Perkembangan Pendidikan Dayah (Antara Tradisi dan Pembaharuan )

 

Oleh :

Prof Dr. H. Safwan Idris, MA.

 

Asal usul Dayah

Perkataan dayah berasal dari perkataan zawiyah yang dalam bahasa Arab berarti sudut atau pojok. Sebagai suatu lembaga pendidikan, dayah memang berasal dari pengajian-pengajian yang diadakan disudut-sudut mesjid yang merupakan lembaga pendidikan yang sangat awal dalam Islam. Dari pengajian-pengajian disudut mesjid inilah lahirnya institusi yang disebut dengan zawiyah. Dalam bahasa Aceh istilah zawiyah itu akhirnya berobah menjadi dayah karena dipengaruhi oleh bahasa Aceh yang pada dasarnya tidak memiliki bunyi Z dan cenderung lebih memendekkan. Namun demikian perkataan zawiyah masih dapat dijumpai pemakaiannya dalam dunia dayah. Misalnya catatan-catatan pada Dayah Tanoh Abee di Seulimuem, Aceh Besar masih memakai perkataan zawiyah. Disamping istilah dayah berasal dari zawiyah itu, lembaga pendidikan tradisional di Aceh sekarang ini kadang-kadang disebut juga pesantren suatu istilah yang berasal dari khazanah bahasa sanskerta yang dipakai untuk lembaga pendidikan Islam tradisionil yang sama di Jawa.

Disamping istilah dayah, dalam khazanah pendidikan tradisional di Aceh juga dikenal istilah Meunasah. Meunasah berasal dari istilah madrasah yang bahasa Arab artinya tempat belajar. Dalam tulisan ini, istilah dayah dipakai secara luas yang meliputi semua lembaga pendidikan trasdisionil di Aceh termasuk meunasah, (tetapi bukan madrasah yang ada sekarang yang merupakan lembaga yang muncul setelah ada pembaharuan). Istilah lain yang terdapat dalam khazanah pendidikan tradisionil yang disebut dayah adalah rangkang, dayah teungku Syik. Balai Setia bahkan Jami’ah.2 Ada di antara istilah ini yang kede-ngarannya asli berasal bahasa Aceh seperti rangkang, tetapi istilah-istilah lain seperti dayah, meunasah, dayah teungku Syik (mungkin berasal dari kata Syech) dan Jami’ah berasal dari bahasa Arab. Istilah-istilah yang dipakai tersebut penting bagi memahami sifat dan asal usul lembaga tersebut karena istilah-istilah tersebut mengandung makna atau konsepsi dasar tentang lembaga-lembaga pendidikan tradisionil tersebut.

Dalam sejarah awal perkembangan lembaga-lembaga pendi-dikan Islam, istilah zawiyah memang dipakai untuk sejenis lembaga pendidikan yang selanjutnya berkembang menjadi madrasah. George Makdisi misalnya menyatakan bahwa madrasah berasal dari pengajian-pengajian yang pada umumnya diistilahkan dengan ribath (ikatan), khanqah, zawiyah (sudut) dan turbah. Ribath merupakan institusi belajar yang sangat awal munculnya pada mesjid yang mengajarkan tasauf melalui pengajian-pengajian tentang hadits, dan pada abad keenam H. atau abad keduabelas M. mengkombinasikan pengajaran tasauf dengan hukum.³ Makdisi selanjutnya menyatakan bahwa mesjid Jamik yang ada di Kairo dan Damaskus memiliki zawiyah dimana hukum diajarkan menurut salah satu mazhab yang empat. Pada mesjid Umaiyah di Damaskus, terdapat delapan zawiyah, dua untuk mazhab Syafi’i, satu untuk mazhab Hambali, tiga untuk mazhab Hanafi, satu untuk mazhab Maliki dan satu untuk mazhab yang lain. Dari delapan zawiyah tersebut atau dua dari zawiyah Syafi’i ini ada satu yang diberi nama zawiyah Ghazali dan satu lagi diberi nama zawiyah Nasriyah. Demikian juga George Makdisi menyatakan bahwa di Kairo banyak sekali terdapat mesjid Jamik dan zawiyah untuk pengajaran ilmu hukum dari berbagai mazhab.4

Kita tidak mengetahui dengan pasti, kenapa diantara berbagai istilah yang ada itu yaitu ribath, zawiyah, khanqah, turbah, duwairah dan madrasah, akhirnya istilah zawiyah (menjadi dayah) dan madrasah (menjadi meunasah) yang lebih menonjol dipakai di Aceh. Tetapi dapat dipastikan bahwa istilah tersebut dibawa ke Aceh oleh ulama-ulama Aceh yang belajar di Mekkah, Kairo atau Damaskus pada zawiyah-zawiyah dan madrasah-madrasah yang mengajarkan fiqh mazhab Syafi’i. Hal ini diperkuat oleh suatu kenyataan bahwa mazhab Syafi’i merupakan mazhab yang sangat dominan di Aceh khususnya dan di Asia Tenggara umumnya. Disamping banyak ulama Aceh yang belajar di Timur Tengah pada masa itu, ulama-ulama dari Arab, Mesir, Persia, Gujarat dan Malabar banyak juga datang ke Aceh sejak zaman kerajaan Pasai termasuk nenek moyang dari Syekh Abdurrauf Al-Singkili atau Teungku Siyah Kuala itu sendiri. Ulama-ulama ini yang dipastikan mengembangkan pendidikan dayah di Aceh, dan menggunakan istilah zawiyah seperti yang digunakan pada lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Timur Tengah pada waktu itu.

Sesuai dengan model yang tumbuh pada masa awal Islam ini yang dipakai dalam pengembangan dayah di Aceh, maka ada beberapa ciri yang penting yang patut dicatat dari pendidikan system dayah yang diwarisinya dari system tersebut di Timur Tengah. Pertama sekali ialah keberadaan mesjid sebagai inti dari lembaga pendidikan dayah. Ini merupakan gambaran dari zawiyah itu sendiri yang diselenggarakan di mesjid-mesjid tertama mesjid Jamik atau mesjid besar yang diperuntukkan untuk shalat Jum’at. Ciri yang kedua adalah adanya pengajaran ilmu tasauf dan penyelenggaraan kegiatan thariqat pada dayah-dayah di Aceh. Adanya kegiatan thariqat ini dapat dilihat pada adanya tempat berkhalwat pada dayah-dayah di Aceh yang biasanya ditempatkan disamping kubur atau makam dari ulama terkenal dari dayah tersebut. Ciri yang sangat penting lainnya ialah pendidikan yang berorientasi pada tradisionalisme yang diistilahkan dengan “Ahlu sunnah wal Jama’ah” dan “mazhab imam Syafi’i” seperti yang termaktub dalam anggaran dasar persatuan dayah Inshafuddin. sebagai organisasi dayah tradisionil di Aceh,”

 

Tradisionalisme dalam pendidikan dayah memang merupakan warisan paling penting dari Timur Tengah yang masih diper tahankan dalam sistem pendidikan dayah. Inti dari pendidikan tradisionil tersebut ialah pengajaran fiqh atau hukum Islam yang disebut oleh Makdisi sebagai “queen of Islamic sciences (ratu dari ilmu keislaman), menurut salah satu dari mazhab yang empat dan mazhab Syafi’i di Aceh khususnya, Tradisi ini telah dipelihara dengan baik dalam pendidikan di Timur Tengah maupun dalam pendidikan dayah di Aceh selama ratusan tahun. Selama masa tersebut hubungan Aceh dengan Timur Tengah terus berlanjut dan pendidikan dayahpun terus berlanjut. Bukan saja ulama-ulama pada masa Abddurrauf Syiah Kuala yang belajar di Mekkah, tetapi ulama generasi Tgk. Muda Wali Al-Khalidi dari Aceh Selatan, Tgk. H. Hasan Krueng Kalee di Aceh Besar juga masih tetap belajar di Mekkah dan menjadi Tokoh pembangun pendidikan dayah yang sangat penting di Aceh ini. Snouck Hurgronje pernah bertemu dengan sebagian mereka pada waktu ia menyamar dan tinggal di Mekkah pada penghujung abad ke 19.8

Dilihat dari latar belakang dan asal usul yang demikian itu, suatu pernyataan timbul sehubungan dengan berbagai macam pembaharuan yang muncul di Timur Tengah sejak akhir abad ke 19 dan di Indonesia sejak awal abad ke 20 ini. Kita dapat memahami bahwa ulama-ulama Aceh yang belajar di Mekkah dan Kairo sampai awal abad ke 20 ini merupakan kader-kader penting dalam berkesinambungannya tradisi dayah di Aceh sampai pertengahan abat ke 20 ini. Tetapi dengan timbulnya pembaharuan dijazirah Arab yang digerakkan oleh Muhammad Bin Abdul Wahab yang dikenal dengan gerakan kaum Wahabi dan pembaharuan oleh Muhammad Abduh di Mesir, dayah-dayah di Aceh kehilangan suatu sumber penting dalam pendidikan kader-kadernya. Gerakan Wahabi di Arabia telah melarang berbagai macam tradisi yang menjadi rujukan dari ulama-ulama dayah di Aceh, seperti penga-jaran fiqh aliran Syafi’iah karena kaum Wahabi sendiri lebih dekat dengan mazhab Hambali. Bahkan banyak ulama-ulama tradisionil yang dibunuh atau dilarang pengajian-pengajiannya. Ini berarti kehilangan yang sangat penting bagi berlanjutnya tradisionalisme dalam pendidikan dayah di Aceh.

 

Pembaharuan yang timbul di Timur Tengah itu ternyata berkembang juga sampai ke Indonesia terutama pada awal abad ke 20, dan pembaharuan ini merupakan tantangan (bukan ancaman) yang sangat penting bagi pendidikan dayah di Aceh dan pendidikan pesantren di Nusantara ini. Dengan tantangan yang demikian, yaitu berantakannya sumber kader-kader di Timur Tengah, dan muncul-nya pembaharuan itu sendiri di Aceh dan di Indonesia, bisakah tradisi pendidikan dayah bertahan dan berlanjut terus di Aceh ini. Pembaharuan ini ditandai dengan lahirnya organisasi seperti Serikat Islam dan Muhammadiyah serta organisasi lainnya yang begitu aktif dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam. Oleh organisasi pembaharuan ini, “pendidikan itu tidak lagi semata-mata diselenggarakan dengan cara-cara tradisonil di pesantren, surau atau rangkang dan dayah, melainkan telah mulai mengalami perubahan”. Mereka berpendapat bahwa “pesantren dan surau lebih merupakan lembaga untuk mempelajari agama dalam arti sempit.’ Di Aceh pembaharuan pendidikan ini dilaksanakan oleh organisasi pembaharuan Islam yang bernama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).

 

Jawaban terhadap pertanyaan tersebut mungkin dapat diperoleh dalam sejarah perkembangan pendidikan dayah di Aceh sejak zaman kerajaan Aceh sampai saat ini ketika Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia dan lembaga pendidikan sistem dayah ini mendapatkan pengaruh lain dari pesantren di Jawa. Lahirnya ide-ide pembaharuan di Jawa dengan berbagai organisasinya juga telah mengilhami penyerapan ide-ide pemba-haruan dikalangan tokoh-tokoh pesantren dan ini dibuktikan dengan lahirnya Nahdatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak itu pendidikan sistem pesantren juga telah mengalami banyak perubahan. Banyaknya lulusan pesantren di Jawa yang mengabdi di dayah-dayah terpadu di Aceh sekarang adalah suatu bukti adanya perubahan itu. Dengan demikian kesinambungan tradisi dayah di Aceh sekarang ini nampaknya tidak saja ditentukan oleh pengaruh Timur Tengah lagi, tetapi juga ditentukan oleh kreativitasnya sendiri menjadi lembaga yang mampu berdiri sendiri dan berkembang dengan kader-kader sendiri. Bila hal ini tidak bisa dipenuhi, maka masa depan perkembangan dayah menjadi sangat tidak menentu.

Pendidikan dayah memang telah berurat berakar dalam masyarakat Aceh, namun dari sekian banyak lembaga dayah yang pernah didirikan di Aceh sedikit sekali bahkan hampir tidak ada yang berkembang dan bertahan dalam waktu yang lama. Hal ini dapat kita lihat dalam sejarah singkat pendidikan yang akan diuraikan dalam bab ini. Uraian dalam bab ini akan dibagi kedalam empat bagian utama yaitu yang pertama tentang kelembagaan meunasah sebagai lembaga pendidikan tradisionil yang sangat mendasar dalam masyarakat Aceh dan merupakan bagian dari sistem kelembagaan pendidikan dayah. Bagian kedua berisi perkembangan pendidikan dayah sebelum perang Aceh yang didasarkan kepada peninggalan-peninggalan yang ada seperti situs dayah-dayah lama yang ada di Aceh dan dari tulisan-tulisan yang terbatas. Dalam bagian ketiga akan deberikan sedikit gambaran tentang bagaimana pendidikan dayah berkembang kembali sesudah perang Aceh mengendur dan dalam bagian keempat akan diuraikan tentang perkembangan pendidikan dayah di Aceh sekarang ini. Dengan uraian tersebut diharapkan kita dapat memperoleh sedikit gambaran tentang pola perkembangan pendidikan dayah di Aceh yang dilatarbelakangi oleh berbagai perobahan sosial politik di Aceh sejak meletusnya perang Aceh sampai sekarang ini. Sebenarnya dayah memiliki potensi besar untuk berkembang menjadi lembaga pendidikan yang lestari seperti lestarinya Universitas Al-Azhar di Mesir yang pada mulanya juga berasal dari pengajian ala zawiyah atau dayah yang ada di Aceh. Tetapi mungkin karena gejolak-gejolak sosial politik yang bekepanjangan menimpa masyarakat Aceh selama zaman modern ini maka perkembangan tidak bisa mencapai seperti yang dicapai oleh Al-Azhar tersebut. Salah satu potensi besar yang dimilikinya adalah yang lebih mantap yang menjadi pegangan penting nilai-nilai tradisi terutama bagi masayarakat yang sedang berkembang yang dilanda oleh berbagai gejolak. Potensi lainnya ialah nilai-nilai moral dan spiritual yang telah mentradisi, yang hidup dan berkembang dalam diri tokoh-tokoh penting yang muncul dari lembaga pendidikan ini. Kenyataan bahwa ulama-ulama dayah dan pesantren masih merupakan ulama yang memiliki kharisma dan sangat diperlukan dalam menyatukan umat adalah bukti tentang kuatnya nilai-nilai moral dan spiritual yang dimilikinya. Mungkin dengan stabilitas yang ada dewasa ini, adanya kebutuhan masyarakat akan kharisma ulama dalam menjaga persatuan dan kesatuan, adanya usaha masyarakat mencari alternatif pendidikan yang dapat memenuhi kebutuhan mereka kepada hidup yang lebih seimbang, maka ada kemungkinan pendidikan dayah akan berkembang lagi dengan baik di masa yang akan datang.

 

Pendidikan di Meunasah

Sebagaimana disebutkan diatas, dayah bukanlah satu-satunya lembaga pendidikan tradisionil di Aceh. Disamping dayah masyarakat Aceh juga mengenal lambaga pendidikan yang bernama Meunasah yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Meunasah struktur masyarakat desa atau gampong di Aceh. dibahas dalam tulisan ini, karena merupakan lembaga pendidikan tradisionil yang mempunyai asal usul, tradisi dan filosofi yang sama dengan dayah. Sebagaimana dijelaskan diatas istilah meunasah berasal dari madrasah yang juga berasal dari lembaga pendidikan tradisionil yang pernah berkembang di Timur Tengah dahulu. Sejauh berkenaan dengan pendidikan dan fungsi-fungsi keaga-maan, institusi meunasah merupakan bagian dari institusi dayah. Perbedaannya dengan dayah ialah lembaga ini bukan saja dikenal sebagai lembaga pendidikan, tetapi dikenal juga sebagi lembaga ibadah dan sosial kemasyarakatan yang mempunyai fungsi-fungsi yang banyak sekali. Pada dayah, ibadah secara khusus dilaksanakan pada mesjid atau musalla yang menjadi pusatnya, tetapi pada meunasah ini fungsi mesjid dan musalla sebagai lembaga ibadah sudah digabungkan dengan fungsi-fungsi pendidikan dan sosial budaya lainnya dalam satu institusi yang tunggal.

 

Secara fisik, meunasah merupakan sebuah bangunan yang letaknya biasanya ditengah-tengah kampung atau surau tempat yang mudah dicapai oleh semua warga desa. Bangunan ini bentuknya biasanya seperti rumah tradisional Aceh dengan atap daun rumbia dan dinding yang pada umumnya sangat terbuka. Karena terbuat dari kayu, meunasah sering dipenuhi dengan berbagai ukiran yang ada pada rumah tradisional Aceh. Seperti halnya rumah adat atau rumah tradisional Aceh, meunasah dibangun dengan tiang-tiang kayu dan agak tinggi dari tanah atau lantai. Bagian depannya kadang-kadang diperlengkapi dengan beranda yang agak rendah yang sering dipakai sebagai tempat istirahat orang-orang yang datang ke meunasah. Di beranda inilah terjadinya proses sosial dalam masyarakat seperti terjadi proses komunikasi antar warga masyarakat. Pada beranda meunasah yang lebih terbuka ini selalu ada orang singgah dan duduk berlama-lama dan inilah pusat komunikasi sosial yang sangat informal dalam masyarakat Aceh.

Meunasah merupakan institusi yang sangat dasar dalam masyarakat Aceh karena pada lembaga inilah berhimpun berbagai fungsi yang ada dalam masyarakat. Semua desa atau gampong di Aceh memiliki meunasah sebagai institusi sosial kemasyarakatan yang mendasar. Lembaga ini bukan saja dipakai tempat mendidik anak-anak dalam berbagai pendidikan agama, tetapi lembaga ini dipakai juga tempat shalat berjama’ah, tempat rapat, tempat mengadakan kenduri (pesta komunal), tempat administrasi desa, tempat tidur anak-anak muda, tempat berdo’a untuk orang-orang meninggal, tempat menyelesaikan berbagai perkara di kampung dan lain-lain. Begitu penting kedudukan lembaga ini dalam masyarakat Aceh, sehingga ia bisa dianggap sebagai inti dari kebudayaan Aceh itu sendiri. Masyarakat Aceh mungkin tidak bisa merasakan ke Acehannya tanpa kehadiran meunasah dalam wilayahnya. Meunasah dipimpin oleh dwi tunggal pemimpin desa di Aceh yaitu keusyik dan teungku, suatu tradisi kepemimpinan yang menggabungkan fungsi umara dan ulama menjadi satu dalam masyarakat.

Sebagai lembaga pendidikan, meunasah merupakan tempat pertama anak-anak mendapat pendidikan agama diluar rumah mereka. Kurikulum yang dilaksanakan dalam pendidikan di meunasah merupakan kurikulum dasar dalam pendidikan anak-anak di Aceh. Kurikulum ini berisi pelajaran membaca Al-qur’an yang dimulai dengan pengenalan huruf Hijaiyah atau huruf Arab menurut qa’idah bagdadiyah. Buku teks yang dipakai ialah Jus ‘amma. Disamping pelajaran membaca Al-qur’an, anak-anak juga diajarkan cara-cara mengerjakan shalat serta do’a sembahyang serta pelajaran akhlaq. Ajaran pokok agama Islam yang diajarkan di meunasah didasarkan pada kitab Masailal Mubtadi suatu kitab pejalaran agama yang sangat klassik di Aceh dan juga ditulis oleh Syekh Baba Daud, atau yang dikenal dengan nama Teungku Di Leupue, murid dari Syekh Abdurrauf Syiah Kuala. 14 Metode tanya jawab yang dipakai dalam kitab tersebut bisa diingat dengan mudah oleh semua orang Aceh yang pernah mengaji di meunasah itu. Sebagai lembaga pendidikan dasar hampir semua anak-anak Aceh pernah belajar di meunasah kecuali selama terjadi perobahan dalam masyarakat Aceh selama ini di mana peranan meunasah sudah mulai menurun.

 

Sebagai lembaga pendidikan, meunasah dipimpin oleh seorang teungku atau kiyai dalam bahasa Jawa. Teungku tersebut pada umumnya adalah lulusan dari pendidikan sistem dayah yang ada di Aceh. Sesudah belajar di dayah beberapa tahun. mempelajari hukum-hukum Islam, ketrampilan dasar dalam memberikan pela-yanan agama ke dalam masyarakat, seperti menjadi imam dalam shalat, menjadi pemimpin dalam membaca do’a bersama dan lain-lain, seseorang sudah dapat menjadi teungku dan mengajar di meunasah. Teungku merupakan bagian dari dwi tunggal pemimpin desa di Aceh dan merupakan tokoh yang sangat sentral dalam kehidupan meunasah. Hidup matinya meunasah tergantung pada kegiatan teungku dalam mengembangkan pendidikan agama bagi warga masyarakat. Bukan hanya anak-anak saja yang dididik di meunasah itu, tetapi ada juga meunasah yang menyediakan pengajaran atau “drah” (dari kata darsun) kepada orang-orang dewasa atau kaum ibu. Kepemimpinan kesyik (kepala kampung) dalam meunasah hanya terbatas pada masalah-masalah kemasya-rakatan saja.

Peranan meunasah dalam bidang peribadatan nampak sekali dalam bulan Ramadhan atau bulan puasa. Di samping untuk shalat lima waktu yang biasa, pada bulan Ramadhan meunasah merupa-kan tempat orang-orang mengadakan shalat tarawikh dan membaca Al-qur’an yang disebut dengan tadarus. Dalam bulan puasa ini. pendidikan regular seperti disebutkan diatas diliburkan sama sekali tetapi anak-anak muda yang sudah bisa membaca Al-qur’an di-haruskan ikut bertadarus. Itulah sebabnya dalam bulan Ramadhan meunasah merupakan tempat yang tidak pernah tidur, karena kadang-kadang anak-anak itu membaca Al-quran sampai waktu makan sahur. Karena membaca Al-quran sampai waktu makan sahur, maka merekalah yang berfungsi sebagai pembangun orang-orang tidur untuk makan sahur. Tradisi tadarus Al-quran ini dilakukan tiap malam sampai seluruh Al-quran selesai dibaca semuanya, bahkan sampai tammat beberapa kali. Bila Al-quran itu sudah selesai dibaca, maka masyarakat kampung mengadakan kenduri menammatkan tadarus yang biasanya dilakukan pada malam tujuh belas Ramadhan. Seluruh kegiatan meramaikan Ramadhan ini dipusatkan di meunasah, dan dewasa ini juga dimesjid-mesjid dan mushalla-mushalla.

 

Disamping menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan desa, meunasah juga memainkan peranan yang sangat penting dalam sosialisasi nilai-nilai masyarakat gampong di Aceh. Sosialisasi ini terjadi melalui berbagai kegiatan di meunasah mulai dari shalat berjama’ah, kenduri maulid dan kenduri menammatkan tadarus Al-quran dalam bulan puasa, sampai pada kegiatan tidur anak-anak muda desa. Dalam masyarakat desa di Aceh, tidak pernah pergi ke meunasah merupakan perangai yang mengaibkan. Orang-orang yang baru kawin ke suatu desa diharuskan datang ke meunasah pada waktu tertentu agar ia dengan segera menjadi warga desa setempat. Di meunasah inilah ia berkenalan dengan warga kampung mulai dari orang tua sampai kepada anak-anak. Dalam tradisi Aceh, anak-anak laki memang tempat tidurnya di meunasah dan di sinilah anak-anak itu belajar berbagai macam norma sosial kemasyarakatan. Di sini ia belajar peraturan masyarakat, dan bagi anak-anak yang berbakat, di sinilah tempat bagi mereka untuk belajar menjadi pemimpin. Kepemimpinan dipelajari oleh anak-anak atau pemuda desa melalui berbagai kegiatan bersama, seperti tadarrus, membaca dalaail khairat atau kegiatan gotong royong desa.

 

Pendidikan di meunasah lebih banyak berorientasi pada kaum pria, karena kegiatan di meunasah lebih banyak didominasi oleh kaum lelaki. Untuk kaum wanita pendidikan dasar disediakan di rumah-rumah teungku atau di balee. Balee tersebut merupakan lembaga meunasah yang dibuat terpisah karena ada kepentingan tersendiri. Karena kadang-kadang meunasah tidak selalu dapat dipakai sebagai tempat pengajian untuk anak-anak, maka untuk mereka dibuat tempat khusus, untuk pengajian ini disebut dengan balee. Balee ini kadang-kadang tempatnya dekat dengan meunasah dan kadang-kadang jauh dari meunasah. Dalam kampung yang luas, balee yang jauh ini dapat pula berfungsi sebagai fasilitas jauh untuk sebuah meunasah. Demikian juga rumah teungku sendiri sering difungsikan sebagai tempat anak-anak mengaji terutama anak-anak perempuan. Anak-anak perempuan ini tidur di tempat tersebut seperti halnya anak-anak laki-laki yang tidur di meunasah.

Sebagai lembaga sosial budaya yang sangat mendasar dalam masyarakat Aceh, masyarakat Aceh cenderung membawa lembaga ini kemana saja mereka pergi. Hal ini sesuai dengan konsep yang dijelaskan oleh Muslim Ibrahim dengan istilah “Pengembaraan kebudayaan Aceh di luar tanah ranahnya.” Di Jakarta misalnya terdapat beberapa buah meunasah yang didirikan oleh masyarakat Aceh yang bermukim di sana. Dengan dibangunnya meunasah masyarakat Aceh di perantauan merasa seperti di kampung sendiri. Di perantauan ini di samping sebagai tempat pengajian, meunasah juga memainkan peranan yang sangat penting sebagai lembaga atau media komunikasi budaya. Sebenarnya di Acehpun, meunasah memainkan peranan yang sangat penting dalam komunikasi sosial ini. Dalam sistem komunikasi tradisionil di mana warga masyarakat memperoleh informasi melalui lisan, maka meunasah merupakan lembaga yang sangat penting sebagai titik sentral dalam sistem komunikasi itu. Peranan meunasah sebagai media komunikasi tradisional ini terjadi lebih penting lagi bagi masyarakat Aceh di perantauan, dan karena kebutuhan kepada media komunikasi inilah, antara masyarakat Aceh cenderung membangun meunasah di mana saja mereka berada di daerah perantauan. Dengan dibentuknya lembaga adat dan kebudayaan Aceh ini diberbagai daerah di Indonesia, maka meunasah yang menjadi inti dari kehi-dupan adat dan budaya Aceh akan semakin berkembang lagi.

 

Jejak-jejak dayah sebelum perang.

Masyarakat Aceh sekarang ini sedikit sekali mengetahui tentang keadaan pendidikan dayah di Aceh sebelum perang Aceh pada tahun 1873. Ini antara lain disebabkan bahwa perang Belanda di Aceh tersebut telah menghambat dan merusak pendidikan sistem dayah yang ada di Aceh dan sesudah Belanda mulai berkuasa di Aceh mereka membangun sistem pendidikan Barat di Aceh. Secara umum kita percaya bahwa seluruh sistem pendidikan di Aceh pada masa itu adalah sistem pendidikan dayah yang meliputi pendidikan di meunasah-meunasah, rangkang, dayah, Teungku Syik sampai pendidikan pada Al-Jami’ah seperti Al-Jami’ah Mesjid Raya Baitulrahman di Banda Aceh yang pada masa Iskandar Muda memiliki 44 orang Guru Besar yang datang dari Arab, Turki, Persia dan India. Bahwa pendidikan tinggi pada Al-Jami’ah Baitulrahman dimasukkan ke dalam sistem pendidik-an dayah didasarkan pada kenyataan bahwa mesjid itu sendiri menjadi pusat dari pendidikan tinggi tersebut yang merupakan ciri khas dari sistem pendidikan dayah. Disamping itu dalam catatan sejarah yang ada kita tidak pernah mendengar ada sistem pen-didikan yang di Aceh pada waktu itu.

Adanya lembaga pendidikan lembaga dayah sebelum perang Aceh dapat dilihat pada berbagai situs peninggalan sejarah yang banyak sekali dari lembaga pendidikan dayah itu. Situs-situs dayah itu bermacam-macam bentuknya sesuai dengan sarana lembaga pendidikan dayah yang pernah dibangun pada waktu itu. Ada tempat-tempat yang sekarang masih dipelihara dengan baik seperti di makam Tgk. Siyah Kuala, di kuala (muara) Kreung Aceh, Dayah Teungku Awee Geutah di Peusangan Aceh Utara, Dayah Tgk. Syik Tanoh Abee di Seulimum Aceh Besar, Dayah Tgk. Di Anjong, Planggahan Banda Aceh, dan lain-lain. Tetapi ada juga situs-situs peninggalan dayah yang tidak diurus dan dipelihara lagi seperti situs Dayah Tgk di Lamnyong, disebelah barat kampus Darussalam. Di wilayah kebupaten Aceh Besar banyak sekali terdapat situs atau tempat-tempat peninggalan dayah ini seperti Tanoh Mirah di Kemukiman Bung Cala Kecamatan Kutabaro, di Kuta Karang Kecamatan Darul Imarah, di Kreung Kalee, kecamatan Darussalam, di Jeureula kecamatan Suka Makmur dan sebagainya. Pada bekas-bekas lembaga dayah tersebut masih dapat dijumpai fondasi mesjidnya, atau kolam besarnya, sumur-sumur yang telah berumur puluhan bahkan ratusan tahun, serta sejumlah kuburan dari pada ulama-ulama, guru-guru atau teungku-teungkunya.

 

Pendidikan dayah di Aceh sebelum perang dapat dipelajari dari situs-situ tersebut yang sampai sekarang belum diteliti dengan baik. Gambaran satu dayah saja misalnya dapat memberikan kepada kita bagaimana keadaan pendidikan dayah pada masa tersebut. Ambil saja misalnya pendidikan dayah di desa Krueng Kalee, kecamatan Darussalam. Menurut tanda-tanda yang masih ada di desa tersebut, di sana bukan hanya terdapat satu dayah saja. Disana terdapat beberapa dayah yang tersebar mulai dari desa Keubok di ujung sebelah barat desa Siem sekarang, sampai keperbatasan desa Krueng Kalee dengan daerah persawahan di sebelah Timur. Dari cerita orang-orang tua memang seluruh desa Krueng Kalee merupakan satu kampung para santri yang datang dari berbagai daerah di Aceh. Dayah Krueng Kalee yang terakhir sekali dipimpin oleh Tengku H. Hasan Krueng Kalee selama masa Belanda sampai masa Jepang, merupakan lembaga dayah terakhir yang berkembang di desa tersebut. Sekarang ini di sana tidak ada satu dayah pun dan situs-situs dayah yang adapun hampir dilupa-kan orang.

Situs atau lokasi dayah dari generasi awal yang masih sangat diingat orang tentu saja situs kuburan Tgk. Syiah Kuala. Menurut sebagian cerita, daerah antara desa Lampulo di ujung Peunayong Banda Aceh sekarang sampai desa di sebelah Timur makam Tgk. Syiah Kuala dahulu dipenuhi oleh berbagai lembaga pendidikan dayah. Barangkali nama desa dayah yang terdapat di sebelah Timur makam Tgk. Syiah Kuala itu sendiri merupakan nama yang diperoleh karena di desa itu ada dayah di masa lampau. Menurut Tgk. M. Dahlan Al-Fairusy, ahli waris dari pada Tanoh Abee di Seulimum, pendiri dari dayah Tanoh Abee itu sendiri adalah seorang ulama yang bernama Syekh Nayan yang pernah belajar pada sebuah dayah di ujung Peunayong yaitu pada Syekh Baba Daud Ali. Syekh Baba Daud Ali itu sendiri adalah murid dari Tgk. Abdurrauf Syiah Kuala. Masyhurnya daerah ini sebagai pusat pendidikan dayah dapat diperkirakan dari kehadiran Syekh Abdurrauf Syiah Kuala itu sendiri ke tempat itu. Tgk. Syiah Kuala yang nama lengkapnya Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Al-Fansury As-Singkili, dilahirkan di Fansur, Singkil, Aceh Selatan, tetapi setelah belajar di Arab sampai 19 tahun datang ke Banda Aceh dan menetap di Kuala Aceh sebagai seorang mufti dan ulama yang aktif dalam pendidikan dan pemerintahan.

 

Dayah Tgk. Syiah Kuala bukanlah dayah yang awal sekali yang terkenal dalam sejarah pendidikan dayah di Aceh. Dayah yang paling awal yang paling terkenal dalam sejarah pendidikan dayah di Aceh mungkin dayah atau zawiyah Cot Kala. Menurut A. Hasjmy Dayah Cot Kala merupakan dayah yang pertama di Aceh yang didirikan oleh Teungku Syik Muhammad Amin yang terkenal dengan nama Tgk. Cot Kala yang kemudian menjadi raja Peureulak dengan gelar Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat (310-334 H, atau 922-964 M).¹9 Melihat kepada tahun hidupnya Tgk. Syik Cot Kala, memang dayah ini merupakan dayah yang sangat awal dalam sejarah pendidikan dayah di Aceh karena menurut A. Hasjmy kerajaan Islam Peureulak merupakan kerajaan Islam yang pertama di Nusantara. Selanjutnya A. Hasjmy menjelaskan bahwa dayah Cot Kala adalah pusat kegiatan pendidikan dan ilmu pengetahuan yang banyak menghasilkan ulama, juru dakwah, pendidik, dan pemimpin yang telah sangat berperan dalam pembangunan kerajaan Peureulak, Samudra Pase, Beunua (Tamiang), Lingga, Pidie, Daya dan Lamuri. Sebagai contoh beliau menyebutkan Teungku Kawee Teupat, dan Tgk. Syik Lampeuneu’eun. Teungku Kawee Teupat adalah keluaran dayah Cot Kala, pindah ke Aceh Tengah, dan membangun kerajaan Islam Lingga pada tahun 416 H. atau 1025 M. Sedangkan Tgk. Syik Lampeuneu’eun, yang orang tuanya berasal dari Kan’an Palestina, setelah menamatkan pendidikannya di Cot Kala, pindah ke Lamuri, Aceh Besar dan menjadi pendakwah Islam yang pertama di Aceh Besar.

 

Dayah yang dibangun pada masa awal ini bekasnyapun sudah sulit sekali untuk ditemukan sekarang ini. Demikian juga dayah-dayah yang lainnya pada awal kemajuan Islam di Aceh. Ulama-ulama terbesar seperti Syamsuddin As-Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nasruddin Ar-raniry, dan lain-lain adalah yang memiliki dayah atau berorientasi dengan dayah-dayah tertentu. Tetapi diperoleh catatan-catatan tentang dayah-dayah mereka su sekarang ini. Demikian juga Jami’ah Baiturrahman sebagai lembaga pendidikan sistem dayah yang memiliki berbagai fakultas (dar), fungsinya sebagai lembaga pendidikan dayah ini tidak terlihat lagi, mungkin sejak dibakar oleh Belanda. Dalam lembaga dayah yang dibuat A. Hasjmy dalam bukunya Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah nampaknya selain dayah Cot Kala, hanya Dayah Rumpet saja yang dapat dikatagorikan sebagai dayah yang paling awal, sebagai “dayah pertama di bagian barat Aceh,” yang didirikan oleh Teungku Muhammad Yusuf yang berlakap dengan Teungku Syik di Rumpet, sekitar tahun 1016 H atau 1607 M.21

Dari zaman sesudah Syiah Kuala nampaknya ada dua dayah penting yang masih ada sisa-sisanya yang sangat penting dewasa ini yaitu Dayah Tanoh Abee di Seulimeum, Aceh Besar dan Dayah Tgk. Awee Geutah, di Peusangan Aceh Utara. Kedua dayah ini dianggap sangat penting karena meninggalkan banyak sekali naskah kitab-kitab ulama Aceh terutama pada dayah Tanoh Abee di Seulimeum itu. Dayah Tanoh Abee didirikan oleh Tgk. Syekh Nayan, murid dari Syekh Baba Daud, atau anak dari Fairus Al-Bagdady, seorang ulama yang berasal dari Bagdad dan diangkat oleh kerajaan Aceh sebagai seorang kadhi. Setelah belajar pada Syekh Baba Daud, Syekh Nayan mendirikan dayah di Tanoh Abee sebelah Timur dari tempat dayah sekarang. Salah seorang dari keturunan dari Syekh Nayan ini, bernama Syekh Abdul Wahab yang terkenal dengan nama Teungku Syik Tanoh Abee. Menurut Tgk. M. Dahlan sebagai salah seorang pewaris Dayah Tanoh Abee sekarang, sebagaimana ditulis oleh Zaslina dalam skripsinya, beliau inilah yang “menyalin beribu-ribu kitab dan naskah Islam baik dalam bahasa Jawi maupun dalam bahasa Arab dari abad-abad sebelumnya.” Naskah-naskah inilah yang antara lain telah mem-buat Dayah Tanoh Abee begitu penting dalam sejarah pendidikan dayah di Aceh sekarang ini.

 

Disamping pada Dayah Tanoh Abee, pada Dayah Tgk. Di Awee Geutah di Peusangan, Aceh Utara juga terdapat naskah-naskah lama, dalam jumlah yang lebih kecil dan kurang seorang ulama terurus. Dayah di Awee Geutah ini didirikan oleh besar yang bernama Tgk. Syekh Abdur Rahim. Menurut ahli warisnya yang mengurus dayah tersebut sekarang ini Tgk. Syekh Abdur Rahim tersebut adalah seorang yang dikirim oleh Sultan Aceh sebagai mufti kerajaan untuk wilayah Timur. Di samping naskah-naskah tua yang tidak begitu terurus, pada dayah ini terdapat sebuah rumah tradisionil Aceh yang merupakan peninggalan dari Tgk. Abdur Rahim tersebut atau yang terkenal dengan Tgk. Di Awee Geutah. Di tempat ini pula Almarhum Tgk. Di Awee Geutah tersebut dimakamkan. Seperti halnya kuburan atau makam Tgk. Syiah Kuala, kuburan ini banyak dikunjungi orang yang ingin melepaskan nazar mereka, atau orang yang ingin berkhalwat atau melakukan suluk yaitu suatu cara beribadat yang ada dalam thariqat-thariqat. Sebagimana Tgk. Syiah Kuala, Tgk. Di Awee Geutah tersebut juga dianggap sebagai seorang yang keuramat oleh warga masyarakat.

 

Menjelang kedatangan Belanda, di Aceh memang terdapat sejumlah dayah termasyhur bukan saja di Aceh tetapi terkenal sampai keluar Daerah Aceh. Salah satu yang sangat terkenal adalah dayah Tgk. Syik Di Lamnyong, yang terletak di sebelah Barat kampus Darussalam sekarang ini. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Dayah Inshafuddin, Tgk. M. Daud Zamzamy, sebelum kedatangan Belanda pada dayah ini terdapat pelajar-pelajar dan guru-guru dari Arab, Mesir, Persia, India dan daerah-daerah lainnya di Nusantara. Informasi ini diperoleh oleh Tgk. M. Daud Zamzamy dari gurunya Tgk. H. Hasan Kreung Kalee, yang mengetahui keadaan ini dari ulama-ulama dan santri-santri dayah tersebut yang lari ke Negeri Keudah di Semenanjung Melaya untuk meneruskan pengajaran agama Islam di sana setelah Aceh diperangi oleh Belanda. Menurut A.Hasjmy Dayah Tgk. Syik Di Lamnyong didirikan oleh Tgk. H. Abdussalam yang terkenal dengan lakab Tgk. Syik Di Lamnyong.” Jenazah Tgk. Syik Di Lamnyong dimakamkan di kompleks dayah tersebut yang sekarang ini sudah dijadikan kompleks pemakaman penduduk Kopelma Darussalam.

 

Dari penyelusuran terhadap jejak-jejak pendidikan dayah Aceh dalam zaman kesultanan Aceh sebelum diperangi oleh Belanda pada tahun 1873, dapat kita melihat bahwa pendidikan dayah pada waktu itu sangat metropolitan. Ulama-ulama yang menjadi pemimpin dayah banyak yang datang dari luar negeri dan menetap di Aceh dalam berbagai lembaga pendidikan dayah. Demikian juga ulama Aceh sendiri merupakan ulama besar yang banyak pengalaman akademisnya. Sebagaimana dialami oleh kolega-kolega mereka di Arab, di Persia, di Mesir dan di negara-negara Islam besar lainnya, ulama-ulama Acehpun terlibat dalam permasalahan-permasalahan dan perselisihan-perselisihan dalam ilmu dan pandangan serta pemikiran keagamaan. Per-selisihan pandangan agama ini sampai kepada pembunuhan dan pengrusakan kitab seperti yang dilakukan oleh Syekh Abdul Jalil dan Syekh Nuruddin Ar-Raniry. Syekh Abdul Jalil yang hidup pada awal abad ke 15 adalah seorang penganut paham Wihdatul Wujud yang bersahabat dengan raja Bakoy Ahmad Permala, tokoh pengu-asa yang menganut paham serupa dari Samudera Pase, yang memerintah untuk membunuh lebih 40 orang ulama ahlu sunnah. Demikian sebaliknya kitab-kitab Hamzah Fansury dan Syamsuddin As-Samathrani sebagai penganut paham Wihdatul Wujud dibakar pada masa Sultan Iskandar Tsani berdasarkan fatwa yang dibuat oleh tokoh suni Syekh Nuruddin Ar-Raniry.

 

Kesinambungan dalam zaman perjuangan

Sifat metropolitan dari pendidikan dayah pada masa kesultanan Aceh merupakan suatu faktor penting bagi kesinambungan tradisi pendidikan di Aceh pada masa Belanda. Yang dimaksudkan konsep metropolitan disini ialah bahwa pendidikan dayah itu tidak tergantung pada sumber daya lokal saja dan tradisi itu tidak bersifat eksklusif. Disebabkan pendidikan di Aceh tidak berdiri sendiri, maka dalam perangpun pendidikan itu dapat dipertahankan dengan berhijrah ulama-ulama untuk terus mengembangkan tradisi pendidikan dayah itu ditempat lain yang tidak terjangkau oleh perang itu. Tradisi ini merupakan tradisi yang telah berkembang di Timur Tengah sejak masa awal Islam di sana merantau (tarvelling) untuk mencari ilmu merupakan yang sangat dimuliakan dalam Islam. Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak ulama-ulama dari Malaka lari dan menetap di Aceh dan menjadi salah satu pilar yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan dan peradaban Islam di Aceh. Demikian juga sebaliknya pada waktu Aceh diperangi Belanda, ulama-ulamanya lari ke Keudah dan melanjutkan tradisi pendidikan mereka.

Sebagaimana telah disinggung diatas, setelah perang meletus, disamping banyak ulama dayah di Aceh yang terlibat dan menjadi pemimpin perang melawan Belanda banyak juga diantara mereka yang melarikan diri ke Semenanjung Malaya, khususnya negeri Keudah, Malaysia sekarang. Salah satu tempat penting dimana mereka berkumpul adalah negeri Yan di Keudah dan disinilah antara lain mereka melanjutkan tradisi pendidikan dayah selama perang Aceh. Bukan hanya para ulama yang lari ke negeri Yan tersebut, tetapi juga para pelajarnya turut pergi ke negeri Yan untuk belajar pada ulama-ulama Aceh yang melanjutkan pendidikan mereka disana. Menurut informassi yang diperoleh Tgk. M. Daud Zamzamy dari gurunya Tgk. Haji Hasan Kreung Kalee yang belajar di Negeri Yan, banyak ulama-ulama dan pelajar-pelajar dari dayah Tgk. Syekh Di Lamnyong yang melarikan diri ke Yan untuk melanjutkan tradisi pendidikan dayah tersebut. Tgk. Haji Hasan Kreung Kalee dan ulama-ulama lainnya yang belajar di Yan pada ulama Aceh yang melarikan diri itulah antara lain menjadi penyambung tradisi pendidikan dayah di Aceh pada masa penjajahan Belanda. Sampai sekarangpun di Negeri Bagian Keudah Malaysia, masih terdapat komunitas masyarakat Aceh yang diperkirakan berasal dari mereka yang lari waktu zaman Belanda.

Begitu peranan Negeri Yan dalam membantu kesinambungan tradisi pendidikan dayah di Aceh dapat diketahui dari beberapa nama ulama dayah di Aceh yang memakai istilah Yan pada akhir namanya seperti Tgk. Muhammad Irsyad sebagai pendiri dayah le Leubeue yang dikenal Teungku Syik Di Yan yang juga merupakan salah seorang dari guru Tgk. Haji Hasan Kreung Kalee. Tokoh ulama lainnya yang memakai istilah Yan pada akhir namanya adalah teungku Syik Oemar Diyan, yaitu ayahanda dari Teungku Haji Hasballah Indrapuri dan Teungku Lam U, ayahanda Drs. H. Athaillah, Ketua Majelis Pendidikan Daerah Istimewa Aceh sekarang. Sebagai murid-murid yang pernah belajar di Yan baik pada ulama Aceh sendiri maupun pada ulama-ulama lainnya, Tgk. Haji Hasan Kreung Kalee, Teungku Abu Lam Ue, Teungku Hasballah Indrapuri, dan lain-lain merupakan tokoh-tokoh penting dalam kesinambungan tradisi pendidikan dayah sejak awal abad ke 20 ini di Aceh. Mertua Tgk. H. Zamzamy, Tgk. Mahyiddin sebagai pendiri dayah Riadhussalihin, juga belajar pada seorang ulama dari Yan yang mendirikan dayah di Gampung Are, Garut, Pidie.

Di samping tokoh-tokoh ulama yang pulang dari Yan tersebut ada juga tokoh-tokoh lain yang langsung pulang dari Mekkah selama pendudukan Belanda. Sebagai contohnya adalah Tgk. Haji Hasballah Meunasah Kumbang di Pasee, Tgk. Haji Muhammad Thahir Cot Plieng dari Dayah Cot Plieng, Tgk. Haji Jakfar Siddiq dari Dayah Jeureula atau yang terkenal dengan Teungku Syik Lam Jabat dan lain-lain. Tgk. Syik Lam Jabat belajar di Tanoh Abee sebelum pergi ke Mekkah setelah perang Aceh mulai mereda. Menurut informasi yang ada pada Tgk. Daud Zamzamy, ketua P.B. Dayah Inshafuddin, Tgk. Haji Muhammad Thahir Cot Plieng pernah bertemu dengan Snouck Hurgronje sewaktu beliau belajar di Mekkah, dan langsung pulang ke Aceh sewaktu mendengar bahwa Snouck Hurgronje ditugaskan di Aceh. Snouck Hurgronje mengetahui tentang kepulangannya itu, tetapi tidak berhasil beliau telah menyamar dengan menemukannya, karena menggugurkan giginya. Menurut A. Hasjmy beliau syahid dalam perang dengan Belanda pada tahun 1902. Teungku Haji Hasan Kreung Kalee sempat juga belajar di Mekkah di samping belajar di Yan dan tempat-tempat lainnya di Aceh.

Di antara dayah-dayah yang timbul di abad ke 20 ini, terutama yang dipimpin oleh lulusan Negeri Yan, Dayah Kreung Kalee di Kecamatan Darussalam nampaknya memegang peranan yang sangat menonjol. Dayah Kreung Kalee memang sudah berkembang sebelum dipimpin oleh Tgk. Haji Hasan Kreung Kalee karena orang tua beliau sendiri yaitu Tgk. Hanafiah adalah ulama dayah. Di samping itu pendidikan dayah di desa Kreung Kalee memang sudah terkenal dengan tokoh-tokoh ulama lainnya seperti Teungku Haji Muda yang terkenal dengan lakab Teungku Syik Krueng Kalee yang sezaman dengan Teungku Haji Syik Di Tiro Muhammad Saman Di bawah pimpinan Teungku Haji Hasan Kreung Kalee dayah ini menjadi dayah yang sangat terkenal yang dikunjungi oleh pelajar-pelajar dari seluruh wilayah Aceh. Di antara pelajar-pelajar yang pernah belajar di Krueng Kalee termasuk tokoh-tokoh pembaharuan di Aceh yaitu Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Teungku Professor Hasbi Ashshiddiqi. Kelompok Teungku Daud Beureueh menjadi tokoh penggerak pembaharuan pendidikan melalui sebuah organisasi yang diberi nama dengan Persatuan Ulama Seluruh Aceh atau PUSA. Di tangan tokoh-tokoh inilah sebagian lembaga pendidikan dayah dan meunasah di Aceh di modernisir dan dijadikan sebagai sekolah yang pada waktu diserahkan kepada pemerintah Indonesia diberi nama Sekolah Rendah Islam atau SRI. Di samping itu juga mereka mendirikan berbagai madrasah lainnya dengan tradisi yang berbeda dari pendidikan meunasah yang ada dalam masyarakat Aceh.

 

Teungku Haji Hasan Kreung Kalee tetap berada dalam tradisi pendidikan dayah yang tradisionil, yang mendirikan sebuah organisasi yang bernama Persatuan Tarbiyah Islamiyah atau Perti. Karena Perti kemudian menjadi satu partai politik selanjutnya pada tahun 1968 dayah tradisionil di Aceh membentuk organisasi lain yang bernama Persatuan Dayah Ishafuddin yang lebih khusus mengurus kepentingan pendidikan dayah dengan aliran tradisi-onilnya itu. Banyak tokoh-tokoh yang menjadi pemimpin kedua organisasi ini adalah keluaran Krueng Kalee yang telah mendiri-kan dayah di daerahnya masing-masing. Di antara teungku-teungku aliran tradisionil yang pernah belajar di Krueng Kalee dan men-dirikan dayahnya termasuk Tgk. H. Muda Wali Al-Khalidi, seorang ulama yang terkenal yang berasal dari Labuhan Haji Aceh Selatan. Nanti akan diuraikan juga bahwa dayah Labuhan Haji ini menjadi penyuplai kader dayah selanjutnya setelah dayah Krueng Kalee menjadi mundur. Selain Tgk. H. Muda Wali Al-Khalidi yang pernah belajar di Kreung Kalee keluaran Kreung Kalee yang lain termasuk Teungku Haji Mahmud di Blang Pidie, Teungku Jailani Musa di Kluet Utara, Teungku Muhammad Saleh di Iboh, Pidie,

 

Teungku Muhammad Amin di Ribee, Pidie, Teungku Abdul Jalil, menantu Teungku Thahir di Cot Plieng, Aceh Utara yang terkenal karena berontak kepada Jepang, Teungku Abdullah Tumpok Teungoh, orang tua dari Drs. H. Abdul Fattah, rektor IAIN Ar-Raniry sekarang, Teungku Muhammad Saleh di Jeunib, orang tua dari Teungku Abdul Aziz dari Dayah Samalanga dan lain-lain.

Dayah Kreung Kalee mulai berkembang sejak zaman Belanda dan merupakan dayah yang sangat menonjol dari generasi itu. Di samping dayah-dayah tersebut banyak dayah-dayah yang didirikan pada peralihan abad ke 20 ini. Dalam daftar ini termasuk dayah Lam Seunong, Dayah Indrapuri, Dayah Lambhuk, Dayah Ulee Susu, Dayah Tanoh Mirah di Bung Cala, Kuta Baro, sampai Dayah Di Jeureula di Suka Makmur dan Dayah Darussalam Labuhan Haji di Aceh Selatan. Informasi tentang dayah-dayah ini masih sulit untuk diketemukan dan memerlukan penelitian-penelitian yang intensif. Menurut Teungku Daud Zamzamy, Dayah Darussalam Labuhan Haji adalah dayah yang didirikan pada zaman Jepang. Sesudah dayah Kreung Kalee mundur maka kader-kader dayah pada umumnya dididik pada dayah Darussalam Labohan haji di Aceh Selatan. Di antara lulusan Labohan Haji yang menjadi pemimpin dayah yang menonjol adalah Teungku Haji Abdullah Hanafi di Tanoh Mirah, Teungku Haji Abdul Aziz Saleh di Samalanga, Teungku Haji Muhammad Amin Mahmud Di Blang Bladeih, Teungku Abdul Wahab di Jeunib, Aceh Utara, Teungku Matang Peureulak di Aceh Timur, Tgk. Daud Zamzamy di Aceh Besar, Teungku H. Abubakar Sabil dan Teungku Ibrahim Ishak di Aceh Barat dan lain-lain.

Pemimpin dayah yang lahir sebagai kader-kader dayah Kreung Kalee sampai yang lahir dari dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan nampak merupakan pemimpin dayah yang berbeda dengan ulama-ulama dayah sebelum mereka. Kalau pada generasi sebelum kedatangan Belanda ulama dayah di Aceh lebih bersifat metropolitan, karena tradisi dari pendatang-pendatang dari luar negeri ataupun pernah belajar ke tanah suci, generasi baru ini tidak lagi bersifat metropolitan, karena mereka pada umumnya hanya belajar pada dayah-dayah di Aceh saja. Apalagi dengan bertambah pengaruh pendidikan Belanda di Aceh dan Nusantara ini, tokoh-tokoh yang lebih berwatak metropolitan itu telah berubah menjadi pembaharu-pembaharu seperti halnya Teungku Muham-mad Daud Beureueh, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dan lain-lain. Jadi peperangan dengan Belanda yang menghabiskan sejumlah kader-kader ulama, terjadinya pembaharuan di Arab dan di Mesir, dan pengenalan pendidikan Barat di Indonesia telah melahirkan suatu proses lokalisasi terhadap tradisi pendidikan dayah di Aceh. Dan nampaknya pendidikan dayah di Aceh akan sulit berkembang apabila pendidikan dayah yang tradisionil ini tidak dapat keluar lagi dari lokalisasi itu dan menemukan kembali orientasinya yang metropolitan.

 

5. Era Kemerdekaan sekarang

Perkembangan pendidikan sejak kemerdekaan, belum lagi berobah dari pola lokalisasi yang dialami sejak awal abad ke 20 ini. Pada masa awal kemerdekaan Dayah Darussalam Labuhan Haji tetap menjadi sumber kader pemimpin dayah sebagaimana disebutkan diatas. Setelah Teungku Haji Muda Wali Al-Khalidi meninggal dunia dan dayahnya menjadi mundur, posisi pembinaan kader ini nampaknya beralih ke Dayah Makhadul Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (Mudi Mesra) Samalanga, Aceh Utara terutama dibawah pimpinan Teungku Abdul Aziz Saleh. Memang ada beberapa dayah lain waktu ini yang banyak murid-muridnya namun kedudukan Dayah Mudi Mesra ini memang amat menonjol dibandingkan dengan dayah-dayah lainnya. Dalam jajaran dayah-dayah tradisionil, setelah Dayah Mudi Mesra Samalanga, posisi pembinaan kader dayah nampaknya bisa beralih ke Dayah Budi di Lamno, Aceh Barat di bawah pimpinan Teungku Ibrahim Ishak, salah seorang lulusan dari Darussalam, Labuhan Haji.Sehubungan dengan berkembangnya pendidikan sekolah dan madrasah dalam zaman kemerdekaan ini, pendidikan dayah yang bersifat swasta penuh menjadi sangat tersaingi oleh kedua lembaga tersebut. Di samping itu sifat dari pendidikan dayah yang dimiliki secara individual oleh ulama dirasakan agak sulit dalam pem-binaannya secara terorganisir. Mungkin karena faktor-faktor inilah akhirnya ulama dan pemimpin dayah di seluruh Aceh berkumpul di Seulimeum, Aceh Besar pada tahun 1968 dan mendirikan oragsasi Persatuan Dayah Inshafuddin, sebagai suatu organisasi yang bergerak dalam melestarikan dan mengembangkan pendidikan dayah di Daerah Istimewa Aceh. Hal ini dengan jelas tersebut dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Persatuan Dayah Inshafuddin yaitu “Bahwa untuk menata, membenahi dan melestarikan lembaga Dayah di Negara Republik Indonesia para pengasuh dayah telah membentuk Jam’iyyah ‘Persatuan Dayah Inshafuddin’ pada tarikh 5 Zulqa’edah 1388 H. bertepatan dengan tanggal 4 Februari 1968 M. di Seulimeum Aceh Besar, Daerah Istimewa Aceh.

 

Sejak didirikan sejak tahun 1968, sampai sekarang ini Persatuan Dayah Inshafuddin ini baru mengadakan 4 kali Musyawarah Besar (Mubes). Ini menunjukkan kurang giatnya organisasi dalam berkiprah memajukan pendidikan dayah di Aceh. Memang pendidikan dayah di Aceh dihadapkan kepada kelangkaan kader karena beberapa hal. Pertama banyak ulama-ulama andalan dari tradisi pendidikan dayah ini telah berpulang kerahmatullah dan eksistensi mereka tidak tergantikan dengan lulusan-lulusan baru dari dayah-dayah yang ada. Lulusan-lulusan yang adapun tidak bisa melanjutkan studinya seperti di masa lampau ke Timur Tengah karena situasi Timur Tengah memang sangat berobah. Di samping itu banyak pula anak-anak dari ulama dayah itu tidak lagi bergerak dalam pendidikan dayah sebagaimana lazimya tradisi dayah di masa lampau. Sebagai contoh anak dari Teungku Haji Hasan Krueng Kalee, yaitu Tgk. Syekh Murhaban dan anak dari Teungku Muda Wali Al-Walidi, Dr. Haji Muhibuddin Wali. Tgk Syekh Murhaban sekarang ini tinggal di Jakarta sebagai seorang pengusaha, sedangkan Dr. Teungku Muhibuddin hanya terlibat dalam pengajian kecil-kecilan di Jakarta dan dewasa ini di Batam.

 

Karena kelangkaan sumber daya munusia inilah maka Per-satuan Dayah Inshafuddin, dalam rapat kerjanya di Bireuen, Aceh Utara bulan September 1989, mencoba menggulirkan satu konsep dan pengembangan tradisi pendidikan dayah dengan konsep pendidikan pasca dayah. Sasaran dari konsep ini adalah memberikan pendidikan tambahan kepada calon-calon pemimpin dayah di Aceh yang dipusatkan pada lembaga tertentu. Program pendidikan ini diibaratkan sebagai program pasca sarjana bagi lulusan dayah dengan materi pendidikan berupa pendalaman pengajian-pengajian yang menjadi tradisi dayah ditambah dengan pengajian-pengajian lain yang dapat meningkatkan kembali wa-wasan pemimpin dayah agar lebih bersifat metropolitan sesuai dengan perkembangan dewasa ini. Namun karena kurangnya dukungan dana serta kelemahan organisasi Persatuan Dayah Inshafusddin itu sendiri maka program ini belum berhasil diluncurkan sebagaimana yang diharapkan. Kelemahan organisasi sendiri sangat terkait oleh kelemahan sumber daya manusia yang tersedia di kalangan dayah itu sendiri. Dan kelemahan wawasan itu sendiri merupakan satu faktor penting dalam kelemahan sumber daya manusia.

 

Dalam pada itu pendidikan system dayah di Aceh juga megalami berbagai phenomena baru yaitu munculnya berbagai pesantren atau dayah yang bersifat terpadu yang mengambil pola-pola perobahan yang telah dilakukan di Jawa. Di antara dayah terpadu yang sangat menonjol sekarang ini adalah Madrasah Bustanul Ulum, Langsa Aceh Timur, dan Dayah Jeumala Amal, di Lueng Putu, Kabupaten Pidie. Dayah Bustanul Ulum Langsa didirikan pada tahun 1961 pada mulanya hanyalah sebuah dayah tradisional biasa seperti dayah-dayah tradisionil lainnya. Tetapi pada tahun 1985 dayah ini dimodernisir dengan konsep terpadu dengan memadukan pendidikan dayah dengan pendidikan ada dibawah Departemen Agama. Dengan madrasah yang menggunakan administrasi dan pendidikan sistem sekolah, ternyata masyarakat menaruh minat yang luar biasa terhadap lembaga pendidikan dayah yang terpadu ini sehingga sekarang mempunyai murid lebih seribu orang. Lahirnya pendidikan dayah yang terpadu ini nampaknya tidak terlepas dari pembaharuan-pembaharuan yang dialami oleh pendidikan pesantren di Jawa, terutama dengan munculnya beberapa pesantren terpadu di Jawa yang sangat diminati oleh masyarakat.

 

Keberhasilan Dayah Bustanul Ulum di Langsa, Aceh Timur diikuti dengan lahirnya beberapa dayah terpadu lainnya. Yang paling menonjol diantaranya adalah Dayah Jeumala Amal di Lueng Putu yang didirikan pada tahun 1988 dan pada tahun 1993 yang lalu meluncurkan alumni yang pertama untuk tingkat aliyah. Dayah Jeumala Amal di Lueng Putu dibangun dan disponsori sepenuhnya oleh seorang tokoh Aceh yang tinggal di Jakarta, yang bernama Teuku Abdullah Laksamana putera Teuku Laksamana Umar yang mati dalam perang Cumbok. Dengan kearifan seorang manager modern sebagai mantan Direktur BNI 1946, dayah ini hanya menerima murid sesuai dengan kemampuan yang ada sehingga mutunya betul-betul dapat ditingkatkan. Dikelola oleh sebuah Yayasan yang bernama Yayasan Laksamana Teuku Haji Ibrahim, dayah ini memadukan kurikulum madrasah Departemen Agama dengan kurikulum madrasah tradisionil. Di samping dayah ini banyak dayah modern lainnya yang didirikan dalam sepuluh tahun terakhir termasuk dayah Samsudhuha di kecamatan Dewantara, cabang dari dayah Darul Arafah Medan di Lhokseumawe, pesantren modern terpadu Bambi di Pidie, Dayah Teungku Syik Oemar Diyan di Indrapuri, Dayah Abu Lam U di Ingin Jaya, Dayah Fauzul Kabir di Jantho, Aceh Besar, Dayah Darul Ulum YPUI di Kodya Banda Aceh dan lain-lain. Dayah modern terpadu ini banyak menggunakan tenaga pengajar dari lulusan Gontor, Jawa Timur sebagai guru-guru mereka.

Munculnya dayah-dayah modern terpadu ini nampaknya belum melemahkan kedudukan dayah tradisionil. Dayah-dayah tradisionilpun masih tetap mendapatkan siswa yang ramai asal saja kehadiran teungku dalam pendidikan dapat terjamin. Ini terlihat dari beberapa dayah tradisionil yang muridnya bahkan bertambah melimpah. Aceh Utara merupakan daerah yang paling banyak dayahnya sekarang meskipun daerah itu digolongkan dalam zona industri karena perkembangan-perkembangan industri raksasa dewasa ini. Bahkan mayoritas dari dayah-dayah di Aceh Utara masih bersifat tradisionil, yang merupakan suatu situasi yang sangat kontras dalam zaman global sekarang ini. Di Dayah Makhadal Ulum Mesjid Raya Samalanga dan Dayah Putri Mesjid Raya Samalanga, murid-muridnya sampai mencapai ribuan orang, sehingga tidaklah berlebih-lebihan kalau dayah tersebut merupa-kan sumber pembinaan kader dayah di masa yang akan datang. Demikian juga dayah-dayah tradisionil Aceh Besar seperti Dayah Ibrahimiyah di Seulimeum Aceh Besar, Dayah Darul Munawarah di Kuta Krueng di Pidie, Dayah Baitussabri di Simpang Ulim Aceh Timur, Dayah Ahlu Sunnah Wal-Jami’ah di Meulaboh, Dayah Darussaa’ah, Kuta Fajar Aceh Selatan merupakan dayah-dayah tradisionil yang sangat berkembang dewasa ini.

 

Secara Statistik gambaran kwantitas dayah yang akurat dewasa ini masih sukar di peroleh. Menurut catatan dalam buku 10 Tahun Darussalam dan Hari Pendidikan, pada tahun 1966 di Aceh terdapat lebih kurang 455 buah dayah atau pesantren dengan murid sekitar 20.715 orang.” Menurut daftar yang ada pada Kanwil Departemen Agama sekarang ini terdapat sekitar 424 buah dayah atau pesantren di Aceh. Data ini belum dapat dipastikan kebenarannya karena ternyata banyak dayah-dayah besar yang belum terdaftar  dalamnya. Data yang tercatat pada kantor Bapeda Propinsi Daerah Istimewa Aceh menunjukkan bahwa pada tahun 1991 di Aceh terdapat sekitar 488 buah dayah atau pesantren dengan jumlah muridnya sekitar 81.472 orang dan tenaga pengajar atau Teungku sebanyak 2.137 orang. Di samping itu perlu dijelaskan bahwa sebagian murid-murid dayah tersebut adalah murid yang tidak menetap sehingga sebenarnya belum merupakan murid dayah dalam pengertian yang penuh di mana seorang murid dayah harus tinggal sepenuhnya pada dayah yang tempat ia belajar. Dari data-data dapat dilihat memang dilihat dari segi kelembagaan, dari tahun 1966 sampai tahun 1991 tidak banyak perkembangan dayah, tetapi dilihat dari perkembangan muridnya (20.715 tahun 1966 menjadi 81.472 tahun 1991) memang pendidikan dayah masih terus berkembang di Aceh.

 

6. Penutup

Pendidikan dayah merupakan warisan yang sangat penting dari sistem pendidikan kita. Pendidikan dayah sudah bersama kita sudah ratusan tahun dan telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan kebudayaan di Daerah Istimewa Aceh. Persoalan yang dihadapi oleh pendidikan dayah meliputi beberapa hal. Yang pertama lokalisasi wawasan yang memandekkan perkembangannya. Ini tidak terlepas dengan pengalaman dunia menyeluruh sejak abad ke 19. Penggeseran-dan budaya juga cenderung penggeseran politik, sosial menyempitkan ruang gerak dari lembaga ini sendiri sehingga lembaga ini tidak berhasil memperoleh sumber daya manusia dan sumber daya yang lain yang dibutuhkan dalam perkembangannya. Perang Aceh merupakan suatu pukulan bagi tradisi dayah, dan sesudah perang Aceh selesai dan kemerdekaan diperoleh usaha yang serius untuk menyembuhkannya dari luka-luka perangpun tidak ada. Disamping itu sifat lembaga dayah individual, inde-penden dan susah diorganisir juga merupakan kendala bagi pembinaannya dalam masa sekarang ini.

Namun pendidikan dayah tetap akan bertahan dimasa-masa yang akan datang, karena sekurang-kurangnya ia dapat memberikan alternatif kepada sistem pendidikan lainnya yang juga masih menghadapi kendala-kendala tersendiri. Kenyataannya menunjukkan masyarakat masih menaruh kepercayaannya kepada lembaga ini. Namun hal inipun di masa yang akan datang tergantung kepada apakah pendidikan dayah dapat mengatasi lokalisasi yang dihadapinya dewasa ini, dan memiliki sumber daya manusia yang menjadi kader-kader dalam menerobos lokalisasi tersebut. Organisasi Persatuan Dayah Inshafuddin yang diberi mandat untuk memikirkan terobosan tersebut sudah menemukan konsep-konsep yang diperlukan, namun implementasinya dari konsep-konsep tersebut masih terkendala oleh terbatasnya sumber yang tersedia untuk merealisasikannya. Karena itu kalangan pendidikan dayah sangat mengharapkan dukungan masyarakat dan pemerintah untuk merealisasikan konsep dan program tersebut agar tradisi yang pernah memberi kontribusi yang berharga kepada masyarakat Aceh di masa lalu, dapat kembali menyumbang untuk pembangunan di masa yang akan datang.

 

Catatan Kaki

  1. George Makdisi, THE RISE OF COLLEGES: INSTITUTIONS OF LEARNING IN ISLAM AND THE WEST, Edinburgh, Edinburgh University press, 1981. 10-32 
  2. A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta, Penerbit Beuna, 1993, hal.191-94. 
  3. George Makdisi, Ibid, hal.10
  4. Ibid, hal 12-13, dan 20.
  5. A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta, Bulan Bintang, 1990 hal. 206-209
  6. Persatuan Dayah Inshafuddin, Himpunan Hasil-Hasil Mubes III, Banda Aceh, 1986, hal. 12-13
  7. George Kamdisi, Ibid, hal. 8-9.
  8. Snouk Hurgronje, Mekka In The Leter Part Of the Nine Teeth Century, Leiden, E.J. Brill LTD, 1931.
  9. Nurcholih Madjid (ed), Kazanah Intelektual Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1984, hal. 58-62
  10. Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatra Thawalib, Yogyakarta, PT. Tiara Wacana, 1990, hal. xiv- xV. 
  11. Nazaruddin Sjamsuddin, Ibid, hal. 20-21.
  12. Safwan Idris, “Dayah Sebagi Basis Nilai Moral dan Spiritual Dalam Prospek Pembangunan Nassional” Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Dalam Rangka Ulang Tahun ke VI Rabitah Alumni Dayah Mudi Mesjid Raya Samalanga dan Memperingati Wafatnya Tgk. A. Aziz Saleh ke IX, Samalanga, Aceh Utara, 3 Desember 1992.
  13. Snouk Hurgronje, Aceh Dimata Kolonialis, jilid I, Jakarta, Yayasan Soko Guru, 1985, hal.67-69 
  14. A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta, Penerbit Beuna, 1983. hal 218. 
  15. Muslim Ibrahim, “Pengembaraan Kebudayaan Aceh di Luar Tanah Rumahnya,” Makalah disampaikan pada: Simposium Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini dan Esok, Jakarta, 21-24 Oktober 1994. 
  16. Ibid, hal. 4 dan A. Hasjmy, Ibid, hal. 191-93 
  17. Zaslina Z, Manuskrip Perpustakaan Islam Terua di Indonesia Tanoh Abee, Aceh Besar (Mengenal Kembali Naskah Lama), Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra, Univ. Sumatra Utama, Medan, 1983, hal. 14. 
  18. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid I, cetakan ke II, Medan, Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981, hal.413-9 
  19. A. Hasjmy, Ibid, hal. 255 
  20. Ibid, hal. 226 
  21. Ibid Hal. 225-226 
  22. Zaslina Z, Ibid Hal. 17. 
  23. A. Hasjmy, Ibid, hal. 242. 
  24. Wawancara dengan Drs. Tgk. Syamsuddin Mahyiddin, Dosen IAIN Ar- Raniry Darussalam Banda Aceh, Salah Seorang ahli Waris, tanggal 9 April 1994.
  25. Wawancara dengan Tgk. M. Daud Zamzamy, Ketua Umum P.B. Inshafuddin, Propinsi Daerah Istimewa Aceh, tanggal 10 April 1994. 
  26. A. Hasjmy, Ibid, hal. 225. 
  27. Ibid, hal. 195 dan 227. 
  28. George Makdisi, Ibid, hal. 5 
  29. A. Hasjmy, Ibid, hal. 242 
  30. 10 Tahun Darussalam dan Hari Pendidikan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, Yayasan Pembina Darussalam, 1969, hal.402-3. 
  31. Wawancara dengan Tgk. M. Daud Zamzamy, Ketua Persatuan Dayah Inshafuddin, Tanggal 10 April 1994. 
  32. Himpunan Hasil-Hasil Mubes III Persatuan Dayah Inshafuddin, Banda Aceh, P.B. Inshafuddin, 1986. 
  33. Safwan Idris, “Pendidikan Pasca dayah Sebagai Upaya Regenerasi Kepemimpinan Dayah Dimasa Yang Akan Datang” Makalah disampaikan Pada Rapat Kerja Persatuan Dayah Inshafuddin, Bireuen, Aceh Utara, tanggal 11-14 September 1986. 
  34. Safwan Idris, Ibid, 1992, Hal. 8-9. 
  35. 10 Tahun Darussalam,…, hal. 415. 
  36. Sumber: Kanwil Depag D.I Aceh. 
  37. Aceh Dalam Angka 1991, Banda Aceh, Bappeda dan Kantor Statistik Prop. D.I. Aceh, 1992, hal. 142.

 

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments