Keistimewaan Aceh Dalam Bidang Pendidikan
oleh : A. Hasjmy
Setelah Aceh mendapat gelar kehormatan sebagai Daerah Modal Republik Indonesia, karena Aceh telah memberi bermacam sumbangan untuk Pemerintah Pusat yang berpusat di Yogyakarta, sementara propinsi-proinsi lain di seluruh Indonesia yang hampir seluruh wilayahnya telah diduduki Belanda, maka pada tanggal 21 September 1953 Aceh terpaksa memberontak terhadap pemerintah Republik Indonesia, karena Propinsi Aceh yang baru berusia 8 bulan dilebur ke dalam Propinsi Sumatera Utara. Setelah bertahun-tahun pemberontakan Darul Islam di Aceh terjadi dan segala macam usaha untuk menindasnya tidak berhasil, maka pada awal 1957 Propinsi Aceh didirikan kembali. Untuk menyelesaikan masalah-masalah politik, maka pada Minggu ke III bulan Mei 1959 Pemerintah Pusat mengirim sebuah Missi ke Aceh untuk mengadakan musyawarah dengan delegasi Dewan Revolusi Darul Islam. Missi tersebut dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri I, Mr. Hardi, yang kemudian terkenal dengan Missi Hardi.
Sebelum uraian ini saya lanjutkan maka ada manfaatnya saya angkat kembali sebuah sajak saya yang berjudul “SEPTEMBER BERDARAH” yang diucapkan pada tanggal 10 November 1993 dalam upacara peluncuran sebuah buku di Hotel Horison Jakarta karangan Hardi, SH berjudul “Daerah Istimewa Aceh, Latar Belakang Politik dan Masa Depannya“.
Sajak September Berdarah tersebut selengkapnya berbunyi:
SEPTEMBER BERDARAH
Dengan mempergunakan tangan Tengku Mansur,
yang menamakan dirinya “wali negara” Sumatera Timur,
Van Mook, Letnan Gubernur Jendral Hindia Belanda,
berkehendak membentuk “negara federasi” Sumatera,
dengan politik liciknya yang bernafsu besar,
untuk menghancurkan Republik Indonesia,
Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sepucuk surat undangan
yang bertanggal 17 Maret 1949,
ditandatangani “wali negara” Sumatera Timur,
dijatuhkan pesawat terbang militer Belanda,
di atas kota Banda Aceh,
ibukota Daerah Modal Republik Indonesia,
mengajak Jenderal Mayor Teungku Muhammad Daud Beureueh,
Gubernur Militer Aceh, Langkat dan tanah Karo,
agar mengirim delegasi Daerah Aceh,
menghadiri Muktamar Sumatera, yang akan berlangsung di Medan
tanggal 28 Maret 1949,
di bawah bayangan bayonet tentara Belanda.
Setelah terjadi rapat maraton,
yang berlangsung sejak pukul sembilan pagi,
di mana meledak pertukaran pikiran seru,
antara pemimpin peserta rapat,
Teungku Muhammad Daud beureueh,
Ulama Besar,
Gubernur Militer Aceh, Langkat dan tanah Karo,
mengeluarkan sebuah pernyataan pedas,
menentang “Muktamar Sumateranya”-nya Van Mook,
yang mempergunakan tangan kotor Teungku Mansur.
Akhirnya, karena penentangan Aceh,
“Negara Federasi Sumatera”
gugur dalam kandungan, gagallah politik licik Belanda,
Aceh tetap menjadi Daerah Modal,
Republik Kesatuan Indonesia,
tidak pernah dijamah kaki.
tentara kolonial Belanda,
baik pada waktu Agressi Pertama,
maupun di masa Agressi Kedua.
II
Akhir Desember 1949,
Belanda terpaksa menyerah kembali,
kedaulatan kepada bangsa Indonesia,
yang dirampoknya selama tiga abad,
kecuali karena perjuangan
rakyat Indonesia sendiri,
dengan bermodalkan Wilayah Sebesar Payung,
Tanah Aceh di ujung barat,
seperti semboyan Presiden Soekarno,
waktu berkunjung ke Aceh, Juni 1948,
juga karena tekanan dunia Internasional,
yang membuat Belanda pusing kepala.
Entah karena balas jasa,
entah karena sebab-sebab tidak terucapkan,
Januari 1950 Pemerintah Republik Indonesia,
menghadiahkan kepada rakyat Aceh,
sebuah Propinsi Otonomi,
dengan mengangkat Teungku Muhammad Daud Beureueh,
sebagai Gubernur/Kepala Daerah-nya,
dan sejumlah putera-putera Aceh pilihan,
pembela gigih kemerdekaan Republik Indonesia, ditetapkan menjadi pembantu-pembantunya : kepala-kepala jawatan
dan anggota-anggota Dewan Pemerintahan.
Sayang, Propinsi Otonomi Aceh,
yang baru berusia delapan bulan,
oleh tangan Pemerintah Pusat di Jakarta,
yang telah kemasukan setan komunis.
merenggut nyawa puteranya sendiri,
yang sedang merangkak membangun dirinya
Ratap tangis yang sayup-sayup
memohon agar putera belianya
diberi kesempatan hidup,
nyawanya jangan dicabut,
tidak digubris sama sekali,
bahkan dituduh lagi,
puteranya yang masih belia,
akan membunuh orangtuanya….
III
Beruntun delegasi Daerah Modal,
berkunjung ke Ibukota Negara, Jakarta,
memohon, bahkan mengemis,
kepada ayahnya yang telah kemasukan setan komunis,
agar Propinsi Otonomi Aceh,
anak kandungnya, dihidupkan kembali,
seperti anaknya yang lain,
yang tadinya telah menjadi anak “piaraan” Belanda
Suara permohonan yang sayup-sayup,
lenyap diterbangkan taufan ganas,
ibarat air disiram ke pasir …….
Kaum komunis yang ibarat cacing kepanasan,
sangat kuatir kalau Propinsi Otonomi Aceh,
akan tumbuh menjadi enteng
keimanan yang tangguh,
penghambat cita-cita mereka :
menjadikan bumi Indonesia negara tiada bertuhan.
Hasut-fitnah mereka merasuki batang tubuh Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta, mereka sebarkan surat-surat selebaran,
yang berisikan ratusan nama,
putera-putera pilihan Pejuang Aceh,
yang telah mempertaruhkan nyawanya
mempertahankan Kemerdekaan Republik Proklamasi Dalam surat-surat selebaran itu,
mereka katakan, bahwa Pemerintah Pusat akan menangkap
para mujahid yang telah berjasa itu,
dan provokasi kaum komunis itu berhasil,
SEPTEMBER BERDARAH tidak dapat dihindarkan lagi
Di luar kehendak semua orang,
kecuali orang-orang komunis,
tanggal 21 September 1953,
rakyat Aceh di luar keinginannya,
terpaksa mengangkat senjata,
terhadap Republik Indonesia,
yang telah dibela dengan nyawa dan harta,
jalan lain sudah tidak kelihatan lagi ……..
IV
Bertahun-tahun, September Berdarah,
mengucurkan darah merah,
mengaliri tanah rendah dan lembah-lembah bumi bertuah,
Serambi Mekkah.
darahnya putera-putera bangsa,
yang saling menembak dan berbunuhan,
di bawah kilatan nyalanya api,
yang menghanguskan gedung-gedung,
dan membakar rumah-rumah adat,
warisan nenek moyang.
Ratap tangis ibu-ibu,
yang kehilangan putera tercintanya,
isak-sayu wanita-wanita,
yang kematian suami pelindungnya Lagu-lagu haru gadis-gadis,
yang bercerai dengan tunangannya,
sesu-sedan tubuh-tubuh cacat,
telah menyentuh hati nurani para pemegang kekuasaan di Jakarta.
Menjelang akhir tahun 1956,
tokoh-tokoh politik pendukung Pemerintah,
bermusyawarah di Kebayoran Baru,
di rumah Ir. Muhammad Nur,
orang Masyumi Setelah mendengar kecaman tajam A. Hasjmy yang mewakili PSII, musyawarah mengambil keputusan,
Propinsi Otonomi Aceh, dihidupkan kembali.
Pertengahan Desember 1956,
Menteri Dalam Negeri,
Mr. Sunaryo, bertanya kepada Ali Hasjmy:
Apakah sampean bersedia diangkat menjadi Gubernur Aceh?
“Bersedia dengan satu syarat,” jawab Hasjmy ringkas
Apakah syaratnya ? tanya Sunaryo
“Saya kembali ke Aceh sebagai Gubernur,
membawa air, bukan bensin,”
jawab Hasjmy tegas.
Menteri Sunaryo bermenung sejenak,
kemudian mengangkat kepala dan berkata:
~~Ya, saya memahami ..
…….
kami diam dalam seribu bahasa,
dan berpisah…….
V
27 Januari 1957,
A. Hasjmy dilantik menjadi Gubernur Aceh 29 Januari 1957,
Gubernur yang baru memangku jabatan dua hari,
menemui tokoh-tokoh Darul Islam di luar kota Banda Aceh
Kontak pertama telah terjadi,
disusul kontak kedua dan seterusnya
Akhirnya, Gubernur Hasjmy,
Panglima Gaharu dan Kapolda Muhammad Isya
Menemui Wali Negara,
Teungku Muhammad Daue Beureueh,
tokoh puncak Darul Islam Aceh,
di lingkungan sebuah gunung,
dalam hutan yang masih perawan …..
Kontak-kontak awal,
dilanjutkan dengan pertemuan demi pertemuan,
musyawarah demi musyawarah,
yang berjalan sangat alot
Alangkah sulitnya menemukan pemecahan,
bagi sebuah kemelut ketatanegaraan,
yang telah berusia panjang,
oleh bayang-bayang kegagalan …….
VI
Menjelang Mei 1959,
pada waktu ketegangan
telah sampai di puncak …….
Pemerintah Pusat mengirim sebuah misi,
di bawah pimpinan Mr. Hardi,
Wakil Perdana Menteri Kabinet Juanda,
dengan membawa mandat penuh.
Musyawarah antara Missi Hardi
dan Delegasi Dewan Revolusi Darul Islam berjalan tidak semulus yang diharapkan,
suhunya adakala panas membakar,
kadang-kadang dingin menggigil Untungnya,
Gubernur Hasjmy, yang memimpin musyawarah,
sikapnya lembut dan teduh, setenang air dalam kolam.
Tanggal 25 Mei 1959, Missi Hardi,
Menyampaikan usulnya terakhir : status Propinsi Otonomi Aceh,
ditingkatkan menjadi Daerah Istimewa Aceh Keistimewaannya pemberian otonomi luas,
dalam bidang agama,
pendidikan, dan adat.
Setelah pertukaran pikiran seru,
dalam sidangnya yang berlangsung,
di rumah Bupati Zaini Bakri, menjelang pagi tanggal 26 Mei 1959,
Delegasi Dewan Revolusi Darul Islam,
memutuskan menerima usul Missi Hardi,
Tanah Aceh seperti mendapat nyawa baru.
Tanggal 26 Mei 1959 tengah hari,
Dewan Revolusi Darul Islam,
menyerahkan pernyataan kembalinya mereka
ke pangkuan Republik Indonesia
Sebagai imbalannya, Missi menyampaikan
kepada Delegasi Dewan Revolusi Darul Islam
Keputusan Missi Hardi Nomor 1.
Dalam malam Resepsi tanggal 26 Mei 1959,
Pernyataan Dewan dan Keputusan Missi,
diumumkan secara resmi
Khalayak yang hadir bersyukur,
mungucap tasbih dan zikir,
memuji Allah yang Maha Kuasa Sebuah peristiwa besar,
telah mengisi lembaran sejarah.
VII
Tanggal 27 Mei 1959 pagi,
Missi Hardi kembali ke Jakarta
Dalam tasnya berisi keberhasilan,
penyelesaian kemelut politik,
mengakhiri pertumpahan darah,
yang sudah demikian parahnya.
Di Bandara Blang Bintang, rakyat Aceh
melepaskan Mr. Hardi dan Missi-nya.
dengan doa selamat dan rasa haru mendalam.
serta linangan air mata duka, tersentuh oleh perpisahan
Demikianlah,
guretan-guretan peristiwa masa lalu
kutayangkan kembali di malam bahagia ini.
waktu peluncuran sebuah buku :
Daerah Istimewa Aceh.
latar belakang politik dan Masa Depannya.
tetesan pena Hardi, Sarjana Hukum.
Sang Bidan Daerah Istimewa Aceh…
Pada malam seperti ini.
membuat hati kita semua
terbenam dalam mimpi duka masa lalu.
bergalau dengan kenyataan damai masa kini
Berbahagialah Engkau,
wahai Sang Bidan bertangan dingin…….
Banda Aceh Darussalam, Awal November 1993
..
MENGAPA DAERAH ISTIMEWA ACEH
Misi Hardi yang terdiri dari 29 orang (Perwira Tinggi ABRI Tenaga-tenaga teras Departemen Dalam negeri dan beberapa Departemen lainnya) sampai di Banda Aceh pada tanggal 23 Mei 1959 dan besoknya terus dilangsungkan Musyawarah antara Missi Hardi yang mendapat kuasa penuh dari Pemerintah Pusat dan Dewan Revolusi Darul Islam yang dipimpin Abdul Gani Osman (terkenal dengan panggilan Ayah Gani).
Di bawah pimpinan Gubernur Aceh, yang waktu itu dijabat oleh A. Hasjmy, dalam perundingan itu delegasi Dewan Revolusi Darul Islam mengajukan sebuah konsep yang mereka namakań konsep Darussalam.
Dalam konsep yang mereka ajukan itu, antara lain mereka meminta, atau menuntut agar status Propinsi Otonomi Aceh ditingkatkan menjadi Negara bagian Islam dari Republik Indonesia.
Usul tersebut ditolak oleh Missi Hardi karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian mereka mengajukan usul baru, yaitu agar Propinsi Aceh dijadikan Propinsi yang berdasarkan Islam. Usul inipun ditolak oleh Missi Hardi, karena berlawanan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Pada tanggal 25 Mei 1959 Missi Hardi mengajukan sebuah usul untuk dipertimbangkan oleh Delegasi Dewan Revolusi Darul Islam Aceh, yaitu : Status Propinsi Aceh ditingkatkan menjadi Daerah Istimewa Aceh, yang keistimewaannya pemberian hak-hak Otonomi yang luas dalam :
- Bidang Agama
- Bidang Pendidikan
- Bidang Adat Budaya.
Setelah Delegasi Dewan Revolusi Darul Islam Aceh berunding sejak tengah hari tanggal 25 Mei 1959 sampai jam 3 pagi tanggal 26 Mei 1959, barulah ada keputusan bahwa mereka menerima usul ketua Delegasi Missi Hardi.
Kemudian pada pukul 3 pagi tanggal 26 Mei 1959, dari rumah Bupati Aceh Besar Sdr. Zaini Bakri (tempat mereka bermusyawarah sesamanya), mereka telpon kepada Gubernur Aceh, yang menyatakan bahwa mereka menerima secara penuh usul Missi
Hardi.
PESAN PRESIDEN SOEKARNO
Pada tanggal 24 Januari 1957, waktu A. Hasjmy yang telah diangkat menjadi Gubernur Propinsi Aceh menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka, yang diantar oleh Menteri Dalam Negeri, Mr. Sunaryo.
Waktu itu Presiden Soekarno antara lain berpesan :
Segala pekerjaan yang akan Gubernur lakukan di Aceh haruslah yang mengakibatkan cepatnya penyelesaian pemulihan keamanan. Pesan ini saya fahami, bahwa saya harus melakukan segala-galanya untuk mempercepat penyelesaian pemulihan keamanan di Aceh.
–
Setelah saya dilantik menjadi Gubernur Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 27 Januari 1957, pada tanggal 29 Januari tahun tersebut saya berangkat kesalah satu tanpa ditemani tempat di Aceh Besar. Dengan menyetir JIP sendiri oleh siapapun, saya keluar Kota menuju ke arah Timur. Di Lueng Bata di tengah jalan Jip saya distop oleh seseorang yang saya kenal baik (sesuai dengan surat pimpinan Darul Islam yang saya terima tanggal 27 Januari sore), penyetop Jip saya itu ialah Sdr. Ibrahim Irian (karena nama tokonya Irian).
Kemudian bersama-sama dengan Sdr. Ibrahim Irian saya menyetir Jip menuju ke arah Lubok satu tempat dalam Kabupaten Aceh Besar. Pada satu tempat dekat krueng Lingka atau dipinggir Krueng Lingka (sungai berkelok), di atas sebuah balai kecil tempat Shalat, telah menunggu beberapa orang Tokoh Darul Islam yaitu : Tgk. Muhammad Ali Piyeung (Kepala Polisi Negara Darul Islam Aceh), teman sekolah saya waktu di Padang Panjang, Tgk. Ishak Amin (Bupati Kabupaten Darul Islam Aceh), abang ipar saya, Tgk. Abdul Jalil Amin (Komandan Batalion Istimewa Darul Islam Aceh), teman saya waktu sama-sama mendirikan Serikat Pemuda Islam Aceh (SPIA), yang kemudian berubah menjadi Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia (PERAMINDO) dan Tgk. Suleiman Ahmad (Salah seorang tenaga teras Darul Islam Aceh), teman saya, sama-sama pengurus dalam Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia. Pertemuan ini sebagai kontak pertama saya dengan tokoh-tokoh Darul Islam Aceh, saya namakan pertemuan DHAM. Dalam bulan April 1957 sebagai lanjutan pertemuan DHAM, pada suatu malam di awal Ramadhan saya dengan ditemani oleh guru saya Tgk. Abdul Wahab Seulimum yang sengaja saya minta datang dari Jakarta dan Sdr. Muhammad Isya Kepala Polisi Aceh dan Sumatera Utara menuju ke sebuah desa, kira-kira 10 km di luar kota Banda Aceh yang bernama Gampong Lam Teh. Kami diantar oleh Sdr. T. Bordandyah (D.I. Kota) teman dekat saya.
Di gampong Lam Teh, di rumah Ayah Pawang Leman, seorang tokoh Darul Islam yang sangat berpengaruh, (teman saya yang sudah seperti saudara kandung) kami telah ditunggu oleh Sdr. Hasan Ali (Perdana Menteri D.I. Aceh, teman akrab saya dalam Pemuda PUSA), Hasan Saleh (Panglima D.I. Aceh, mantan murid saya di Perguruan Islam Seulimeum), Ibrahim Saleh (komandan sebuah Resimen D.I., juga mantan murid saya di Perguruan Islam Seulimeum) Ayah Pawang sendiri dan beberapa Tokoh D.I. lainnya. Kami bermusyawarah dalam kedudukan sebagai putera-putera Aceh (bukan dalam jabatan kami masing-masing), maka dalam akhir musyawarah disepakati sebuah persetujuan yang terdiri atas tiga ayat:
- Kami sebagai putera-putera Aceh berkewajiban mem-bangun Agama dan Pendidikan di Aceh.
- Kami sebagai putera-putera Aceh berkewajiban menyelamatkan Aceh dari kehancuran selanjutnya.
- Untuk mencapai ayat 1 & 2 maka haruslah dengan segera diadakan Gencatan Senjata.
Persetujuan inilah yang kemudian terkenal dengan IKRAR LAM TEH.
Besoknya saya melapor kepada Panglima Kodam I Aceh Sdr. Kolonel Syamaun Gaharu, tentang pertemuan Lam Teh dan beliau sangat gembira. Kemudian Sdr. Syamaun Gaharu meminta saya agar segera berangkat ke Jakarta untuk melapor peristiwa tersebut (Ikrar Lam Teh) kepada Presiden Soekarno, Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung.
Dalam kesempatan perjumpaan dengan Presiden Soekarno saya mulai mempergunakan senjata yang diberikan oleh Presiden sendiri (Gubernur harus dan dapat melaksanakan segala pekerjaan yang akibatnya mempercepat pemulihan keamanan di Aceh).
Menurut hemat dan keyakinan saya kalau Bapak Presiden menyetujui usaha perluasan Masjid Raya Baiturrahman, semangat perang orang-orang Darul Islam termasuk Tgk. Muhammad Daud Beureueh sendiri, akan berkurang. Karena dalam tahun 1946 beliau telah membentuk sebuah Panitia yang bernama Panitia Perluasan Masjid Raya Baiturrahman yang ketuanya Tgk. Muhammad Daud Beureueh sendiri. Usul saya tersebut diterima oleh Presiden Soekarno dan hari itu juga beliau menelpon Menteri Agama, K.H. Muhammad Ilyas untuk segera berangkat ke Aceh guna meletakkan batu pertama bagi perluasan Masjid Raya Baiturrahman.
KOPELMA DARUSSALAM
Seperti telah dijelaskan bahwa pada akhir musyawarah tersebut Missi Hardi mengeluarkan sebuah keputusan Pemerintah : Meningkatkan status Propinsi Aceh menjadi Daerah Istimewa Aceh, setelah terlebih dahulu Delegasi Dewan Revolusi Darul Islam Aceh mengeluarkan pernyataan, yang maksudnya Darul Islam Aceh dengan segala aparatnya kembali kepangkuan Republik Indonesia. Dalam minggu ke tiga bulan Mei, Panglima Kodam I Iskandar Muda, Syamaun Gaharu, dan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Aceh, A. Hasjmy pergi ke Jakarta untuk melapor kepada Presiden dan Kabinet Juanda tentang Pemulihan Keamanan di Aceh telah banyak mendapat kemajuan.
Perdana Menteri Juanda mengadakan Sidang Kabinet Isti-mewa untuk mendengar laporan kami. Kabinet menyetujui, bahwa penyelesaian Pemulihan Ke-amanan di Aceh, haruslah dengan politik, bukan dengan senjata. Maka untuk itu Kabinet akan mengirim sebuah Missi ke Aceh guna mengadakan musyawarah dengan pimpinan Darul Islam Aceh. seperti telah dijelaskan pada bagian yang lalu. Kami dianjurkan menjumpai Presiden Soekarno, karena beliau tidak menyetujui akan gagal pengiriman Missi ke Aceh.
Di Istana Merdeka, Presiden Soekarno yang ditemani oleh Kepala Staf Angkatan Darat A.H. Nasution, Kepala Staf Angkatan Udara Surya Darma, dan Kepala Staf Angkatan Laut Subijakto.
Dalam pertemuan di Istana Merdeka, kami melaporkan kepada Presiden Soekarno, masalah Pemulihan Keamanan di Aceh yang telah mencapai kemajuan-kemajuan yang berarti.
Dalam kesempatan itu, untuk kedua kalinya saya mempergu-nakan senjata yang diberikan Presiden dengan mengatakan bahwa kalau Bapak Presiden menyetujui pendirian sebuah Perguruan Tinggi di Aceh, maka semangat perang tokoh-tokoh pimpinan Darul Islam Aceh akan hilang sama sekali.
Hal ini, karena menjelang Perang Dunia ke II PUSA (Persa-tuan Ulama Seluruh Aceh) yang dipimpin Teungku Mhammad Daud Beureueh, telah membentuk sebuah Panitia yang bertugas mendirikan Universitas Islam Aceh, akan diartikan oleh tokoh-tokoh ulama PUSA, bahwa Bapak Presiden telah melaksanakan cita-cita mereka. Maka Presiden pun menyatakan persetujuannya dan terus diperintahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. DR. Priyono untuk mengadakan persiapan-persiapan bagi berdirinya sebuah Universitas Negeri di Aceh.
Pada tanggal 2 September 1959 Presiden Soekarno meresmi-kan berdirinya Universitas Syiah Kuala dengan Fakultas ekonomi sebagai Fakultas pertama. Dalam kesempatan itu, untuk ketiga kalinya saya memper-gunakan senjata yang diberikan oleh Presiden seperti yang telah saya sebutkan berulang kali. Dengan mantap saya mengatakan kepada Presiden Soekarno, bahwa kalau dalam Kopelma Darussalam didirikan sebuah Fakultas Agama Islam, maka tokoh-tokoh puncak Darul Islam Aceh akan sangat bersenang hati, yang mengakibatkan mereka akan menghentikan segala macam perlawanannya terhadap Pemerintah Pusat.
Beliau mengatakan persetujuan dan terus disuruh panggil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Priyono dan Menteri Agama K.H. Wahid Wahab, yang kedua Menteri tersebut ikut Presiden ke Aceh. Presiden Soekarno menjelaskan kepada kedua menteri itu bahwa beliau setuju di Aceh didirikan sebuah Fakultas Agama Islam berlokasi dalam Kopelma (Kota Pelajar) Darussalam. Kepada kedua Menteri tersebut Presiden memerintahkan mengadakan pembicaraan dengan Gubernur Aceh A. Hasjmy. Pada awal Oktober 1959 Gubernur Aceh A. Hasjmy berangkat ke Jakarta untuk mengadakan pembicaraan dengan Menteri Pendidikan dan Menteri Agama dalam hal pendirian sebuah Fakultas Agama Islam.
Dalam perundingan di ruang kerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Cilacap, antara kedua Menteri tersebut dan Gubernur Aceh A. Hasjmy dinyatakan bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. DR. Priyono menyetujui Departemen Agama mendirikan sebuah Universitas Agama Islam, tetapi tidak boleh dinamakan Universitas. Atas permufakatan tersebut maka lahirlah sebuah Perguruan Tinggi Agama Islam dengan nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Al-Jamiah Al-Hukumiyah Al-Islamiyah.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) dirubah namanya menjadi Institut Agama Islam Negeri Al-Jamiah Al-Hukumiyah Al-Islamiyah Jogyakarta dan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) yang berada di Jakarta dirubah namanya menjadi Institut Agama Islam Negeri Al-Jamiah Al-Hukumiyah Al-Islamiyah Jakarta.
Kedua-dua IAIN tersebut (Jogyakarta dan Jakarta) mempu-nyai 4 Fakultas, yaitu :
- Fakultas Syariah/Hukum Islam
- Fakultas Tarbiyah/Pendidikan Islam
- Fakultas Ushuluddin/Theologi Islam
- Fakultas Adab/Fakultas Sastra Arab Islam.
Maka pada tahun 60-an di Kopelma Darussalam didirikan Fakultas Syariah, cabang dari IAIN Al-Jamiah Al-Hukumiyah Al-Islamiyah Jogyakarta.
Setelah Fakultas tersebut ditambah dengan 2 Fakultas lain yaitu Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ushuluddin maka dalam Kopelma Darussalam resmilah berdiri IAIN Al-Jamiah Al-Hukumiyah Al-Islamiyah.Mengenai dengan IAIN tersebut, Aceh mempelopori istilah baru yaitu dengan memberi nama seorang Ulama di belakang Institut, dengan menamakan “Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry” (yaitu nama seorang Ulama Besar Syekh Nuruddin Ar-Raniry), maka setelah itu, Jogyakarta mengikuti Aceh dengan diberi nama IAIN Wali Songo, Jakarta dengan nama IAIN Syarif Hidayatullah. Setelah itu, tiap-tiap IAIN yang berdiri kemudian terus diberi nama diujungnya dengan nama seorang Ulama atau Sulthan seperti: IAIN Sunan Giri, Surabaya: IAIN Sunan Gunung Jati. Bandung; IAIN Hasanuddin, Ujung Pandang-Makasar; IAIN Imam Bonjol, Padang; IAIN Syarif Kasim, Pakanbaru; IAIN Antasari. Banjarmasin, dan sebagainya.
Pada akhir tahun 60-an, setelah saya (A. Hasjmy) pensiun dan kembali ke Aceh, saya aktif kembali untuk ikut membantu me-lanjutkan pembangunan Kopelma Darussalam, antara lain dengan memberi kuliah di beberapa Fakultas, baik di Fakultas-fakultas dalam lingkungan IAIN maupun dalam lingkungan Unsyiah.
- Pada waktu saya berpendapat bahwa dalam lingkungan IAIN perlu ditambah satu Fakultas lagi yang menurut anggapan saya sangat penting, yaitu Fakultas Dakwah. Rektor IAIN waktu itu ialah Prof. DR. Ismail Muhammad Syah (Ismuha).
Setelah perjuangan yang amat gigih dan tanpa mengenal mundur, maka perjuangan Aceh untuk mendirikan Fakultas Dakwah dalam lingkungan IAIN Jamiah Ar-Raniry dikabulkan sehingga dengan demikian dalam lingkungan IAIN menjadi 5 Fakultas, yaitu Fakultas Syariah, Fakultas Tarbiyah, Fakultas Adab, Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Dakwah.
Sebagai konsekwensi atas usul saya yang telah dikabulkan itu, maka saya harus menerima tawaran Menteri Agama untuk menjadi Dekan pertama Fakultas Dakwah Pertama di Indonesia, yang kemudian karenanya terbuka jalan bagi A. Hasjmy untuk dipilih dan diangkat menjadi Rektor IAIN Jamiah Ar-Raniry Darussalam.
Menyusul berdirinya Fakultas Dakwah dalam lingkungan Fakultas IAIN Jamiah Ar-Raniry Darussalam, maka IAIN lain di seluruh Indonesia mendirikan pula Fakultas Dakwah.
MADRASAH – ZAWIYAH
Setelah berdiri Kerajaan Islam Pertama di Nusantara pada tanggal 1 Muharram 225 H, yaitu Kerajaan Islam Perlak (Aceh Timur sekarang), maka langkah pertama yang diambil oleh Kerajaan Islam tersebut ialah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan di tiap-tiap kampung dengan nama Madrasah (lambat-laun lidah Aceh menyebutnya Meunasah). Di tiap-tiap Mukim didirikan lembaga pendidikan lanjutan yang bernama Zawiyah kira-kira seperti SLTP (lambat-laun lidah Aceh menyebutnya Dayah) dalam Zawiyah ini sudah mulai diajarkan ilmu pengetahuan umum dan bahasa Arab. Pada tempat-tempat tertentu didirikan sebuah lembaga Pendidikan Lanjutan Atas, yang bernama Zawiyah Teungku Chik. Dalam Dayah Teungku Chik semua pelajaran sudah diajarkan dalam bahasa Arab. Maka demikianlah, selanjutnya diseluruh Tanah Aceh didirikan lembaga-lembaga Pendidikan seperti nama yang tersebut di atas.
JAMI’ BAITURRAHMAN
Sejarah telah mencatat, bahwa dalam Kerajaan Aceh Darussalam, telah berdiri sebuah lembaga perguruan tinggi, yang hampir sama dengan universitas sekarang; namanya Jami’ Baiturrahman, dengan daar (fakultas) yang banyak, seperti Darusyariah (hukum), Druuz Ziaraah (pertanian), Daarul Adab Wal Tarikh (Fakultas Sastra dan Sejarah), Daarut Tijarah (Perdagangan), Daarus Sanaah (Teknologi). Daarut Tafsir Wal Hadis (Ilmu Tafsir dan Hadis), Makhad Baital Makdis (Akademi Militer) dan sebagainya.
Dengan tenaga-tenaga ahli dari Turki, Arab dan Parsia, maka jadilah Jami’ Baiturrahman menjelma menjadi sumber tenaga manusia terdidik untuk kepentingan kerajaan dan rakyat, hatta Aceh dalam abad XVI sanggup memproduksi bermacam-macam senjata, berat maupun ringan, seperti meriam, keumurah, peudeng onteubey, siwaih, rencong, bari. Di samping itu, juga Aceh telah membangun galangan-galangan kapal, yang sanggup membuat kapal-kapal perang dan kapal dagang.
Lembaga pendidikan yang bernama Madrasah/meunasah dan Zawiyah/dayah telah dibangun di Aceh sejak Era Islam dan jumlahnya nya ribuan. Para murid/siswa yang telah menamatkan pendidikan-di Zawiyah Manyang (semacam SLTA) juga diwisuda, dengan cara memegang tasbih raksasa/tasbih wisuda, kemudian Teungku Chik dan para hadirin sama-sama berzikir dan membaca doa-doa tertentu. Setelah selesai upacara tersebut, para murid bersang-kutan telah diakui menjadi Teungku/Ulama dan berhak membuka dayahnya sendiri.
KEISTIMEWAAN DALAM BIDANG PENDIDIKAN FASILITAS PERTAMA
Tiga bulan setelah peningkatan status Propinsi Aceh (menjadi Daerah Istimewa Aceh) maka Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh, Panglima Kodam I Iskandar Muda dan pemimpin-pemimpin Aceh lainnya terus mendirikan pusat pendidikan Tinggi di Daerah Istimewa Aceh, yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 2 September 1959.
Peresmian Pusat Pendidikan Kopelma Darussalam sangat istimewa dan luar biasa, karena upacara peresmiannya yang dilakukan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, disaksikan oleh 10 orang Menteri Kabinet dan 10 orang Duta Besar negara-negara sahabat, para pejabat Tinggi dan Perwira Tinggi ABRI yang menjadi rombongan Presiden dan para Ulama dan pemimpin-pemimpin Aceh sendiri. Di samping puluhan ribu rakyat.
Karena pengisian keistimewaan Aceh dimulai dengan membangun pendidikan, yaitu pendirian Kopelma Darussalam, maka banyak Ulama-ulama dan pemimpin Aceh memprotes kepada Gubernur A. Hasjmy, mengapa tidak dimulai dengan membangun bidang agama.
Protes tersebut diterima oleh Gubernur dengan memberi alasan-alasan yang konkrit mengapa harus dimulai dengan pembangunan pendidikan, artinya mencetak manusia-manusia berilmu dan berpengetahuan luas. Hal itu dilaksanakan, karena kalau agama dipimpin oleh orang bodoh tidak berilmu, maka dalam agama akan penuh kurafat dan bid’ah, kalau adat dipimpin oleh orang-orang bodoh dan jahil. maka adat Aceh akan menjadi adat Jahiliyah. Alasan tersebut dapat diterima oleh para Ulama dan pemimpin-pemimpin yang memprotes.
Di samping protes tersebut ada lagi protes lain dari sejumlah masyarakat yang mengatakan mengapa dimulai dengan pembangunan pendidikan, tidak dengan pembangunan sarana ekonomi.
Terhadap protes yang kedua ini Gubernur A. Hasjmy menjawab: bahwa pembangunan sarana ekonomi juga memerlukan tenaga-tenaga ahli yang berpengetahuan, dan selanjutnya kalau dana ada dan cukup serta alat-alat berat tersedia, jalan-jalan di seluruh Aceh dan pelabuhan-pelabuhan serta sarana-sarana ekonomi lainnya dapat dibangun dalam waktu satu bulan.
Tetapi pembangunan pendidikan tidak mungkin dibangun dalam waktu yang cepat, sekalipun tersedia dana yang cukup. karena pembangunan pendidikan harus melalui masa yang panjang, yaitu: SD 6 tahun, SLTP 3 tahun, SLTA 3 tahun, S1 4-8 tahun. S2 2-3 tahun dan S3 2-4 tahun.bDengan mengemukakan alasan-alasan tersebut maka masyarakat Aceh dapat menerima pembangunan pendidikan diutamakan lebih dahulu.
HARI PENDIDIKAN
Untuk memacu pembangunan pendidikan, maka Pemerintah Daerah Istimewa Aceh menetapkan tanggal 2 September sebagai HARI PENDIDIKAN DAERAH ISTIMEWA ACEH.
Untuk berhasilnya pembangunan pendidikan, maka Gubernur Daerah Istimewa Aceh menyediakan sebuah Piala yang bernama PIALA PENDIDIKAN BERGILIR. Piala pendidikan ini dipere-butkan tiap-tiap tahun oleh Daerah-Daerah Tingkat II dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Daerah Tingkat II yang paling maju pendidikannya di tahun yang bersangkutan berhak menerima Piala Pendidikan Bergilir tersebut.
Para Bupati dan Walikota Tingkat II dalam Daerah Istimewa Aceh, menyediakan pula sebuah Piala Pendidikan Bergilir, yang akan diperebutkan tiap-tiap tahun oleh Sekolah-Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN).
Sekolah Dasar dan MIN yang paling tinggi mutu pendidikan-nya dalam tahun yang bersangkutan berhak menerima Piala Pendidikan Bergilir Tingkat II dari Daerah yang terkait.
Disamping diadakan Piala-Piala Pendidikan Bergilir, maka untuk memajukan pendidikan dalam Daerah Istimewa Aceh diadakan pula beberapa buah lagu, yang menjadi lagu wajib bagi Daerah Istimewa Aceh, yaitu :
- Lagu Mars Darussalam,
- Lagu Mars Hari Pendidikan,
- Lagu Mars Angkatan Darussalam.
Dengan berkumandangnya lagu-lagu tersebut di atas angkasa tanah Aceh, maka semangat membangun pendidikan berkobar-kobar dalam hati Rakyat Aceh. Pembangunan Kopelma Darus-salam dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat Aceh.
Perempuan-perempuan tua dan janda-janda menyerahkan botol-botol kosong, orang-orang yang beruang membantu dengan dana menurut kemungkinannya masing-masing, para pegawai Negeri dan murid-murid sekolah bergotong royong sedikitnya sekali dalam seminggu. Dengan demikian pembangunan Kopelma Darussalam betul-betul dilaksanakan semua lapisan masyarakat Aceh, sesuai dengan semboyan yang dibuat waktu Kopelma Darussalam direncanakan pembangunannya, yaitu :
- Kopelma Darussalam dibangun dengan kekuatan rakyat dan ditujukan untuk kepentingan serta kesejahteraan rakyat.
- Kopelma Darussalam bertujuan mencetak manusia Pancasila, yang berjiwa besar, berpengetahuan luas dan berakhlak mulia.
Demikianlah sumbangan karangan ini disusun untuk mengangkat kembali sejarah pembangunan pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, yang kadang-kadang sering dilupakan orang.
–=0=–
Sumber : Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh