KEBUDAYAAN dari suatu bangsa merupakan hasil proses perubahan yang terjadi secara tahap demi tahap dalam perjalanan zaman. Fungsi dari kebudayaan adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sehari-hari.
Tiap bangsa yang sudah berkebudayaan tinggi mempunyai atau memiliki “aksara” nya sendiri, karena bangsa tersebut telah pandai baca-tulis dalam kehidupannya.
Dapat kita lihat sampai hari ini misalnya bangsa Jepang, Tiongkok, bangsa Arab, mereka memiliki aksara sendiri dan tetap dipelihara dan dipakai sampai hari ini, di samping itu mereka juga menggunakan aksara Latin.
Kita bangsa Indonesia telah pernah memakai berbagai macam aksara sejak dari zaman purbakala. Salah satu diantaranya yang pernah dipakai oleh bangsa kita di Nusantara ini adalah aksara Jawi.
Aksara ini merupakan suatu jenis aksara yang telah sangat berjasa dalam mempersatukan suku-suku bangsa yang mendiami tiap-tiap pulau di kepulauan Nusantara ini, sehingga karenanya sekarang telah menjelma menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Surat menyurat dalam hubungan diplomatik antara Kerajaan-kerajaan di Nusantara, selalu menggunakan aksara Jawi yang berasal dari huruf Arab. Begitu juga para Ulama dan cerdik pandai, di zaman tersebut menyebarkan ilmu pengetahuan yang mereka miliki dengan menggunakan tulisan Jawi, sehingga boleh dikatakan tidak seorangpun di masa itu yang buta huruf.
Di Aceh penggunaan huruf Jawi di masa itu sangat meluas. Dalam hal ini Prof. A. Hasjmy menulis: “Kesusasteraan Aceh yang pada umumnya dalam bentuk “puisi” diucapkan atau ditulis dalam bahasa Aceh dibawah nama “hikayat”.
Sementara sastra Aceh dalam bentuk “prosa” pada umumnya bersifat mantera. Juga sejumlah kitab-kitab agama ditulis dalam bahasa Aceh. Setelah datang Islam huruf asli Aceh diganti dengan huruf Arab di bawah nama “Huruf Jawi”:
Juga karya tulis dalam bahasa Melayu ditulis dengan menggunakan Huruf Jawi”, demikian antara lain isi paper A. Hasjmy yang berjudul: “Bahasa dan Kesusasteraan Melayu di Aceh”, yang beliau sampaikan pada Hari Sastra 1980 di Ipoh Malaysia, yang berlangsung tanggal 19 s/d 23 April 1980.
Memang sesungguhnya, jasa aksara Jawi ini tak dapat dibantah oleh siapapun, karena hal ini memang kenyataan sejarah. Tulisan Jawi bukan lagi merupakan kebudayaan asing bagi bangsa Indonesia sejak zaman dahulu, tapi sudah jadi kebudayaan sendiri bagi kita di Indonesia ini, yang dapat dikatakan sudah mendarah daging.
Maka oleh karena itu patut dipelajari oleh generasi sekarang dan generasi akan datang. Begitulah membudayanya aksara Jawi bagi bangsa Indonesia, hingga tak heranlah kalau di tiap-tiap sekolah, sejak Indonesia merdeka hingga sekitar permulaan tahun 60-an masih di “Wajibkan” untuk dipelajari.
Penulis artikel ini sendiri, pernah mempelajari huruf Jawi semasa di Sekolah Dasar (SD). Buku wajib ڤسڤا ساري (Puspa Sari), yang mewadahi mata pelajaran aksara Jawi itu, sampai hari ini masih tersimpan rapi di lemari buku saya.
Kalau ke SD Lameue, kecamatan Sakti, kabupaten Pidie, Aceh, yang buat masa 60 tahun lalu masih dianggap pelosok sekali; tapi buku ڤسڤا ساري sudah sampai juga dari Pusat-Jakarta, berarti mata pelajaran HURUF JAWI termasuk teramat penting pada masa itu.
Bandingannya, buku “muatan lokal” keacehan cukup langka di Provinsi Aceh.
Tetapi sungguh sangat disayangkan, tulisan Jawi yang telah membudaya bagi bangsa Indonesia, hanya dengan mudah saja telah dikesampingkan atau telah dibuang ke dalam “tong sampah sejarah pendidikan di Indonesia”.
Berbagai macam pelajaran baru, sekarang telah dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan di negara kita, tapi apakah sebabnya Aksara Jawi ini tidak diperdulikan lagi?,
Sementara bahasa Sanskerta dan aksaranya (aksara Nagari), masih diajarkan di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) di beberapa universitas di Indonesia.
Padahal sebenarnya di masa dulu, huruf Sanskerta tidak dikenal secara umum di Indonesia, hanya diketahui oleh ahli-ahlinya saja. Lain halnya dengan huruf Jawi, memang telah dipakai secara umum diwaktu yang lalu.
Bukankah huruf Jawi tersebut sebagai suatu tanda kebesaran dari kebudayaan bangsa kita di masa lalu? Kalau untuk memudahkan penyelidikan sejarah, bukankah prasasti-prasasti dan dokumen-dokumen sejarah banyak juga tertulis dengan aksara Jawi, di mana hingga hari ini prasasti dan dokumen itu masih banyak bertebaran di seluruh tanah air Indonesia?.
Meneruskan Politik Penjajahan
Diplomat besar dan ilmiawan agung Haji Agussalim pernah menyatakan sikap beliau dalam masalah aksara Jawi. Haji Agussalim adalah Menteri Luar Negeri Republik Indonesia pertama, dan konon menguasain 12 bahasa.
Dengan judul, yaitu “Meneruskan Politik Penjajahan”, H. Agussalim berkata: “Maka pemerintah kita dan pelbagai partai perhimpunan, perserikatan dan lembaga-lembaga masyarakat, mencurahkan usaha tenaga dan biaya untuk memberantas buta huruf Latin dan menyiarkan bacaan-bacaan dengan menggunakan huruf Latin saja.
Dengan demikian kita meneruskan politik penjajahan di masa yang lalu itu, yang sengaja hendak dihapuskan baca tulis dengan huruf Arab dan melenyapkan segala bacaan huruf Arab dari kalangan masyarakat kita.”
“Bahaya dan bencana keadaan itu untuk kebudayaan kita yang asli, dasar yang sehat untuk mencapai kemajuan kebudayaan, sesuai dengan budi pekerti dan akhlak yang menjadi pokok asli dari pada bangsa kita, patut sekali dipikirkan oleh p e m e r i n t a h dan p e m i m p i n-p e m i m p i n dan p e m u k a-p e m u k a kita semua”.
“Mungkinkah kita akan mendapatkan kemajuan kebudayaan; jika terlebih dahulu kita membiarkan luput pokok kebudayaan yang sebesar-besarnya itu?”.
Dari kutipan buku “Seratus Tahun Jejak Langkah Haji Agussalim” dengan jelas dapat kita pahami, betapa seriusnya masalah aksara Jawi menurut pendapat H. Agussalim, yang pada pokoknya mengatakan bahwa penghapusan mata pelajaran huruf Jawi ( bahasa Aceh = harah Jawoe ) dalam sistim pendidikan di Indonesia, merupakan bahaya dan bencana bagi kebudayaan bangsa Indonesia.
Memang telah jadi kenyataan sejarah, bahwa selama zaman penjajahan di Indonesia, merupakan masa penggusuran dan penggayangan besar-besaran terhadap kebudayaan bangsa kita.
Tujuan penjajah adalah untuk membina dan menanam benih-benih kebudayaan Barat pada setiap anak negeri generasi-generasi kemudian.
Politik Belanda yang demikian, bertujuan untuk mengekalkan penjajahannya di bumi Indonesia ini. Tindakan-tindakan Belanda yang mensaôh semua bidang kebudayan, bahkan sampai-sampai kepada kuburan Sultan Iskandar Muda turut dihilangkan jejaknya.
HIMBAUAN DAN HARAPAN
Demi menjunjung tinggi nilai kebudayaan yang dimiliki oleh aksara Jawi yang telah memperkaya kebudayaan Indonesia.
Warisan leluhur yang wajib kita pelihara dan junjung tinggi. Serta semestinya kita wariskan kepada generasi bangsa Indonesia yang akan datang.
Maka dengan ini penulis menghimbau serta menggugah hati kita semua; untuk memberi pikiran dan pandangan dalam masalah mengajarkan kembali aksara Jawi disekolah-sekolah dalam negara kita Republik Indonesia.
Semoga!!!.
Himbauan dan harapan ini terutama penulis tujukan kepada Panitia Perumus Pendidikan Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Menteri P & K Republik Indonesia, Rektor-Rektor Universitas, baik negeri maupun swasta,
Para Rektor IAIN seluruh Indonesia, Majelis Ulama Pusat dan Propinsi, Dewan Dakwah Indonesia, para sarjana dan ahli kebudayaan serta semua pencinta kebudayaan di seluruh pelosok tanah air!.
( Sumber: Majalah Gema Ar-Raniry, terbitan IAIN Ar-Raniry,Banda Aceh; No. 40 Tahun Ke 13, Zulkaedah 1400-Muharram 1401/Oktober-Desember 1980, halaman 11 – 12 dan 63 ).
*Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat (FHPM), Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Tingkat IV.
Catatan : Artikel ini merupakan salinan dari tulisan yang dikirim oleh Tgk. T. Abdullah Sakti.