A. Kurikulum Fleksibel
1. Pengertian Kurikulum Fleksibel
Secara etimologis, pengertian kurikulum fleksibel dapat diambil dari kata kurikulum dan fleksiberl. Kurikulum yang dimaksud adalah sesuai dengan definisi kurikulum yang tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 19, “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan.” Sementara kata fleksibel diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu lentur, mudah dibengkokkan, luwes, mudah dan cepat menyesuaikan diri. Rao dan Meo (2016) mengatakan bahwa apa yang dinamakan fleksibel kurikulum adalah sebuah program yang ditujukan agar peserta didik mendapatkan akses sesuai dengan kebutuhan dan kapasitasnya. Jonker, Marz, dan Vogt (2020) juga sependapat dengan Rao dan Meo tentang arti Fleksibel Kurikulum. Mereka menegaskan bahwa fleksibel kurikulum dikonsepkan berdasarkan kemampuan beradaptasi dan kemudahan akses dari kurikulum terhadap kebutuhan peserta didik dan kapasitas mereka.
Dengan semakin banyaknya keberagaman peserta didik di sekolah maka kurikulum yang fleksibel sangat diperlukan. Cheong (2013) mengatakan bahwa fleksibilitas dari kurikulum biasanya terjadi di seputaran peserta didik yaitu tentang apa pilihan yang tersedia bagi peserta didik dan bagaimana pilhan tersebut mempengaruhi pembelajaran mereka. Menurut Collis and Moonen (2001) dengan adanya kurikulum yang fleksibel ini peserta didik dapat mengelola sendiri proses pembelajaran dan lingkungan belajarnya. Oleh karena itu, kurikulum fleksibel yang dimaksud dalam tulisan ini adalah seperangkat rencana atau program yang bersifat lentur, luwes, dan dapat disesuaikan dengan keadaan, kapasitas, dan kebutuhan peserta didik yang beragam sebagai pedoman dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Sejalan dengan pengertian kurikulum ini, kurikulum fleksibel dapat ditinjau dengan mempertimbangkan fungsi kurikulum itu sendiri. Menurut Alexander Inglis, dalam Hamalik 2011) kurikulum dapat diklasifikasikan berdasarkan 6 fungsinya:
- Persiapan, maksudnya adalah kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi selanjutnya.
- Penyesuaian, artinya kurikulum yang dibangun harus mampu memberikan arahan agar peserta didik dapat beradaptasi dan mengatasi masalah/isu yang mereka hadapi di lingkungan sekitar secara fleksibel.
- Integrasi, dalam hal ini kurikulum harus dapat membangun pribadi yang memiliki pengetahuan dan keterampilan secara utuh, sehingga dapat berintegrasi dengan masyarakat di sekitar secara lokal maupun global secara fleksibel. Hal ini dapat diwujudkan melalui pendekatan multidisiplin dan interdisiplin antar mata pelajaran.
- Diferensiasi, maksudnya adalah kurikulum diimplementasikan dalam suasana pembelajaran yang disesuaikan dengan keadaan peserta didik, dengan tetap memberikan hak pendidikan yang sama untuk semua peserta didik sesuai dengan kebutuhan dan perbedaan setiap individu.
- Pemilihan, artinya kurikulum yang memberikan keleluasan kepada peserta didik untuk memilih program yang sesuai dengan minat dan kemampuannya, sehingga kurikulum harus menyediakan berbagai pilihan program bagi peserta didik.
- Diagnostik, maksudnya adalah kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan peserta didik untuk mampu menerima kekuatan (potensi) dan kelemahan dirinya.
Berdasarkan keenam fungsi kurikulum yang di atas, fleksibilitas kurikulum muncul pada fungsi penyesuaian, integrasi, diferensiasi dan pemilihan. Oleh karena itu sudah selayaknya kurikulum yang fleksibel dirancang untuk memenuhi fungsi-fungsi tersebut.
Penerapan kurikulum fleksibel di sekolah memberikan manfaat baik kepada guru, peserta didik, dan bahkan sekolah itu sendiri. Manfaat kurikulum fleksibel ini adalah:
- Peserta didik dapat mengembangkan potensi sesuai dengan minat dan bakatnya karena peserta didik dapat mengikuti pembelajaran sesuai dengan kebutuhannya yang unik.
- Peserta didik dapat menentukan apa, kapan, di mana, dan bagaimana ia akan memelajari materi-materi yang akan dibahas.
- Peserta didik belajar bertanggung jawab atas kurikulum yang sudah dipilihnya.
- Iklim belajar akan menjadi kondusif dan menyenangkan karena peserta didik mengerjakan tugas sesuai dengan minat dan pilihannya.
- Guru dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik karena ia sudah mengerti karakteristik peserta didik di kelasnya dengan lebih baik.
- Guru tidak mengalami kesulitan untuk memotivasi para peserta didiknya dalam pembelajaran karena semua yang dikerjakan oleh mereka sesuai dengan kebutuhan dan kemauan mereka.
- Sekolah – sekolah swasta akan terbantu mendapatkan pesertapeserta didik baru pada setiap awal tahun pelajaran karena para peserta didik mengetahui adanya kebebasan dari mereka untuk menentukan program mereka sendiri dalam kurikulum ini, tanpa beban paksaan.
2. Penerapan Kurikulum Fleksibel pada Proses Pembelajaran
Kurikulum fleksibel jika diterapkan dalam proses pembelajaran di setiap kelas akan menghasilkan adanya proses pembelajaran yang juga bersifat lentur, luwes, dan mengikuti keadaan serta kebutuhan peserta didik. Lee dan McLoughlin (2010) mendefinisikan pembelajaran fleksibel sebagai “seperangkat pendekatan pendidikan dan sistem yang berkaitan dengan pemberian pilihan, kenyamanan, dan personalisasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Secara khusus, pembelajaran fleksibel memberikan pembelajar dengan pilihan tentang di mana, kapan, dan bagaimana pembelajaran terjadi, dengan menggunakan berbagai teknologi untuk mendukung proses belajar mengajar.”
Dalam proses implementasi kurikulum fleksibel, Barber A.H (2014) menyatakan pentingnya pendekatan yang tepat sebagai pondasi. Elemen yang perlu diperhatikan antara lain kesiapan guru, pendidikan profesional guru, dan desain kurikulum. Barber menambahkan bahwa prioritas utama dalam kurikulum fleksibel adalah keberagaman format instruksi pembelajaran bagi siswa, sehingga pengalaman belajar siswa menjadi lebih beragam sesuai dengan karakteristik siswa. Keunikan yang muncul pada kurikulum fleksibel dapat ditemukan dalam satu atau lebih sesi pembelajaran pada satu pertemuan, pada satu semester, pada sesi pengayaan, maupun pada sesi pembelajaran ekstrakulikuler.
Pembelajaran yang fleksibel memiliki beberapa ciri, yaitu:
- Menawarkan pilihan belajar yang kaya bagi peserta didik dari berbagai dimensi studi (Goode et al., 2007).
- Menerapkan pendekatan konstruktivisme yang berpusat pada peserta didik yang ditunjukkan dengan pergeseran dari guru yang mengambil tanggung jawab belajar ke peserta didik yang mengambil tanggung jawab ini juga (Lewis & Spencer, 1986; Goode, 2007).
- Pelajar diberikan berbagai pilihan dan mengambil lebih banyak tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri.
Kelenturan pada kurikulum dapat dilakukan pada delapan aspek berikut.
a. Kapan dan di mana pembelajaran itu terjadi
Ketika pelajar mengikuti pembelajaran (Collis et al., 1997), memulai dan menyelesaikan suatu materi (McMeekin, 1998), berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran (Collis et al., 1997; Collis, 2004; Casey, 2005), laju studi (Collis, 2004; Casey & Wilson, 2005) bisa fleksibel. Peserta didik ditawarkan pilihan berdasarkan kebutuhan mereka (misalnya, belajar di malam hari atau akhir pekan). Lokasi peserta didik melaksanakan kegiatan pembelajaran dan mengakses materi pembelajaran juga bisa fleksibel di mana saja dan kapan saja melalui perangkat seluler, seperti di kampus, rumah, transportasi umum, bandara atau bahkan di pesawat (Collis et al., 1997; McMeekin, 1998; Gordon, 2014).
b. Apa dan bagaimana peserta didik akan belajar
Hal ini memungkinkan peserta didik untuk menentukan bagian dan urutan konten sesuai dengan keinginan mereka, jalur pembelajaran, bentuk orientasi mata kuliah, ukuran dan cakupan mata kuliah melalui modulasi konten (Collis et al., 1997; Collis, 2004; Casey & Wilson, 2005; Gordon, 2014).
c. Bagaimana cara menyampaikan instruksi
Penyampaian yang fleksibel menawarkan berbagai cara dan tempat peserta didik dapat mengakses materi pembelajaran yang sesuai (Collis et al., 1997; Lundin, 1999; McMeekin, 1998). Peserta didik dapat mengalami pembelajaran berbasis kampus, pembelajaran berbasis web, atau keduanya melalui teknologi yang berbeda, seperti Augmented Reality (AR).
d. Strategi apa yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan pembelajaran?
Pilihan peserta didik dapat ditawarkan menggunakan beberapa pendekatan instruksional, seperti ceramah dengan tutorial, studi independen, diskusi, kelompok seminar, debat, pendekatan penemuan yang dipimpin peserta didik, dan pendidikan gamifikasi (Gordon, 2014).
e. Jenis sumber belajar apa yang harus disediakan untuk peserta didik?
Sumber belajar yang dibuat oleh peserta didik, perpustakaan, bahkan sumber berkualitas tinggi dari web juga bisa menjadi pilihan potensial (Collis 2004; Casey, 2005).
f. Teknologi apa yang benar-benar berguna untuk pembelajaran, pengajaran dan administrasi?
Berbagai alat web 4.0 dapat digunakan untuk membantu pelajar menghasilkan konten dan berinteraksi dengan rekan, seperti blog, wiki, dan jejaring sosial. Selain itu, beberapa media komunikasi berbasis teknologi, seperti email dan aplikasi pesan instan, membuat pekerjaan instruktur dan staf administrasi jauh lebih nyaman. Jenis teknologi yang digunakan di berbagai sekolah di China selama wabah Covid-19 berbeda-beda sesuai dengan infrastruktur dan lingkungan sekolah.
g. Kapan dan bagaimana memberikan penilaian dan evaluasi?
Fleksibilitas tersebut dapat ditunjukkan dengan metode asesmen seperti presentasi, makalah penelitian, proyek tim, penilaian sejawat, dan tes standar (misalnya, beberapa pilihan). E-portfolio juga merupakan salah satu metode yang dapat memberikan keleluasaan bagi mahapeserta didik untuk memperbaharui bukti-bukti yang mereka miliki perkembangan dan pencapaian (Gordon, 2014).
h. Dukungan dan layanan apa yang harus disediakan untuk peserta didik dan instruktur?
Peserta didik bisa mendapatkan bantuan melalui meja bantuan, tatap muka atau pertemuan online dengan tutor, sesi bantuan kelompok dan melalui alat chatting real-time berbasis video
B. Pembelajaran Berdiferensiasi (differentiated instruction)
1. Pengertian Pembelajaran Berdiferensiasi
Dalam Undang-undang No 20 Tahun 2002 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa pengembangan kurikulum secara berdiversifikasi dimaksudkan memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi dan kekhasan potensi yang ada di daerah untuk mengakomodasi berbagai keragaman yang ada termasuk peserta didik.
Keragaman layanan dari tinjauan perbedaan karakteristik peserta didik disebut dengan diferensiasi pembelajaran. Ketika peserta didik datang ke sekolah, mereka memiliki berbagai macam perbedaan baik secara kemampuan, pengalaman, bakat, minat, bahasa, kebudayaan, cara belajar, dan masih banyak lagi perbedaan lainnya. Oleh karena itu, tidak adil rasanya jika guru yang mengajar di kelas hanya memberikan materi pelajaran dan juga menilai peserta didik dengan cara yang sama untuk semua peserta didik yang ada di kelasnya. Guru perlu memperhatikan perbedaan para peserta didik dan memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya.
Pembelajaran berdiferensiasi merupakan satu cara untuk guru memenuhi kebutuhan setiap peserta didik karena pembelajaran berdiferensiasi adalah proses belajar mengajar dimana peserta didik dapat mempelajari materi pelajaran sesuai dengan kemampuan, apa yang disukai, dan kebutuhannya masing-masing sehingga mereka tidak frustasi dan merasa gagal dalam pengalaman belajarnya (Breaux dan Magee, 2010; Fox & Hoffman, 2011; Tomlinson, 2017). Dalam pembelajaran berdiferensiasi, guru harus memahami dan menyadari bahwa tidak ada hanya satu cara, metode, strategi yang dilakukan dalam mempelajari suatu bahan pelajaran. Guru perlu menyusun bahan pelajaran, kegiatan-kegiatan, tugas-tugas harian baik yang dikerjakan di kelas maupun yang di rumah, dan asesmen akhir sesuai dengan kesiapan peserta didik-peserta didik dalam mempelajari bahan pelajaran tersebut, minat atau hal apa yang disukai peserta didikpeserta didiknya dalam belajar, dan bagaimana cara menyampaikan pelajaran yang sesuai dengan profil belajar peserta didik-peserta didiknya.
Jadi dalam pembelajaran berdiferensiasi ada 3 aspek yang bisa dibedakan oleh guru agar peserta didik-peserta didiknya dapat mengerti bahan pelajaran yang mereka pelajari, yaitu aspek konten yang mau diajarkan, aspek proses atau kegiatan-kegiatan bermakna yang akan dilakukan oleh peserta didik di kelas, dan aspek ketiga adalah asesmen berupa pembuatan produk yang dilakukan di bagian akhir yang dapat mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran.
Pembelajaran berdiferensiasi berbeda dengan pembelajaran individual seperti yang dipakai untuk mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Dalam pembelajaran berdiferensiasi guru tidak menghadapi peserta didik secara khusus satu persatu (on-one -on) agar ia mengerti apa yang diajarkan. peserta didik dapat berada di kelompok besar, kecil atau secara mandiri dalam belajar.
Walaupun banyak tokoh pendidikan membicarakan hal ini, namun pada tulisan kali ini akan dibahas ide dan hasil karya dari Carol Tomlinson, seorang penggagas utama dari pembelajaran berdiferensiasi ini.
2. Ciri-ciri Pembelajaran Berdiferensiasi
Association for Supervision and Curriculum Development (2011) menyadur Tomlinson sebagai pionir dari pembelajaran berdiferensiasi dengan menuliskan bahwa ada beberapa karakteristik dasar yang menjadi ciri khas dari pembelajaran berdiferensiasi ini. Ciri-ciri tersebut dapat dilihat melalui tabel di bawah ini: (ASCD, 2011).
Tabel 3.1 Ciri-ciri pembelajaran berdiferensiasi
| Ciri-ciri | Penjelasan dari ciri-ciri | |||
| Bersifat proaktif | Guru secara proaktif dari awal sudah mengantisipasi kelas yang akan diajarnya dengan merencanakan pembelajaran untuk peserta didik yang berbeda-beda. Jadi bukan menyesuaikan pembelajarannya dengan peserta didik sebagai reaksi dari evaluasi tentang ketidakberhasilan pelajaran sebelumnya. | |||
| Menekankan kualitas daripada kuantitas | Dalam pembelajaran berdiferensiasi, kualitas dari tugas lebih disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Jadi bukan berarti anak yang pandai setelah selesai mengerjakan tugasnya akan diberi lagi tugas tambahan yang sama, namun ia diberikan tugas lain yang dapat menambah keterampilannya. | |||
| Berakar pada asesmen | Guru selalu mengases para peserta didik dengan berbagai cara untuk mengetahui keadaan mereka dalam setiap pembelajaran sehingga berdasarkan hasil asesmen tersebut, guru dapat menyesuaikan pembelajarannya dengan kebutuhan mereka. | |||
| Menyediakan berbagai pendekatan dalam konten, proses pembelajaran, produk yang dihasilkan, dan juga lingkungan belajar. | Dalam pembelajaran berdiferensiasi ada 4 unsur yang dapat disesuaikan dengan tingkat kesiapan peserta didik dalam mempelajari materi, minat, dan gaya belajar mereka. Ke empat unsur yang disesuaikan adalah konten (apa yang dipelajari), proses (bagaimana mempelajarinya), produk (apa yang dihasilkan setelah mempelajarinya), dan lingkungan
belajar (iklim belajarnya) |
|||
| Berorientasi pada peserta didik | Tugas diberikan berdasarkan tingkat pengetahuan awal peserta didik terhadap materi yang akan diajarkan sehingga guru merancang pembelajaran sesuai dengan level kebutuhan peserta didik. Guru lebih banyak mengatur waktu, ruang, dan kegiatan yang akan dilakukan peserta didik daripada menyajikan informasi kepada peserta didik. | |||
| Merupakan campuran dari pembelajaran individu dan klasikal | Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk kadang-kadang belajar bersamasama secara klasikal dan dapat juga belajar secara individu. | |||
| Bersifat hidup | Guru berkolaborasi dengan peserta didik terus menerus termasuk untuk menyusun tujuan kelas maupun individu dari para peserta didik. Guru memonitor bagaimana pelajaran dapat cocok dengan para peserta didik dan bagaimana penyesuaiannya. | |||
Sumber: (ASCD, 2011)
3. Arti penting Pembelajaran Berdiferensiasi
Pembelajaran yang berdiferensiasi memungkinkan guru untuk memberi peserta didik dukungan yang mereka butuhkan, yang sangat mungkin berbeda-beda satu sama lain. Alih-alih menyatukan mereka dalam satu kelompok besar di kelas dengan satu cara untuk semua, pembelajaran berdiferensiasi yang diberikan dalam kelompok belajar yang lebih kecil memudahkan guru untuk melihat peserta didik mana yang telah menguasai tujuan pelajaran dan telah memiliki keterampilan untuk melanjutkan pembelajaran. Di saat yang sama, guru juga dapat melihat peserta didik yang masih membutuhkan dukungan atau intervensi.
Catlin Tucker (2011) menjelaskan pentingnya pembelajaran diferensiasi ke dalam tiga poin, yaitu:
- pembelajaran yang berdiferensiasi menantang peserta didik yang cerdas untuk menggali pembelajaran secara lebih dalam. Disisi lain pembelajaran berdiferensiasi juga menyediakan dukungan bagi peserta didik tingkat bawah atau peserta didik dengan ketidakmampuan belajar – baik yang teridentifikasi maupun yang tidak teridentifikasi;
- memberi kesempatan peserta didik untuk menjadi tutor sebaya. Hal ini memperkuat pemahaman peserta didik yang telah menguasai materi sambil memberikan dukungan bagi peserta didik yang masih kesulitan. Gaya belajar timbal balik dan kolaboratif semacam ini adalah cara guru untuk memanfaatkan kekuatan di kelas; dan
- sama halnya dengan ukuran pakaian di toko yang tidak akan selalu pas dengan ukuran tubuh konsumen, guru juga perlu memahami bahwa satu pendekatan standar untuk mengajar tidak akan memenuhi kebutuhan semua atau bahkan sebagian besar peserta didik. Tanpa upaya untuk memvariasikan instruksi untuk memenuhi kebutuhan individu setiap peserta didik, kurikulum pasti akan membosankan dan membingungkan bahkan membebani. Pembelajaran berdiferensiasi adalah kunci untuk menjangkau semua peserta didik.
4. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Berdiferensiasi
Dalam pembelajaran berdiferensiasi ada beberapa prinsip dasar yang harus diingat oleh guru dalam penerapannya. Tomlinson (2013), menjelaskan ada 5 prinsip dasar yang berhubungan dengan pembelajaran berdiferensiasi. Kelima prinsip itu dapat disimpulkan seperti Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Prinsip dasar pembelajaran berdiferensiasi Sumber: diadaptasi Tomlinson, Carol A. (2017)
a. Lingkungan Belajar
Lingkungan belajar yang dimaksud meliputi lingkungan fisik sekolah dan kelas dimana peserta didik menghabiskan waktunya dalam belajar di sekolah. Iklim belajar merujuk pada situasi dan kondisi yang dirasakan peserta didik saat belajar, relasi, dan berinteraksi dengan peserta didik lain maupun gurunya. Di dalam pembelajaran guru harus memberikan respons kepada peserta didik sesuai dengan kesiapan, minat, dan profil belajar mereka supaya kebutuhan mereka dalam belajar terpenuhi. Guru perlu memiliki koneksi dengan peserta didiknya sehingga ia dapat mengenali profil peserta didik yang diajarnya baik dalam hal kesiapan mereka dalam menerima pelajaran, minat apa yang dimiliki peserta didiknya untuk dapat dengan mudah menerima pelajaran, dan bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikan pelajaran kepada peserta didik sesuai dengan gaya belajar mereka masing-masing.
Prinsip ini mengharuskan guru memperhatikan kenyamanan dan keamanan para peserta didik di kelasnya. Fisik kelas perlu ditata dengan baik sesuai dengan kebutuhan pelajaran. Kursi dan meja belajar peserta didik harus disesuaikan bentuknya dengan pelajaran saat itu. Misalnya pengaturan kursi dan meja untuk diskusi kelompok kecil tentu saja berbeda dengan kursi untuk melakukan debat. Iklim belajar harus diupayakan agar terdapat rasa saling percaya, menghormati satu dengan yang lainnya, pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat dalam pelajaran, pengajaran untuk tekun dan bekerja keras dalam mengikuti pelajaran dan mengerjakan tugas yang diberikan, dan kesempatan untuk berefleksi tentang apa yang telah dikerjakan atau dipelajari di kelas. Semua orang di dalam kelas baik guru maupun para peserta didik harus memiliki pemikiran bahwa mereka semua harus bertumbuh dan tidak ada yang tertinggal. Para peserta didik yang pandai pun harus merasa bertumbuh di kelas sehingga mereka tidak merasa bosan berada di kelas. Setiap orang di dalam kelas juga harus memiliki relasi yang baik satu dengan yang lainnya, jadi tidak ada peserta didik yang merasa terisolasi dan tidak terpenuhi kebutuhannya.
Di samping memiliki relasi dan koneksi dengan peserta didik, guru juga perlu membuat peserta didiknya menaruh kepercayaan terhadap dirinya. Hattie dalam Tomlinson (2013) menyatakan bahwa kepercayaan dari peserta didik diperoleh guru dengan cara:
1) memberikan respek yang benar terhadap nilai, kemampuan, dan tanggung jawab dari peserta didik;
2) memberikan optimisme kepada peserta didik bahwa mereka memiliki kemampuan yang besar untuk mempelajari materi pelajaran yang diberikan; dan
3) aktif dan mendukung peserta didik secara nyata agar mereka dapat sukses.
b. Kurikulum yang berkualitas
Di dalam kurikulum yang berkualitas tentu saja harus memiliki tujuan yang jelas sehingga guru dapat tahu apa yang akan dituju di akhir pembelajaran. Di samping itu fokus guru dalam mengajar adalah pada pengertian peserta didik, bukan pada apa materi yang dihafalkan mereka. Yang terpenting adalah pemahaman terhadap materi pelajaran yang ada di benak peserta didik sehingga dapat diterapkan dalam kehidupannya. Kurikulum haruslah membawa peserta didik kepada pengertian yang tepat tentang materi yang diajarkan, bukan kepada seberapa banyak peserta didik dapat menghafal materi yang diberikan. Di dalam kurikulum juga tergambarkan keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran melalui tugastugas yang diberikan dan asesmen yang dikerjakan oleh peserta didik. Kurikulum juga seharusnya bersifat teaching up yang artinya tidak ada satupun peserta didik yang tertinggal atau berhenti dalam pengajaran. Bagi para peserta didik yang memiliki kemampuan lebih, guru harus menantang mereka mengerjakan tugas lain untuk mengembangkan keterampilan mereka. Sementara bagi para peserta didik yang memiliki kemampuan yang kurang. Guru harus membantu mereka mengerjakan tugas-tugas mereka sehingga mereka dapat mencapai tujuan pembelajaran yang ditentukan. Hal lain yang perlu diperhatikan oleh guru adalah bagaimana kurikulum yang ada dapat menantang semua peserta didiknya baik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, yang sedang, maupun di bawah rata-rata. Bagi peserta didik yang berada di atas rata-rata, guru perlu menantang mereka dengan pemikiran-pemikiran lain yang lebih mendalam tentang materi yang dibahas sehingga mereka tidak akan jenuh dan bosan dalam mempelajarinya. Sementara untuk peserta didik yang berada di bawah rata-rata, guru perlu memikirkan langkah-langkah konkrit yang perlu dilakukan untuk dapat menolong mereka selangkah demi selangkah dalam memahami materi pelajaran yang disampaikan dan mencapai tujuan pembelajaran.
c. Asesmen berkelanjutan
Asesmen pertama yang dilakukan oleh guru adalah asesmen di awal pelajaran sebelum membahas suatu topik pelajaran. Fungsi dari asesmen awal adalah mengetahui sampai sejauh mana peserta didik memahami bahan atau materi pelajaran yang akan dipelajari dan juga mengukur sejauhmana kesiapan/kedekatan peserta didik terhadap tujuan pembelajaran. Jadi Kesiapan belajar yang dimaksud lebih mengacu pada pengetahuan awal atau pre-knowledge para peserta didik, bukan pada kecerdasan intelektual mereka. Cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk asesmen awal ini adalah dengan :
1) meminta peserta didik mengisi lembar KW. Di kolom K (Know) guru menanyakan hal-hal apa yang telah diketahui peserta didik tentang materi pelajaran yang akan dibahas. Kemudian dalam kolom W (Want to know), peserta didik menuliskan apa saja yang mereka ingin ketahui dari materi yang akan dibahas saat itu. Memberikan pertanyaan apa yang mereka ketahui tentang materi pelajaran yang akan diajarkan;
2) Brainstorming dengan peserta didik sebelum memulai pelajaran untuk menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan materi pelajaran yang akan dipelajari. Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut guru dapat mengetahui kesiapan peserta didik dalam mempelajari materi tersebut;
3) Memberikan pre tes kepada peserta didik tentang materi yang akan dipelajari sehingga guru mengetahui kemampuan awal peserta didiknya; dan
4) Membuat kontrak belajar dimana masing-masing peserta didik menuliskan apa sumber bahan yang akan dipakai untuk mempelajari materi pelajaran, bagaimana ia akan mempelajari materi pelajaran, dan sampai sejauh mana ia mengetahui tentang bahan atau materi yang akan dipelajari.
Asesmen kedua yang perlu dilakukan adalah asesmen formatif yaitu asesmen untuk mengetahui apakah masih ada materi yang belum jelas, sulit dimengerti oleh para peserta didik. Asesmen formatif ini bersifat diagnostik karena melalui asesmen formatif ini guru dapat mengetahui apakah para peserta didik sudah mengerti materi pelajaran yang dibahas, masalah-masalah apa yang dihadapi peserta didik sehingga sulit mengerti materi pelajaran, apa yang perlu dilakukan oleh guru untuk membantu peserta didik, apakah guru sudah mengajar dengan menggunakan media atau metode yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik atau apakah ada tingkah laku atau cara guru yang membuat sulit peserta didik mengerti materi pelajaran, dan bahkan membantu mereka lebih mudah mengerti materi pelajaran. Jadi asesmen formatif ini biasanya dilakukan bukan untuk memberikan nilai dalam bentuk angka seperti nilai ulangan yang bersifat kuantitatif, tapi lebih berupa penilaian kualitatif, yaitu dengan memberikan pertanyaan uraian singkat di mana mereka dapat mengemukakan pendapat mereka.
Kemudian selama pembelajaran berlangsung guru memperhatikan bagaimana peserta didiknya belajar, apakah ada yang perlu dibantu dalam mengerjakan tugas yang diberikan atau perlu dijelaskan ulang instruksi dalam tugas yang diberikan. Setelah pembelajaran berakhir, guru kembali melakukan evaluasi sebagai penilaian hasil belajar di akhir mempelajari suatu materi pembelajaran. Guru dapat melakukan berbagai macam cara untuk evaluasi akhir pembelajaran, tidak hanya selalu bergantung pada ulangan yang seperti biasa dilakukan oleh guru sebagai satu-satunya cara menilai hasil akhir dari pembelajaran peserta didik. Guru dapat meminta anak membuat suatu produk tertentu yang misalnya berupa video, poster, maket, blog, lagu, puisi, proyek kemanusiaan, kampanye suatu gerakan, dan lain-lain.
d. Pengajaran yang responsif
Melalui asesmen formatif guru dapat mengetahui apa kekurangan-kekurangannya dalam membimbing peserta didiknya untuk memahami isi pelajaran. Setelah mengetahui hal-hal tersebut guru harus merespons dan mengubah pengajarannya sesuai dengan kebutuhan para peserta didik yang ada di kelasnya. Oleh karena itu, guru dapat memodifikasi rencana pembelajaran yang sudah dibuat dengan kondisi dan situasi lapangan saat itu sesuai dengan hasil dari asesmen yang dilakukan sebelumnya. Guru perlu juga memberikan akses dan petunjuk yang jelas kepada peserta didik di mana mereka mendapatkan materi pelajaran yang kredibel. Guru perlu menjelaskan tugas yang harus dikerjakan dengan jelas beserta rubrik penilaian yang akan dipakai, kapan waktu pengumpulan, dan di mana harus dikumpulkan sehingga peserta didik mengetahui ekspektasi guru terhadap tugas tersebut. Karena pengajaran lebih penting dari kurikulum sekolah sendiri, maka guru harus memberikan responsnya terhadap hasil pembelajaran yang sudah dilakukan. Respons dari guru adalah menyesuaikan pelajaran berikutnya sesuai dengan kesiapan, minat, dan juga profil belajar peserta didik yang guru dapatkan melalui asesmen di akhir pelajaran.
e. Kepemimpinan dan Rutinitas di kelas
Guru yang baik adalah guru yang dapat mengelola kelasnya dengan baik. Kepemimpinan di sini diartikan bagaimana guru dapat memimpin peserta didiknya agar dapat mengikuti pembelajaran dalam iklim pembelajaran dan situasi yang kondusif, melalui kesepakatan kelas yang ditetapkan bersama. Sedangkan rutinitas di kelas mengacu pada keterampilan guru dalam mengelola atau mengatur kelasnya dengan baik melalui prosedur dan rutinitas di kelas yang dijalankan peserta didik setiap hari sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Hal-hal yang dapat dilakukan oleh guru misalnya:
1) meletakkan materi dan bahan pelajaran yang dibutuhkan peserta didik agar mudah dijangkau;
2) memberikan arahan yang jelas dalam setiap tugas yang harus dikerjakan peserta didik karena tidak semua peserta didik mengerjakan tugas yang sama;
3) menjaga agar suara percakapan peserta didik yang sedang berdiskusi dalam kelompok tidak saling mengganggu satu dengan lainnya;
4) menyediakan cara kepada peserta didik bagaimana meminta bantuan guru ketika guru sedang membantu peserta didik lainnya;
5) menjelaskan kepada peserta didik apa yang mereka harus lakukan setelah mereka selesai mengerjakan tugas yang diberikan;
6) mengatur bagaimana peserta didik tahu kapan harus membantu temannya yang kesulitan dalam pembelajaran; dan
7) memberitahu peserta didik bagaimana meletakkan barang-barang atau materi pelajaran yang sudah dipakai dengan teratur dan rapi.
5. Keragaman Peserta Didik
Setiap manusia diciptakan unik dan khusus, tidak ada satu orangpun yang sama persis walaupun mereka kembar tetapi pasti ada perbedaan di antara mereka. Demikian juga halnya dengan peserta didik di kelas. Ketika mereka masuk dalam sekolah pastinya mereka bukanlah selembar kertas putih yang kosong. Di dalam diri setiap anak ada karakteristik dan potensi yang berbeda satu sama lainnya yang harus diperhatikan oleh guru. Tomlinson (2013) menjelaskan keragaman peserta didik dipandang dari 3 aspek yang berbeda, yaitu:

Gambar 3.2 Pandangan terhadap peserta didik
Sumber: Tomlinson, Carol A & Moon, Tonya R. (2013).
a. Kesiapan Belajar
Pengertian kesiapan di sini adalah sejauh mana kemampuan pengetahuan dan keterampilan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran. Pengetahuan dan keterampilan awal apa yang sudah dimiliki oleh peserta didik terhadap materi pelajaran yang akan dibahas. Guru perlu bertanya, apa yang dibutuhkan oleh peserta didiknya sehingga mereka dapat berhasil dalam pelajarannya. Kesiapan peserta didik harus berhubungan erat dengan cara pikir guru-guru yaitu bahwa setiap peserta didik memiliki potensi untuk bertumbuh baik secara fisik, mental dan kemampuan intelektualnya.
b. Minat
Minat memiliki peranan yang besar untuk menjadi motivator dalam belajar. Guru dapat menanyakan kepada para peserta didik apa yang mereka minati, hobby, atau pelajaran yang disukai. Jika sekolah memiliki guru BK (bimbingan dan konseling) atau bahkan seorang psikolog yang berkompeten untuk memberikan tes psikologi kepada anak agar dapat diketahui bakat dan minat anak secara lengkap dan jelas. Pentingnya diketahui minat dari para peserta didik karena tentu saja mereka akan mempelajari dengan tekun hal-hal yang menarik minat mereka masing-masing.
c. Profil (gaya) Belajar
Profil (gaya) belajar peserta didik mengacu pada pendekatan atau bagaimana cara yang paling disenangi peserta didik agar mereka dapat memahami pelajaran dengan baik. Ada yang senang belajar dalam kelompok besar, ada yang senang berpasangan atau kelompok kecil atau ada juga yang senang belajar sendiri. Di samping itu panca indra juga memainkan peranan penting dalam belajar. Ada yang dapat belajar lewat pendengaran saja (auditori), ada yang harus melihat gambargambar atau ada yang cukup melihat tulisan-tulisan saja (visual). Namun ada pula peserta didik yang memahami pelajaran dengan cara bergerak baik menggerakan hanya sebagian atau seluruh tubuhnya (kinestetik). Ada juga peserta didik yang hanya dapat mengerti jika ia memegang atau menyentuh benda-benda yang menjadi materi pelajaran atau yang berhubungan dengan pelajaran yang sedang dipelajarinya.
6. Elemen yang Berdiferensiasi
Dalam pembelajaran berdiferensiasi empat aspek yang ada dalam kendali atau kontrol guru adalah Konten, Proses, Produk, dan Lingkungan atau Iklim Belajar di kelas. Guru dapat menentukan bagaimana empat aspek ini akan dilaksanakan di dalam pembelajaran di kelas. Guru mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk mengubah konten, proses, produk, dan lingkungan dan iklim belajar di kelasnya masing-masing sesuai dengan profil peserta didik yang ada di kelasnya. Gambaran singkat dari empat aspek ini adalah sebagai berikut:

Gambar 3.3 Aspek pembelajaran berdiferensiasi
Sumber: diadaptasi dari buku Tomlinson, Carol A & Moon, Tonya R (2013)
a. Konten
Yang dimaksud dengan konten adalah materi apa yang akan diajarkan oleh guru di kelas atau materi apa yang akan dipelajari oleh peserta didik di kelas. Dalam pembelajaran berdiferensiasi ada dua cara membuat konten pelajaran berbeda, yaitu:
1) menyesuaikan apa yang akan diajarkan oleh guru atau apa yang akan dipelajari oleh peserta didik berdasarkan tingkat kesiapan dan minat peserta didik, dan
2) menyesuaikan bagaimana konten yang akan diajarkan atau dipelajari itu akan disampaikan oleh guru atau diperoleh oleh peserta didik berdasarkan profil (gaya) belajar yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik.
Strategi yang dapat dilakukan oleh guru untuk dapat mendiferensiasi konten yang akan dipelajari oleh peserta didik adalah:
1) menyajikan materi yang bervariasi;
2) menggunakan kontrak belajar;
3) menyediakan pembelajaran mini;
4) menyajikan materi dengan berbagai moda pembelajaran; dan
5) menyediakan berbagai sistem yang mendukung.
b. Proses
Yang dimaksud dalam proses pada bagian ini adalah kegiatan yang dilakukan peserta didik di kelas. Kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan yang bermakna bagi peserta didik sebagai pengalaman belajarnya di kelas, bukan kegiatan yang tidak berkorelasi dengan apa yang sedang dipelajarinya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik ini tidak diberi penilaian kuantitatif berupa angka, melainkan penilaian kualitatif yaitu berupa catatan-catatan umpan balik mengenai sikap, pengetahuan dan keterampilan apa yang masih kurang dan perlu diperbaiki/ditingkatkan oleh peserta didik. Kegiatan yang dilakukan harus memenuhi kriteria sebagai kegiatan yang:
1) baik, yaitu kegiatan yang menggunakan keterampilan informasi yang dimiliki peserta didik; dan
2) berbeda dalam hal tingkat kesulitan dan cara pencapaiannya.
Kegiatan-kegiatan yang bermakna yang dilakukan oleh peserta didik di dalam kelas harus dibedakan juga berdasarkan kesiapan, minat, dan juga profil (gaya) belajar peserta didik. Berbagai strategi untuk membedakan kegiatan-kegiatan dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Contoh strategi pembelajaran berdiferensiasi
| Kesiapan | Minat | Profil belajar |
| Diskusi kelas dgn pertanyaan yang
berbeda level kesulitannya
|
Diskusi kelas dgn pertanyaan yang berbeda sesuai minat peserta didik.
|
Diskusi kelas dengan chatting di media online, podcast, talk show. |
| Tutor sebaya menjelaskan teman yang kesulitan.
|
Tutor sebaya yang memiliki minat yang sama.
|
Tutor sebaya di kelompok besar (kelas), kecil, individu, lewat video, gambar, lagu).
|
|
Tugas dengan menggunakan RAFT (Role Audience Format Topic) yang berbeda level kesulitannya
|
Tugas menggunakan RAFT yang berbeda topiknya sesuai minat peserta didik.
|
RAFT yang dimainkan dalam Role play (bermain drama)
|
| Think – Pair – Share
|
Jigsaw (expert group berdasarkan minat)
|
Pameran berjalan (gallery walk)
|
| Dadu berpikir yang level
kesulitan tugasnya berbeda
|
Dadu berpikir yang berbeda pertanyaannya sesuai dengan minat peserta didik
|
Dadu berpikir yang berbeda tugasnya berdasarkan auditori, visual, atau kinestetik.
|
| Kontrak Belajar untuk kegiatan berdasarkan kesiapan peserta didik. | Kontrak belajar kegiatan berdasarkan minat peserta didik. | Kontrak belajar sesuai dengan gaya belajar auditori, visual, atau kinestetik
|
| Papan Pilihan dengan kegiatan yang berbeda kesulitannya | Belajar mandiri sesuai dengan minat peserta didik
|
Asesmen dengan berbagai gaya belajar |
Sumber: diadaptasi dari Tomlinson, Carol A & Moon, Tonya R. (2013)
c. Produk
Biasanya produk ini merupakan hasil akhir dari pembelajaran untuk menunjukkan kemampuan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman peserta didik setelah menyelesaikan satu unit pelajaran atau bahkan setelah membahas materi pelajaran selama satu semester. Produk sifatnya sumatif dan perlu diberi nilai. Produk lebih membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya dan melibatkan pemahaman yang lebih luas dan mendalam dari peserta didik. Oleh karenanya seringkali produk tidak dapat diselesaikan dalam kelas saja, tetapi juga di luar kelas. Produk dapat dikerjakan secara individu maupun berkelompok. Jika produk dikerjakan secara berkelompok, maka harus dibuat sistem penilaian yang adil berdasarkan kontribusi masing-masing anggota kelompoknya dalam mengerjakan produk tersebut.
Berbeda dengan performance task/assessments yang walaupun merupakan penilaian sumatif karena mencakup satu unit pelajaran atau satu bab, satu tema, dan perlu dinilai juga, biasanya asesmen ini diselesaikan di kelas dan jangka waktu pengerjaannya lebih singkat dari produk.
Guru merancang produk apa yang akan dikerjakan oleh peserta didik sesuai dengan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang harus ditunjukkan oleh mereka. Guru juga perlu menentukan kriteria penilaian dalam rubrik sehingga peserta didik tahu apa yang akan dinilai dan bagaimana kualitas yang diharapkan dari setiap aspek yang harus dipenuhi mereka. Guru juga perlu menjelaskan bagaimana peserta didik dapat mempresentasikan produknya sehingga peserta didik lain juga dapat melihat produk yang dibuat. Produk yang akan dikerjakan oleh peserta didik tentu saja harus berdiferensiasi sesuai dengan kesiapan, minat, dan profil belajar peserta didik.
d. Lingkungan belajar
Lingkungan belajar yang dimaksud meliputi susunan kelas secara personal, sosial, dan fisik. Lingkungan belajar juga harus disesuaikan dengan kesiapan peserta didik dalam belajar, minat mereka, dan profil belajar mereka agar mereka memiliki motivasi yang tinggi dalam belajar.
Misalnya guru dapat menyiapkan beberapa susunan tempat duduk peserta didik yang ditempelkan di papan pengumuman kelas sesuai dengan kesiapan belajar, minat, dan gaya belajar mereka. Jadi peserta didik dapat duduk di kelompok besar atau kecil yang berbeda-beda, dapat juga bekerja secara individual, maupun berpasang-pasangan. Pengelompokkan juga dapat dibuat berdasarkan minat peserta didik yang sejenis, maupun tingkat kesiapan yang berbeda-beda maupun yang sama tergantung tujuan pembelajarannya. Pada dasarnya, guru perlu menciptakan suasana dan lingkungan belajar yang menyenangkan bagi peserta didik sehingga merasa aman, nyaman, dan tenang dalam belajar karena kebutuhan mereka terpenuhi.
7. Perpaduan antara Elemen Berdiferensiasi dan Keragaman Peserta Didik
Pembelajaran berdiferensiasi pada dasarnya menyatukan antara elemen dalam pembelajaran yang dapat didiferensiasikan dan keragaman yang ada dalam peserta didik. Artinya adalah setiap elemen dalam pembelajaran (konten, proses, produk, dan lingkungan belajar) dapat didiferensiasi berdasarkan kesiapan belajar, minat, dan/ atau profil belajar peserta didik yang berbeda satu dengan lainnya.
Perpaduan antara keduanya dapat terlihat dalam bagan berikut ini:

Gambar 3.4 Bagan elemen pembelajaran berdiferensiasi
Sumber: diadaptasi dari buku Tomlinson, Carol A & Moon, Tonya R (2013)
8. Penilaian Pembelajaran Berdiferensiasi
Tomlinson (2013) menjelaskan prinsip penilaian pada pembelajaran berdiferensiasi adalah penilaian berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan oleh guru, bukan penilaian berdasarkan norma. Sebelum melakukan penilaian akhir (evaluasi sumatif), guru perlu banyak memberikan umpan balik pada asesmen – asesmen yang dilakukan selama pembelajaran (penilaian proses), sehingga peserta didik dapat mengetahui kesalahan yang dilakukan dan dapat memperbaiki diri sebelum adanya evaluasi akhir (penilaian hasil belajar). Secara garis besar, penilaian dalam proses pembelajaran berdiferensiasi memiliki 3 aspek yang harus diberi penilaian. Jadi penilaian tidak hanya mengacu pada pencapaian kriteria yang ditentukan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Ketiga aspek yang dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 3.5 Aspek penilaian
Sumber: diadaptasi dari Tomlinson, Carol A & Moon, Tonya R. (2013).
Penilaian untuk rapor ditentukan oleh 3 P, yaitu Penampilan, Proses, dan Progres. Jadi penilaian akhir diberikan kepada peserta didik dengan mempertimbangkan ke-3 faktor ini. Penampilan mengacu pada pencapaian peserta didik terhadap kriteria yang telah ditentukan oleh guru sesuai dengan tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan. Penilaian Proses adalah penilaian terhadap kebiasaan peserta didik dalam mengerjakan tugas dan keterlibatan dalam pembelajaran selama mengikuti proses pembelajaran. Sementara penilaian Progres adalah penilaian untuk melihat kemajuan peserta didik dari tugas pertama sampai dengan tugas terakhir. Melalui berbagai tugas, guru dapat memberikan penilaian proses. Penilaian proses tersebut dikumpulkan menjadi satu portofolio bagi peserta didik. Guru menilai sejauh mana perkembangan atau kemajuan peserta didik dari setiap tugasnya.
C. Merdeka Belajar
1. Pengertian Merdeka Belajar
Merdeka Belajar merupakan visi yang dibangun berdasarkan pemikiran Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah tujuan pendidikan sekaligus paradigma pendidikan yang perlu dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan. Ki Hadjar Dewantara menuliskan bahwa kemerdekaan memiliki makna yang lebih daripada kebebasan hidup.
Yang paling utama dari kemerdekaan adalah kemampuan untuk “hidup dengan kekuatan sendiri, menuju ke arah tertib-damai serta selamat dan bahagia, berdasarkan kesusilaan hidup manusia” (2013, h.480). Makna merdeka dalam merdeka belajar, dengan demikian, mengisyaratkan kebebasan, kemampuan, serta keberdayaan, untuk mencapai kebahagiaan. Keselamatan dan kebahagiaan ini pun tidak saja diperoleh dan dirasakan oleh individu, tetapi juga secara kolektif. Inilah visi pendidikan bangsa Indonesia yang sudah lama dicanangkan, dan dihidupkan kembali dalam semangat Merdeka Belajar.
Merdeka Belajar juga merupakan salah satu kebijakan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang bercita-cita menghadirkan pendidikan bermutu tinggi bagi semua rakyat Indonesia, yang dicirikan oleh angka partisipasi yang tinggi di seluruh jenjang pendidikan, hasil pembelajaran berkualitas, dan mutu pendidikan yang merata baik secara geografis maupun status sosial ekonomi. Selain itu, fokus pembangunan pendidikan dan pemajuan kebudayaan diarahkan pada pemantapan budaya dan karakter bangsa melalui perbaikan pada kebijakan, prosedur, dan pendanaan pendidikan serta pengembangan kesadaran akan pentingnya pelestarian nilainilai luhur budaya bangsa dan penyerapan nilai baru dari kebudayaan global secara positif dan produktif.
Secara lebih detail, Kebijakan Merdeka Belajar mendorong partisipasi dan dukungan dari semua pemangku kepentingan: keluarga, guru, lembaga pendidikan, DU/DI, dan masyarakat, sebagaimana tertuang dalam gambar berikut.

Gambar 3.6 di atas menjelaskan bahwa kebijakan Merdeka Belajar dapat terwujud secara optimal melalui:
- peningkatan kompetensi kepemimpinan, kolaborasi antar elemen masyarakat, dan budaya;
- peningkatan infrastruktur serta pemanfaatan teknologi di seluruh satuan pendidikan;
- perbaikan pada kebijakan, prosedur, dan pendanaan pendidikan; dan
- penyempurnaan kurikulum, pedagogi, dan asesmen.
2. Merdeka Belajar dalam Perspektif Kurikulum
Kurikulum yang berlaku di Indonesia sering dipandang kaku dan terfokus pada konten. Tidak banyak kesempatan tersedia untuk memahami materi dan berefleksi terhadap pembelajaran. Isi kurikulum juga dianggap terlalu teoretis, sulit bagi guru untuk menerjemahkannya secara praktis dan operasional dalam materi pembelajaran dan aktivitas kelas. Salah satu perubahan yang diusung dalam kebijakan Merdeka Belajar adalah terjadi pada kategori kurikulum. Dalam hal pedagogi, kebijakan Merdeka Belajar akan meninggalkan pendekatan standarisasi menuju pendekatan heterogen yang lebih paripurna memampukan guru dan peserta didik menjelajahi khasanah pengetahuan yang terus berkembang. Peserta didik adalah pemimpin pembelajaran dalam arti merekalah yang membuat kegiatan belajar mengajar bermakna, sehingga pembelajaran akan disesuaikan dengan tingkatan kemampuan peserta didik dan didukung dengan beragam teknologi yang memberikan pendekatan personal bagi kemajuan pembelajaran tiap peserta didik, tanpa mengabaikan pentingnya aspek sosialisasi dan bekerja dalam kelompok untuk memupuk solidaritas sosial dan keterampilan lunak (soft skills). Dengan menekankan sentralitas pembelajaran peserta didik, kurikulum yang terbentuk oleh kebijakan Merdeka Belajar akan berkarakteristik fleksibel, berdasarkan kompetensi, berfokus pada pengembangan karakter dan keterampilan lunak, dan akomodatif terhadap kebutuhan dunia usaha/dunia kerja (DU/DI).
3. Pembelajaran Paradigma Baru sebagai Wujud Merdeka Belajar
Pembelajaran dengan paradigma baru merupakan pembelajaran yang berorientasi pada penguatan kompetensi dan karakter yang sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila. Pembelajaran ini dirancang berdasarkan prinsip pembelajaran yang terdiferensiasi sehingga harapannya setiap peserta didik dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangan capaan belajar serta kebutuhan belajarnya. Pembelajaran dengan paradigma baru ini melihat kurikulum, pembelajaran, dan asesmen sebagai komponen yang saling berkaitan erat.
Pembelajaran dengan paradigma baru mensinergikan rangkaian antara kurikulum – pembelajaran – asesmen. Hal ini karena kurikulum sebagai suatu rencana pembelajaran yang memandu guru dan peserta didik tentang tujuan apa yang perlu dicapai serta apa perlu dipelajari untuk mencapai tujuan tersebut. Pencapaian tujuan tersebut, yang dalam Gambar 3.7 ditunjukkan dalam lingkaran tengah, yaitu Profil Pelajar Pancasila, tidak cukup hanya mengandalkan kurikulum namun juga perlu strategi pembelajaran yang efektif. Setiap peserta didik perlu mendapatkan kesempatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhannya, termasuk sesuai dengan tahap perkembangan dan tahap capaian belajarnya. Oleh karena itu, kurikulum yang digunakan dalam pembelajaran perlu memperhatikan kondisi peserta didik yang diidentifikasi melalui asesmen. Dengan kata lain, kurikulum akan mempengaruhi pembelajaran, dan hasilnya akan dinilai melalui asesmen, dan kemudian asesmen akan memberikan informasi tentang ketercapaian kurikulum atau apa yang sudah dipelajari oleh peserta didik.
Arah kebijakan pembelajaran dengan paradigma baru sebagai berikut:
- berfokus pada kompetensi dan materi yang esensial;
- capaian pembelajaran (CP) dirumuskan sebagai gambaran kompetensi utuh sehingga mudah dipahami oleh guru sebagai satu-kesatuan;
- pembelajaran di PAUD dan SD berorientasi pada penguatan fondasi literasi;
- pembelajaran di luar mata pelajaran berbasis projek penguatan
Profil Pelajar Pancasila;
- keleluasaan dan kemudahan satuan pendidikan mengembangkan desain pembelajaran berbasis kearifan lokal dan yang relevan dengan kebutuhan pelajar;
- guru memiliki fleksibilitas untuk mengajar sesuai dengan tahap kompetensi pelajar; dan
- guru didorong untuk menggunakan perangkat ajar (buku teks, contoh alur pembelajaran, contoh modul ajar, buku bacaan) yang lebih bervariasi.
Pembelajaran dengan paradigma baru ini juga dapat diartikan sebagai pembelajaran yang berdiferensiasi. Untuk mendorong fleksibilitas dalam pembelajaran berdiferensiasi, capaian yang semula diatur per tahun diubah menjadi capaian pembelajaran berdasarkan fase yang diatur menurut tahap perkembangan peserta didik. Perubahan ini didasarkan pada pentingnya fleksibilitas, target pembelajaran yang tidak terlalu padat, dan perlunya merancang pembelajaran yang sesuai dengan tahap capaian belajar peserta didik (teaching at the right level). Desain Capaian Pembelajaran per fase ini didasari pada pemahaman bahwa sekalipun berada pada umur yang sama, tingkat capaian belajar peserta didik tidak seragam.
Sebagai kesimpulan, yang dimaksud dengan pembelajaran dengan paradigma baru adalah pembelajaran yang dilakukan melalui: 1) penggunaan kurikulum yang disesuaikan dengan tujuan untuk mengembangkan dan menguatkan kompetensi dan karakter yang sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila, 2) penerapan pembelajaran sesuai dengan tahap capaian belajar peserta didik, 3) penggunaan beragam perangkat ajar termasuk buku teks pelajaran dan rencana pembelajaran yang bersifat modular sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik, dan 4) pembelajaran lintas mata pelajaran berbasis projek untuk penguatan pencapaian Profil Pelajar Pancasila.
Sumber :
Purba, Mariati dkk 2021. Naskah Akademik Prinsip Pengembangan Pembelajaran Berdiferensiasi (Differentiated Instruction) Pada Kurikulum Fleksibel Sebagai Wujud Merdeka Belajar, Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Republik Indonesia. Jakarta.