dengan yang lainnya, jadi tidak ada peserta didik yang merasa terisolasi dan tidak terpenuhi kebutuhannya.
Di samping memiliki relasi dan koneksi dengan peserta didik, guru juga perlu membuat peserta didiknya menaruh kepercayaan terhadap dirinya. Hattie dalam Tomlinson (2013) menyatakan bahwa kepercayaan dari peserta didik diperoleh guru dengan cara:
1) memberikan respek yang benar terhadap nilai, kemampuan, dan tanggung jawab dari peserta didik;
2) memberikan optimisme kepada peserta didik bahwa mereka memiliki kemampuan yang besar untuk mempelajari materi pelajaran yang diberikan; dan
3) aktif dan mendukung peserta didik secara nyata agar mereka dapat sukses.
b. Kurikulum yang berkualitas
Di dalam kurikulum yang berkualitas tentu saja harus memiliki tujuan yang jelas sehingga guru dapat tahu apa yang akan dituju di akhir pembelajaran. Di samping itu fokus guru dalam mengajar adalah pada pengertian peserta didik, bukan pada apa materi yang dihafalkan mereka. Yang terpenting adalah pemahaman terhadap materi pelajaran yang ada di benak peserta didik sehingga dapat diterapkan dalam kehidupannya. Kurikulum haruslah membawa peserta didik kepada pengertian yang tepat tentang materi yang diajarkan, bukan kepada seberapa banyak peserta didik dapat menghafal materi yang diberikan. Di dalam kurikulum juga tergambarkan keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran melalui tugastugas yang diberikan dan asesmen yang dikerjakan oleh peserta didik. Kurikulum juga seharusnya bersifat teaching up yang artinya tidak ada satupun peserta didik yang tertinggal atau berhenti dalam pengajaran. Bagi para peserta didik yang memiliki kemampuan lebih, guru harus menantang mereka mengerjakan tugas lain untuk mengembangkan keterampilan mereka. Sementara bagi para peserta didik yang memiliki kemampuan yang kurang. Guru harus membantu mereka mengerjakan tugas-tugas mereka sehingga mereka dapat mencapai tujuan pembelajaran yang ditentukan.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh guru adalah bagaimana kurikulum yang ada dapat menantang semua peserta didiknya baik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, yang sedang, maupun di bawah rata-rata. Bagi peserta didik yang berada di atas rata-rata, guru perlu menantang mereka dengan pemikiran-pemikiran lain yang lebih mendalam tentang materi yang dibahas sehingga mereka tidak akan jenuh dan bosan dalam mempelajarinya.
Sementara untuk peserta didik yang berada di bawah rata-
rata, guru perlu memikirkan langkah-langkah konkrit yang perlu dilakukan untuk dapat menolong mereka selangkah demi selangkah dalam memahami materi pelajaran yang disampaikan dan mencapai tujuan pembelajaran.
c. Asesmen berkelanjutan
Asesmen pertama yang dilakukan oleh guru adalah asesmen di awal pelajaran sebelum membahas suatu topik pelajaran. Fungsi dari asesmen awal adalah mengetahui sampai sejauh mana peserta didik memahami bahan atau materi pelajaran yang akan dipelajari dan juga mengukur sejauhmana kesiapan/kedekatan peserta didik terhadap tujuan pembelajaran. Jadi Kesiapan belajar yang dimaksud lebih mengacu pada pengetahuan awal atau pre-knowledge para peserta didik, bukan pada kecerdasan intelektual mereka. Cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk asesmen awal ini adalah dengan:
1) meminta peserta didik mengisi lembar KW. Di kolom K (Know) guru menanyakan hal-hal apa yang telah diketahui peserta didik tentang materi pelajaran yang akan dibahas. Kemudian dalam kolom W (Want to know), peserta didik menuliskan apa saja yang mereka ingin ketahui dari materi yang akan dibahas saat itu. Memberikan pertanyaan apa yang mereka ketahui tentang materi pelajaran yang akan diajarkan;
2) Brainstorming dengan peserta didik sebelum memulai pelajaran untuk menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan materi pelajaran yang akan dipelajari. Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut guru dapat mengetahui kesiapan peserta didik dalam mempelajari materi tersebut;
3) Memberikan pre tes kepada peserta didik tentang materi yang akan dipelajari sehingga guru mengetahui kemampuan awal peserta didiknya; dan
4) Membuat kontrak belajar dimana masing-masing peserta didik menuliskan apa sumber bahan yang akan dipakai untuk mempelajari materi pelajaran, bagaimana ia akan mempelajari materi pelajaran, dan sampai sejauh mana ia mengetahui tentang bahan atau materi yang akan dipelajari.
Asesmen kedua yang perlu dilakukan adalah asesmen formatif yaitu asesmen untuk mengetahui apakah masih ada materi yang belum jelas, sulit dimengerti oleh para peserta didik. Asesmen formatif ini bersifat diagnostik karena melalui asesmen formatif ini guru dapat mengetahui apakah para peserta didik sudah mengerti materi pelajaran yang dibahas, masalah-masalah apa yang dihadapi peserta didik sehingga sulit mengerti materi pelajaran, apa yang perlu dilakukan oleh guru untuk membantu peserta didik, apakah guru sudah mengajar dengan menggunakan media atau metode yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik atau apakah ada tingkah laku atau cara guru yang membuat sulit peserta didik mengerti materi pelajaran, dan bahkan membantu mereka lebih mudah mengerti materi pelajaran. Jadi asesmen formatif ini biasanya dilakukan bukan untuk memberikan nilai dalam bentuk angka seperti nilai ulangan yang bersifat kuantitatif, tapi lebih berupa penilaian kualitatif, yaitu dengan memberikan pertanyaan uraian singkat di mana mereka dapat mengemukakan pendapat mereka.
Kemudian selama pembelajaran berlangsung guru memperhatikan bagaimana peserta didiknya belajar, apakah ada yang perlu dibantu dalam mengerjakan tugas yang diberikan atau perlu dijelaskan ulang instruksi dalam tugas yang diberikan. Setelah pembelajaran berakhir, guru kembali melakukan evaluasi sebagai penilaian hasil belajar di akhir mempelajari suatu materi pembelajaran. Guru dapat melakukan berbagai macam cara untuk evaluasi akhir pembelajaran, tidak hanya selalu bergantung pada ulangan yang seperti biasa dilakukan oleh guru sebagai satu-satunya cara menilai hasil akhir dari pembelajaran peserta didik. Guru dapat meminta anak membuat suatu produk tertentu yang misalnya berupa video, poster, maket, blog, lagu, puisi, proyek kemanusiaan, kampanye suatu gerakan, dan lain-lain.
d. Pengajaran yang responsif
Melalui asesmen formatif guru dapat mengetahui apa kekurangan-kekurangannya dalam membimbing peserta didiknya untuk memahami isi pelajaran. Setelah mengetahui hal-hal tersebut guru harus merespons dan mengubah pengajarannya sesuai dengan kebutuhan para peserta didik yang ada di kelasnya. Oleh karena itu, guru dapat memodifikasi rencana pembelajaran yang sudah dibuat dengan kondisi dan situasi lapangan saat itu sesuai dengan hasil dari asesmen yang dilakukan sebelumnya. Guru perlu juga memberikan akses dan petunjuk yang jelas kepada peserta didik di mana mereka mendapatkan materi pelajaran yang kredibel. Guru perlu menjelaskan tugas yang harus dikerjakan dengan jelas beserta rubrik penilaian yang akan dipakai, kapan waktu pengumpulan, dan di mana harus dikumpulkan sehingga peserta didik mengetahui ekspektasi guru terhadap tugas tersebut. Karena pengajaran lebih penting dari kurikulum sekolah sendiri, maka guru harus memberikan responsnya terhadap hasil pembelajaran yang sudah dilakukan. Respons dari guru adalah menyesuaikan pelajaran berikutnya sesuai dengan kesiapan, minat, dan juga profil belajar peserta didik yang guru dapatkan melalui asesmen di akhir pelajaran.
e. Kepemimpinan dan Rutinitas di kelas
Guru yang baik adalah guru yang dapat mengelola kelasnya dengan baik. Kepemimpinan di sini diartikan bagaimana guru dapat memimpin peserta didiknya agar dapat mengikuti pembelajaran dalam iklim pembelajaran dan situasi yang kondusif, melalui kesepakatan kelas yang ditetapkan bersama. Sedangkan rutinitas di kelas mengacu pada keterampilan guru dalam mengelola atau mengatur kelasnya dengan baik melalui prosedur dan rutinitas di kelas yang dijalankan peserta didik setiap hari sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Hal-hal yang dapat dilakukan oleh guru misalnya:
1) meletakkan materi dan bahan pelajaran yang dibutuhkan peserta didik agar mudah dijangkau;
2) memberikan arahan yang jelas dalam setiap tugas yang harus dikerjakan peserta didik karena tidak semua peserta didik mengerjakan tugas yang sama;
3) menjaga agar suara percakapan peserta didik yang sedang berdiskusi dalam kelompok tidak saling mengganggu satu dengan lainnya;
4) menyediakan cara kepada peserta didik bagaimana meminta bantuan guru ketika guru sedang membantu peserta didik lainnya;
5) menjelaskan kepada peserta didik apa yang mereka harus lakukan setelah mereka selesai mengerjakan tugas yang diberikan;
6) mengatur bagaimana peserta didik tahu kapan harus membantu temannya yang kesulitan dalam pembelajaran; dan
7) memberitahu peserta didik bagaimana meletakkan barang-barang atau materi pelajaran yang sudah dipakai dengan teratur dan rapi.
Sumber :
Purba, Mariati dkk 2021. Naskah Akademik Prinsip Pengembangan Pembelajaran Berdiferensiasi (Differentiated Instruction) Pada Kurikulum Fleksibel Sebagai Wujud Merdeka Belajar, Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Republik Indonesia. Jakarta.