Sekelumit Sejarah Kebangkitan Nasional di Provinsi Aceh: Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Berkantor di Banda Aceh
Pada masa Agresi Balanda ke- II, pusat Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta dapat dilumpuhkan dan dikuasai Belanda. Di saat-saat genting ini, sebelum terjadinya penangkapan atas diri Presiden dan Wakil Presiuen Republik Indonesia. Presiden dan Wakil Presiden memberikan mandat kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara (pada waktu itu sebagai Menteri Kemakmuran) untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera, yang ditandatangani 19 Desember 1948.
Untuk mengantisipasi situasi politik dan militer yang semakin genting menghadapi Belanda, sebuah sidang kabinet RI telah membahas dan mempersiapkan rancangan dibentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera atau di India (luar negeri). Tindakan ini diambil, bilamana serdadu Belanda menyerang dan menduduki Ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta.
Sidang kabinet tersebut dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta. Ternyata ramalan itu menjadi kenyataan, Ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta diserbu secara tiba-tiba dan terus dikuasai serdadu Belanda.
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta bersama Haji Agus Salim ditangkap dan diasingkan ke pulau Bangka. Para anggota kabinet lainnya ada juga yang sempat ditangkap, tetapi lebih banyak yang sempat menyingkir ke luar kota untuk berjuang. Jenderal Sudirman yang sedang dalam keadaan sakit memutuskan hijrah ke pedalaman bersama rakyat untuk memimpin perang gerilya.
Sebelum ditawan, Soekarno—Hatta masih sempat mengirimkan instruksi kepada Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi. Isi instruksi tersebut bersifat khusus dan ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, yang isinya sebagai berikut:
“Kami, Presiden Republik Indonesia memberitahukan, bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi Belanda telah mulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta.
Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera.”
Yogyakarta, 19 Desember 1948
Presiden Wakil Presiden
Soekarno Muhammad Hatta
Di samping instruksi untuk Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, Dwi Tunggal Soekarno-Hatta memberikan juga mandat kepada trio Dr. Sudarsono-Palar-Maramis dengan alamat New Delhi, India. Bunyi mandat tersebut sebagai berikut:
Pro: Dr. Sudarsono—Palar—Maramis, New Delhi, India. Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi, Belanda telah mulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta.
Jika ikhtiar Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera tidak berhasil, kepada saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk: ”Exile Government of Republik Indonesia” di India.
Harap dalam hal ini berhubungan dengan Sjafruddin di Sumatera. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya.
Yogyakarta, 19 Desember 1948
Presiden Wakil Presiden
Soekarno Muhammad Hatta
Kedua mandat yang dikeluarkan Dwi Tunggal Soekarno-Hatta untuk Syafruddin di Bukittinggi dan Sudarsono dan kawan-kawan di India telah pernah dibahas dalam sebuah sidang kabinet di Yogyakarta dan telah disepakati bersama.
Pertimbangan mengambil kesimpulan tersebut, didasarkan kepada adanya indikasi yang jelas, bahwa perundingan demi perundingan dengan Belanda selalu diliputii jalan buntu. Suatu waktu mereka pasti akan melakukan agresi untuk memberikan pukulan kepada Republik.
Antisipasi The Founding Fathers itu tepat. Apa yang diramalkan sebelumnya menjadi kenyataan. Dengan kata lain, pendiri republik Indonesia itu telah siap menghadapi segala kemungkinan yang datang dari pihak kolonialis Belanda, termasuk agresi Belanda yang kedua itu.
Sebagai tindak lanjut instruksi tersebut, tanggal 23 Desember 1948 Mr. Syafruddin Prawiranegara mengadakan rapat pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) bertempat di sebuah kantor di lingkungan perkebunan teh di wilayah Halaban, Kabupaten 50 Koto. Rapat itu dihadiri oleh rombongan Menteri Syafruddin yang berkunjung ke Sumatera Barat dan para tokoh masyarakat setempat.
Untuk melaksanakan Pemerintah Darurat Republik Indonesia, pada mulanya Mr. Syafruddin Prawiranegara memilih kota Bukittinggi sebagai pusat pemerintahannya dan pada 22 Desember 1948 membuat susunan pemerintahan yang baru dengan formasi sebagai berikut.
1. Ketua, merangkap Menteri Pertahanan, Penerangan dan mewakili urusan Luar Negeri: Mr. Syafruddin Prawiranegara.
2. Menteri Luar Negeri: Mr. A. A. Maramis.
3. Menteri Pengajaran, Pendidikan, Kebudayaan, mewakili Urusan Dalam Negeri dan Agama: Mr. Teuku Muhammad Hasan.
4. Menteri Keuangan dan mewakili Kehakiman: Mr. Lukman Hakim.
5. Menteri Perburuhan dan Sosial, Pembangunan dan Pemuda serta Keamanan: Mr. Sutan Muhammad Rasyid.
6. Menteri Pekerjaan Umum dan mewakili Kesehatan: Ir. Sitompul.
7. Menteri Perhubungan dan mewakili Kemakmuran: Ir. Indracahya.
Kedudukan Bukittinggi sebagai ibukota PDRI tidak dapat berjalan lama karena gerakan agresi Belanda. Kota Bukittinggi diserang dan direbut Belanda tidak lama sesudah jatuhnya Yogyakarta. Setelah Bukittinggi dikuasai Belanda, ibukota PDRI terpaksa dipindahkan ke Kutaraja (Banda Aceh sekarang), karena saat itu Aceh merupakan satu-satunya daerah yang tidak dapat dikuasai kembali oleh Belanda.
Demikian pula halnya dengan organisasi pertahanan Republik Indonesia mengalami perubahan dan pemindahan markas-markasnya ke Aceh. Angkatan Darat berada di bawah pimpinan Kolonel Hidayat, Angkatan Laut di bawah pimpinan Kolonel Subiyakto dan Angkatan Udara di bawah pimpinan Letnan Kolonel Suyono Karsono.
Usaha-usaha Belanda mengambil kembali kekuasaannya dari Pemerintahan Republik Indonesia dilakukan dengan berbagai taktik dan strategi. Mereka ingin melenyapkan Pemerintahan Republik Indonesia. Menurut Presiden Soekarno, jika ditinjau sebagai suatu kejadian sejarah, sebenarnya Bangsa Indonesia bukan hanya mengalami dua kali agresi dari Belanda (pertama mulai 21 Juli 1947, kedua mulai 19 Desember 1948) tetapi sebenarnya telah beratus kali, dengan tujuan untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia.
Agresi-agresi yang dilancarkan Belanda ini mengakibatkan sebagian besar wilayah Republik Indonesia dapat mereka kuasai kembali, terlebih-lebih setelah agresi kedua yang mengakibatkan Yogyakarta dikuasai oleh Belanda, sedangkan Presiden, Wakil Presiden dan beberapa pejabat tinggi pemerintah berhasil ditangkap dan ditahan di Pulau Bangka.
Gagalnya rencana Belanda kembali ke Aceh dan terusirnya tentera pendudukan Jepang dari daerah Aceh tidak terlepas dari perjuangan rakyat Aceh yang rela mengorbankan apa saja yang dimilikinya untuk tetap tegaknya Republik Indonesia. Tekad ini mendapat landasan berpijak yang makin teguh karena ajaran Islam yang mereka anut dan taati mengajarkan bahwa kewajiban membela tanah air adalah sebagian dari iman. Dan perjuangan mempertahankan Republik Indonesia yang telah lahir itu adalah suatu jihad fisabilillah yang wajib mereka tunaikan.
Untuk mengatasi keadaan genting tersebut itulah Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 22 Desember 1948 di Desa Halaban, di kaki Gunung Sago (Sumatera Barat), kira-kira 16 kilometer di sebelah timur kota Payakumbuh. Tindakan-tindakan penting yang dilakukan oleh PDRI antara lain adalah pembentukan komisariat-komisariat di Sumatera dan Jawa serta pengangkatan beberapa pejabat Gubernur Militer.
Tidak ada alternatif lain kecuali Aceh yang mampu menggerakkan perlawanan rakyat semesta mengusir Belanda, yang telah membentuk negara “boneka” di Jawa dan Sumatera dengan maksud mengeliminir Repubik. Rakyat Aceh harus bekerja sama dengan rakyat di seluruh bagian Republik Indonesia melalui perang gerilya sebagai bentuk perlawanan rakyat semesta guna mengusir penjajahan Belanda yang mulai bercokol.
Presiden Republik Indonesia, Bung Karno pun menginstruksikan sejumlah pimpinan dan kesatuan ABRI untuk meninggalkan Yogyakarta menuju Kutaraja. Selain karena kota Yogyakarta dirasakan sudah tidak aman, dengan hijrah ke Aceh dimaksudkan untuk mempersiapkan gerakan rakyat dalam bentuk perlawanan rakyat semesta.
Perlawanan rakyat semesta, yang diawali dengan hijrahnya sejumlah perwira tinggi dan menengah dari Jawa, dimaksudkan untuk membangun organisasi besar dan memantapkan keberadaan Republik. Di samping persiapan yang dilakukan di Aceh, akan disusun rencana merebut kembali wilayah Republik setapak demi setapak. Gerakan ini terpadu dengan kaum Republikein yang berada di pedalaman yang melakukan serangan serupa dan terus mengganggu posisi Belanda.
Perlawanan rakyat semesta dilakukan dari dalam dan luar secara terlatih dan terpadu. Diperkirakan, cara ini mantap menggulung negara-negara “boneka” yang rapuh dan tidak berakar. Masalah lain yang relevan dengan mobilisasi umum adalah mengalirnya kaum pengungsi dari Sumatera Timur ke Aceh.
Diperkirakan tidak kurang dari tiga ratus ribu jiwa masuk ke Aceh lewat Tiga Binanga di Tanah Karo, lewat Besitang dan Kuala Simpang di Aceh Timur (sekarang Aceh Tamiang) dan melalui Sidikalang masuk Aceh Selatan.
Kehadiran pengungsi ke Aceh disambut baik sebagai saudara kandung. Rakyat serempak menghormati sikap mereka yang rela meninggalkan hak miliknya daripada dijajah kembali oleh Belanda. Seluruh pengungsi ini disalurkan sesuai profesinya untuk menunjang Perlawanan Rakyat Semesta.
Di antara mereka ada yang menjadi guru, petani, pelaut dan ada pula yang bergabung dengan laskar rakyat setempat. Semua kelompok bersiaga untuk merebut kembali tempat yang baru ditinggalkan.
Agresi Militer Belanda I dilakukan 21 Juli 1947, diringi dengan pembentukan negara boneka oleh Van Mook di wilayah Indonesia Timur. Agresi kedua terjadi pada 19 Desember 1948, diiringi pembentukan negara boneka oleh Van Mook di kawasan Pulau Jawa dan Sumatera sebagai basis terakhir Republik.
Selaku Presiden RI, Bung Karno menyatakan, “Perjuangan kemerdekaan RI, sedang berada dalam ancaman penjajahan Belanda.” Kata-kata ini diucapkan oleh Bung Karno dalam kunjungannya ke Aceh pada tahun 1948, yaitu tiga bulan setelah Belanda membentuk negara “boneka” Sumatera Timur di Medan dengan pimpinan Wali Negara Dr. Mansur dan enam bulan sebelum Belanda melancarkan agresi keduanya terhadap RI dengan pendudukan ibukota negara Yogyakarta.
Melalui siaran radio dalam dan luar negeri, rakyat Aceh mengetahui argresi kedua. Presiden, Wakil Presiden serta pemimpin negara lainnya telah ditawan dan diasingkan. Diketahui pula bahwa Mr. Syafruddin Prawiranegara telah membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di pedalaman Sumatera Tengah.
Untuk memperlancar roda pemerintah, baik sipil maupun militer, di Sumatera dibentuk 3 Daerah Komisaris Pemerintah dan 5 Daerah Gubernur Militer. Di antaranya, Gubernur Militer untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo di bawah pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureu-eh.
Suasana di Banda Aceh—saat itu bernama Kutaraja—serta di seluruh daerah Aceh mulai menghangat. Persiapan-persiapan latihan perang ditingkatkan di mana-mana sehingga keadaan betul-betul terasa seperti dalam keadaan perang. Semua pimpinan Angkatan dan Kapolri diinstruksikan Jenderal Sudirman dari daerah gerilyawan di Jawa Tengah supaya menuju Kutaraja, Aceh untuk memimpin pasukan dan barisan rakyat merebut kembali Yogyakarta.
Kini, Banda Aceh menjadi pusat perjuangan dan menjadi Ibukota Republik Indonesia, tegas Jenderal Sudirman.
Banda Aceh telah dipersiapkan untuk dijadikan “IBUKOTA DARURAT” bagi Republik Indonesia. Dalam perkembangannya, Belanda tidak sanggup lagi melanjutkan nafsu perangnya. Belanda terpaksa menerima penyelesaian melalui meja perundingan, dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) akhir tahun 1949 di Den Haag.
Selama Agresi Militer Belanda II, Aceh tetap merupakan Wilayah Republik Indonesia yang utuh. Tentara Indonesia segera mengirim delegasinya ke sana.
Selanjutnya, provinsi dan jabatan gubernur di Sumatera dihapuskan untuk sementara. Sebagai gantinya dibentuk daerah militer yang pimpin oleh gubernur militer, yaitu Teungku Muhammad Daud Beureu-eh. Kewenangan gubernur militer meliputi wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo.
Keputusan PDRI ini masing-masing bertanggal 17 dan 16 Mei 1949. PDRI juga mengangkat Mr. S. M. Amin, mantan Gubernur Sumatera Utara, sebagai komisaris Pemerintah Pusat untuk daerah Sumatera Utara; selanjutnya komisaris ini mengangkat mantan Residen T. Daud Syah menjadi Ketua Dewan Pertahanan Daerah Aceh.
Ketika Kabinet Presidentil Kedelapan dibentuk pada tanggal 7 Agustus 1949, mantan Ketua PDRI, Mr. Syafruddin Prawiranegara diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri dengan kedudukan di Banda Aceh. Dengan demikian, Banda Aceh dipersiapkan menjadi Ibukota Republik Indonesia kedua atau “IBUKOTA DARURAT” bagi Republik Indonesia.
Pada 20 Agustus 1949 Presiden membubarkan PDRI; Mr. Syafruddin Prawiranegara ditetapkan sebagai Wakil Perdana Menteri dengan tempat kedudukan di Kutaraja. Dalam kedudukan barunya ini, Wakil Perdana Menteri mengeluarkan Keputusan Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM Tahun 1949 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1950, tentang pembentukan Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Timur dengan gubernurnya masing-masing Teungku Muhammad Daud Beureu-eh dan Dr. Ferdinand Lumban Tobing.
Sedangkan Mr. S. M. Amin dipindahkan ke Kementerian Dalam Negeri di Jakarta. Selanjutnya, pada tanggal 23 Agustus 1949, Konferensi Meja Bundar (KMB) dibuka resmi di Den Haag Belanda. Dalam delegasi Republik Indonesia diikutsertakan seorang anggota dari “DAERAH MODAL”, yaitu Residen Aceh, Teuku Chik Muhammad Daudsyah.
Kedudukan Wakil Perdana Menteri di Kutaraja ini kemudian dikukuhkan lagi dengan keluarnya Undang-Undang No. 2 Tahun 1949 tangal 30 September 1949, tentang “Kedudukan Dan Kekuasaan Wakil Perdana Menteri yang berkedudukan di Sumatera”.
Untuk merealisasi Undang-Undang No. 2 Tahun 1949 ini kembali diangkat Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai Wakil Perdana Menteri untuk melaksanakan pemerintahan, mewakili Pemerintah Pusat; dan sebagai pusat pemerintahan kembali ditetapkan Kutaraja.
Ketetapan yang terkandung di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1949 tersebut memberikan kekuasaan yang seluas-luasnya kepada Wakil Perdana Menteri, seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 7, yang berbunyi:
Pasal 2
Kepada Wakil Perdana Menteri tersebut dalam pasal 1 diberi kekuasaan, dalam keadaan yang memaksa, untuk daerah Sumatera atau sebagian dari daerah Sumatera atas nama presiden menetapkan peraturan:
a. Yang masalahnya seharusnya diatur dengan undang-undang, peraturan ini dinamakan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Undang-Undang.
b. Yang masalahnya diatur dengan Peraturan Pemerintah, peraturan ini dinamakan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah.
Pasal 7
1. Kepada Wakil Perdana Menteri oleh Presiden diberikan hak, atas nama Kabinet atau atas nama salah seorang Menteri, mengambil segala keputusan pelaksanaan Pemerintahan (executive) yang dipandang perlu untuk mengujudkan stabilisasi dan menyehatkan di berbagai lapangan Pemerintahan di Sumatera.
2. Dalam keadaan yang memaksa kepada Wakil Perdana Menteri oleh Presiden dapat diberikan hak mengambil, atas nama dan sambil menunggu pengesahan Presiden, sesuatu Keputusan yang termasuk kekuasaan Pemerintahan Presiden.
Penetapan yang terkandung di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1949 tersebut, diberikan atas pertimbangan-pertimbangan sukarnya perhubungan Sumatera dengan Pemerintah Pusat dan banyaknya soal penyelenggaraan pemerintahan yang perlu penyelesaian yang cepat, sesuai dengan kepentingan daerah di Sumatera.
Pengambilan Kutaraja sebagi tempat kedudukan Wakil Perdana Menteri dalam menjalankan pemerintahannya, pada satu sisi karena daerah lain di Indonesia hampir semua sudah dikuasai/diduduki kembali oleh Belanda, pada sisi lainnya rakyat Aceh pada saat itu telah bersatu lahir dan batin, bahu-membahu dalam membela kemerdekaan Indonesia.
Tepat pada hari dimulainya Konferensi Meja Bundar, Wakil Perdana Menteri, Mr. Syafruddin Prawiranegara dan Menteri Agama, Kyai Masykur, tiba di Banda Aceh dengan diantar kapal perang Belanda dari Sabang (Van Galen). Wakil Perdana Menteri akan menetap di Banda Aceh dan membuka Kantor Pemerintah di Banda Aceh.
Segala persiapan dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan gagalnya perundingan di Negeri Belanda dan peperangan antara Belanda dan Indonesia pecah lagi. Pada saat itulah Kantor Wakil Perdana Menteri/Pemerintah Pusat sebagai Ibukota Kedua Republik Indonesia resmi dibuka di Banda Aceh.
Tugas Wakil Perdana Menteri di Aceh selesai bila KMB berhasil dengan baik. Kalau KMB mengalami kegagalan dan pecah perang lagi, Wakil Perdana Menteri telah membentuk Kabinet Perang yang berkedudukan di Banda Aceh sebagai Ibukota Kedua Republik Indonesia, selama keadaan perang. Pada waktu itu diperkirakan Belanda akan merebut kembali Yogyakarta dan daerah-daerah lain di Republik Indonesia.
Wakil Perdana Menteri, dengan wewenang yang ada padanya, telah mengeluarkan ketetapan-ketetapan baru untuk mengadakan perbaikan di daerah Sumatera. Beberapa peraturan mengenai perekonomian adalah peraturan mengenai panitia-panitia untuk mengurus pembelian barang-barang bagi pemerintah, untuk mengatur harga pasaran, untuk memperbaiki perekonomian di Sumatera, untuk membantu dan mengawasi Bank Negara.
Selain itu, peraturan-peraturan mengenai larangan mengirim barang-barang dagangan keluar daerah Sumatera Utara, pendaftaran hasil perkebunan di daerah Aceh, penjualan barang-barang impor yang ada di bawah pengawasan pemerintah di Sumatera Utara, syarat-syarat untuk menjadi agen pembeli (opkoopagent) hasil hutan, hasil bumi dan eksportir, penjualan barang-barang dengan kupon di Sumatera Utara dan sebagainya.
Usaha penjualan barang-barang dengan kupon, tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan, seperti yang terjadi di Kutaraja dan Lhokseumawe. Penjualan dengan kupon telah diberitahukan dan kupon-kupon telah dibagi-bagikan kepada masyarakat, tetapi pada hari penjualan, ternyata barang-barang tidak ada. Hal ini terjadi karena keadaan saat itu belum mengizinkan.
Wakil Perdana Menteri juga telah mengeluarkan Surat Keputusan Wakil Perdana Menteri No. 14/Keh/WKPM, pada tanggal 27 Desember 1949, yang memberikan abolisi terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa Cumbok dan peristiwa Said Ali Alsagaf.
Pada waktu itu banyak korban penangkapan dan penahanan yang mendekam dalam penjara tanpa melalui proses pemeriksaan di pengadilan. Mereka yang ditahan ini umumnya diduga dan dituduh ikut terlibat dalam peristiwa Cumbok dan Said Ali Alsagaff. Dengan keluarnya Surat Keputusan Wakil Perdana Menteri No. 14/Keh/WKPM Tahun 1949 itu mereka dibebaskan dari tahanan.
Pada masa pemerintahan Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia di Aceh, Aceh telah bebapa kali mendapat kunjungan dari wakil-wakil dari Pemerintah Pusat. Pada 23 September 1949, misalnya, telah berkunjung Sri Sultan Hamengkubuwono IX (sebagai Menteri Pertahanan merangkap sebagai Perdana Menteri) beserta rombongan yang terdiri dari Mr. Assaat (Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat) dan Mr. Syamsuddin (Menteri Penerangan).
Pada tanggal 18 Oktober 1949, telah pula berkunjung ke Kutaraja rombongan Mr. Lukman Hakim (Menteri Keuangan), I. Kasimo (Menteri Kemakmuran) dan Kusnan (Menteri Sosial dan Pemburuhan). Berdasarkan kunjungan-kunjungan wakil Pemerintah Pusat ke daerah Aceh pada saat itu, menunjukkan betapa besar perannya Aceh bagi Negara Republik Indonesia. Secara politis, menempatkan Wakil Perdana Menteri di Sumatera (Kutaraja) merupakan maksud Pemerintah Republik Indonesia untuk menunjukkan kepada dunia luar, bahwa secara de facto wilayah kekuasaaan Republik Indonesia masih tetap berdiri dan tidak pernah dikuasai seluruhnya oleh Belanda. Daerah yang tidak dapat dikuasainya kembali itu adalah Aceh. Daerah Aceh merupakan satu-satunya daerah yang bersih dari injakan militer musuh (Belanda) dan dengan bangga dan selayaknya telah mendukung sebuah sebutan kehormatan sebagai Daerah Modal perjuangan Republik Indonesia, sebagaimana diucapkan oleh Presiden Soekarno serta diulang-ulangi oleh para pemimpin lainnya. Jasa Aceh kepada Republik Indonesia tidak hanya dalam bentuk perjuangan fisik berupa pengiriman tentara dan laskar untuk berperang dan menahan kemajuan Belanda di Medan Area, melainkan juga dalam bentuk harta dan bantuan lainnya. Ketika kas Republik Indonesia hampir kosong, rakyat Aceh tanpa memandang status sosialnya membeli obligasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan uang hasil penjualan sawah, ladang dan perhiasan yang dipunyainya. Semua perbelanjaan untuk perwakilan Pemerintah Pusat yang mengungsi ke Aceh pada awal tahun 1949 juga ditanggung oleh rakyat Aceh. Demikian juga dengan pembiayaan untuk keperluan diplomat dan perjuangan di PBB. Sumbangan berupa uang dan alat-alat kantor, termasuk sejumlah emas batangan dikirimkan oleh rakyat Aceh kepada Pemerintah Pusat setelah kekuasaan pemerintah dipulihkan pada tahun 1949, karena Pemerintah Pusat pada waktu itu hampir tidak dapat membiayai dirinya lagi. Selanjutnya, jasa Aceh kepada Indonesia yang paling menggemparkan adalah tentang pengumpulan dana untuk membeli dua pesawat terbang. Didahului oleh ucapan Presiden Soekarno ketika berpidato di hadapan massa di Blang Padang, Kutaraja pada tanggal 16 Juni 1948, bahwa “Alangkah baiknya jika Indonesia mempunyai kapal udara untuk memperkuat pertahanan negara dan mempererat hubungan antara pulau dengan pulau”. Kedatangan Presiden Soekarno di Aceh pada waktu itu disambut para saudagar Aceh, yang terhimpun dalam GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh). GASIDA inilah yang kemudian melakukan pertemuan dengan Presiden Soekarno di Aceh Hotel (berdampingan dengan Mesjid Baiturrahman). Dalam pertemuan itu Presiden Soekarno menguraikan tentang keadaan yang sedang dikepung oleh Belanda dan untuk menerobos keluar atau menghubungkan Indonesia dari pulau ke pulau, kita harus mempunyai pesawat udara. Beliau meminta agar GASIDA menyumbang sebuah kapal terbang jenis Dakota yang harganya pada waktu itu (bekas pakai) M.$. 120.000,00 (seratus dua puluh ribu ringgit Malaysia), atau kalau dengan harga emas sebanyak 25 Kg emas. Pidato Presiden Soekarno pada saat itu ditutup dengan kata-kata: “Saya belum mau makan sebelum mendapat jawaban “Ya” atau “Tidak” saudara-saudara”. Rakyat Aceh sangat tertantang dengan pernyataan Presiden Soekarno tersebut, sehingga mereka melalui GASIDA, seperti Teuku Muhammad Ali Panglima Polim, H.M. Djuned Jusuf, dan Haji Amin menerima permintaan Presiden Soekarno. Beberapa hari berikutnya terjadilah penyerahan uang untuk membeli dua buah kapal udara; yang satu dari GASIDA dan yang satu lagi dari seluruh rakyat Aceh. Dalam waktu dua bulan, GASIDA benar-benar telah menyerahkan selembar cheque sebesar M.$. 120.000,00, kepada Negara Republik Indonesia. Cheque untuk pembelian dua buah pesawat terbang tersebut diserahkan secara simbolik oleh Teuku Muhammad Ali Panglima Polim atas nama pengusaha Aceh yang tergabung dalam GASIDA dan Residen Aceh Teuku Chik Daudsyah atas nama rakyat Aceh kepada Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno. Setahun kemudian, berita untuk membeli dua pesawat Dakota datang dari Kepala Staf Angkatan Udara (AU) Komandemen Sumatera di Bukittinggi. Pesawat Dakota berhasil dibeli setelah melalui proses pembelian yang memakan waktu lebih kurang tiga bulan lamanya. Pesawat itu diterbangkan ke tanah air pada akhir bulan Oktober 1948, kemudian diberi nomor registrasi RI-001 sebagai nomor pesawat yang disediakan khusus bagi VIP. Sebagai penghargaan kepada rakyat Aceh, maka pesawat tersebut diberi nama “SEULAWAH” yang berarti “GUNUNG EMAS”. Pada bulan November 1948, pesawat tersebut dipergunakan oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta untuk mengelilingi Sumatera dengan rute Maguo (Adi Sucipto) Yogyakarta, Jambi, Payakumbuh, Banda Aceh, dan dengan melalui rute semula pesawat tersebut kembali ke Yogyakarta. Oleh karena pesawat tersebut telah melaksanakan penerbangan sebanyak 50 jam terbang, maka pada tanggal 6 Desember 1948 pesawat tersebut diterbangkan ke Calcuta, India untuk keperluan pemeriksaan dan perawatan. Pesawat itu baru selesai dirawat pada tanggal 20 Januari 1949. Berhubung dengan suasana perang dengan Belanda di tanah air, maka dengan seizin Pemerintah Birma pesawat RI-001 “SEULAWAH” pada tanggal 26 Januari 1949 diterbangkan ke Rangoon dan melakukan penerbangan sipil di sana lebih kurang satu tahun lamanya. Pada tanggal 2 Agustus 1950 barulah pesawat tersebut kembali ke tanah. air Indonesia, dengan mengambil rute Rangoon, Bangkok, Medan, Andir (Husin Sastranegara), Bandung. Pesawat mendarat di Andir pada tanggal 3 Agustus 1950. Pesawat RI-001 “SEULAWAH” beroperasi di luar negeri untuk mencari dana bagi perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia, di samping sebagai “Penerobos Blokade Belanda” untuk memasukkan senjata dan mesiu ke daerah Aceh yang menjadi pusat perjuangan menegakkan Republik Indonesia. Pengadaan pesawat terbang “Seulawah Rl-001” sebagai alat juang untuk menerobos blokade udara Belanda, juga mampu betugas ganda beroperasi dan mengumpulkan dana perjuangan di tengah situasi dan kondisi RI yang sedang kritis. Keberhasilan pesawat “Seulawah” ini kemudian berkembang menjadi perusahaan penerbangan “Garuda”, yang kini tumbuh menjadi besar dan modern. Peranan pesawat “Seulawah” ini telah mampu menghidupkan kembali komunikasi yang terputus antara Yogyakarta-PDRI di Sumatera Barat dan Aceh-Perwakilan RI di India terus ke PBB. Di samping mengumpulkan dana untuk membeli pesawat terbang, semua perbelanjaan, baik bagi PDRI maupun bagi Staf Angkatan Laut dan Angkatan Udara ditanggung oleh rakyat Aceh. Bahkan perbelanjaan bagi perjuangan Dr. Sudarsono di India dan L.N. Palar di PBB New York, demikian pula biaya untuk perwakilan Republik Indonesia di Penang dan Singapura. Selain itu, perongkosan bagi duta keliling Haji Agus Salim dan biaya konferensi Asia di New Delhi juga dikeluarkan dari dana perjuangan rakyat Aceh. Dana-dana tersebut diserahkan melalui Utoyo Ramlan, S.H. di Singapura dan Sudarsono di New Delhi, berjumlah M$. 20.000.000,00. Tidak sedikit dollar yang mengalir dari Aceh ke India dan New York pada saat itu untuk perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, suatu sumbangan yang tiada taranya bagi perjuangan Republik Indonesia sehingga sangatlah wajar kalau Aceh mendapat julukan sebagai “Daerah Modal”. Kolonel M. Jasin, Panglima KODAM I/Iskandar Muda juga pernah mengatakan bahwa: “Ketika hampir seluruh Indonesia diduduki Belanda kembali, tinggallah daerah Aceh lagi yang tidak diduduki. Daerah ini menjadi modal perjuangan politik bagi Palar di UNO, Dr. Sudarsono di India dan Mr. Syafruddin dengan PDRI-nya untuk menonjolkan kepada dunia, bahwa Republik Indonesia masih mempunyai daerah de facto yang lebih luas dari daerah Belanda sendiri, sehingga daerah Aceh dijadikan modal dalam melanjutkan dan menegakkan Proklamasi 17 Agustus 1945, sesuai dengan julukan Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno pada waktu itu bahwa Aceh daerah Modal”.
Dalam pertemuannya dengan rakyat Aceh di beberapa tempat, Bung Karno dengan suara yang mengguntur memuji sejarah kepahlawanan rakyat Aceh menentang penjajah. Bung Karno dengan suaranya yang menggeledek penuh semangat berucap rakyat Aceh dalam sejarah dikenal sebagai pejuang yang paling gigih menentang penjajahan Belanda. Berpuluh-puluh tahun rakyat Aceh berperang melawan kolonialisme Belanda. Sekarang giliran kita untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi persada tercinta ini, divmana-mana Belanda sudah mendirikan negara “boneka” untuk mengepung Republik Indonesia. Sudah waktunya sekarang pemuda-pemuda Aceh yang berdarah pahlawan siap melakukan “perang sabil” untuk mengusir kaum penjajah dari persada Ibu Pertiwi tercinta. Aceh adalah Daerah Modal dalam meneruskan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 dan modal dalam perjuangan mengusir kaum penjajah dari halaman rumah kita. Bukan sekedar pujian, bukan pula tanpa alasan, Bung Karno menilai peranan dan saham rakyat Aceh dalam situasi RI yang kritis telah dapat memainkan peran yang sangat menentukan dalam mempertahankan Republik Indonesia. Ini semua dilandasi fakta dan realita bahwa satu-satunya wilayah Provinsi RI yang masih utuh belum diduduki Belanda adalah Bumi Iskandar Muda. Justru dari sinilah dikonsolidasi dan digerakkan perlawanan terakhir untuk mengusir dan membebaskan tanah air dari penjajahan “ULANG” oleh Belanda.
*Tambeh:
1.(Cuplikan buku “ACEH DAERAH MODAL”, Pemda Aceh, 2006, yang ikut saya tulis).
2. Tirgahayu = Dirgahayu. Saya jumpai dalam naskah Hikayat Aceh berhuruf Jawoe/Arab pegon alias aksara Arab Melayu.
3. Sayang sejuta sayang, kisah heroik Rakyat Aceh dalam mendukung tegak berdirinya NKRI hanya “dipahami” sebatas Tanah Aceh tidak meluas secara nasional ke seluruh Indonesia. Sebab utamanya, karena penggalan sejarah Aceh ini tidak dimuat dalam Buku Pelajaran Sejarah Nasional di sekolah-sekolah.
4. Terkait sejarah Aceh hanya dimuat periode Perang Melawan Belanda saja.
5. Apa mau dikata….terserah dan pasrah!. Apakah cukup sekedar itu?.
Bale Tambeh: 25 Sausen 1445 TH atau 25 Muharram 1445 H bersamaan 13 | Agustus 2023 M, pukul 08.03 wib. Merdeka!
(T.A. Sakti)