Aksara Jawi, Siapa Peduli?
SEREMPAK dengan masuknya agama Islam ke Aceh dan Nusantara, masyarakat di wilayah ini mulai mengenali huruf Arab. Lama kelamaan dengan penyesuaian seperlunya huruf Arab itu dapat digunakan buat menulis bahasa Melayu, sehingga aksara itu disebut huruf Arab Melayu. Melalui tulisan Arab Melayu inilah selama berabad-abad para pengarang di Aceh dan Asia Tenggara telah menghasilkan beribu-ribu karya tulis mereka yang sekarang dinamakan Manuskrip Arab Melayu.
Bahasa Melayu Aceh ( yaitu dari Kerajaan Pasai) berperan penting dalam tradisi pemakaian Arab Melayu. Tak diragukan lagi ulama Aceh-lah yang telah memakai tulisan Arab Melayu secara luas dalam berbagai kitab karangan mereka. Sebab itu tulisan Arab Melayu mungkin juga telah ditaja pada awalnya oleh para ulama di Aceh. Karena tulisan ini juga mempunyai beberapa ragam (versi), maka ragam Arab Melayu yang dipakai di Aceh mungkin merupakan ragam yang tertua.
Memang tidak berlebihan bila penulis berpendapat, bahwa huruf Arab Melayu ditulis pertama kali di Aceh. Sampai sejauh ini, tulisan Jawi tertua yang sudah pernah dijumpai adalah surat sultan Aceh kepada raja Inggris.
Akibat masuknya huruf Latin yang diperkenalkan kolonial Barat, maka popularitas huruf Arab Melayu dari waktu ke waktu semakin surut. Ujung dari desakan huruf Latin itu berakibat mayoritas masyarakat Aceh dan Nusantara dewasa ini; nyaris tidak dapat lagi membaca naskah dalam huruf Arab Melayu.
Dalam usaha menyelamatkan warisan peradaban nasional itu, kini amat diharapkan munculnya upaya-upaya pelestarian manuskrip-manuskrip itu, seperti melakukan transliterasi ke huruf Latin, penterjemahan ke bahasa nasional Indonesia serta menerbitkannya; guna diedarkan kembali bagi bacaan masyarakat luas.
Upaya pelestarian inilah yang sedang penulis lakukan secara kecil-kecilan sejak tahun 1992 hingga sekarang ini.
Setiap bangsa yang sudah berkebudayaan tinggi mempunyai atau memiliki aksara (huruf) nya sendiri, karena bangsa tersebut telah pandai baca-tulis dalam kehidupannya. Dapat kita lihat sampai hari ini misalnya bangsa Korea, Jepang, Tiongkok, bangsa Arab, mereka memiliki aksara sendiri dan tetap dipelihara dan dipakai sampai hari ini, di samping itu mereka juga menggunakan aksara Latin.
Kita bangsa Indonesia telah pernah memakai berbagai macam aksara sejak dari zaman purbakala. Salah satu diantaranya yang pernah dipakai oleh bangsa kita di Nusantara ini adalah huruf Arab Melayu atau aksara Jawi.
Aksara ini merupakan suatu jenis huruf yang telah sangat berjasa dalam mempersatukan suku-suku bangsa yang mendiami tiap-tiap pulau di kepulauan Nusantara ini, sehingga karenanya sekarang telah menjelma menjadi bangsa Indonesia.
Surat menyurat dalam hubungan diplomatik antara Kerajaan-kerajaan di Nusantara, selalu menggunakan huruf Jawi yang berasal dari huruf Arab. Begitu juga para Ulama dan cerdik pandai, di zaman tersebut dalam menulis kitab/buku untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang mereka miliki dengan menggunakan tulisan Jawi, sehingga boleh dikatakan tidak seorang pun di masa itu yang buta huruf.
Di Aceh penggunaan huruf Jawi di masa itu sangat meluas. Kesusasteraan Aceh yang pada umumnya dalam bentuk puisi diucapkan atau ditulis dalam bahasa Aceh dibawah nama hikayat. Sementara sastra Aceh dalam bentuk prosa pada umumnya bersifat mantera. Juga sejumlah kitab-kitab agama ditulis dalam bahasa Aceh. Juga karya tulis dalam bahasa Melayu ditulis dengan menggunakan huruf Jawi.
Memang sesungguhnya, jasa aksara Jawi ini tak dapat dibantah oleh siapapun, karena hal ini memang kenyataan sejarah. Tulisan Jawi bukan lagi merupakan kebudayaan asing bagi bangsa Indonesia sejak zaman dahulu, tapi sudah jadi kebudayaan sendiri bagi kita di Indonesia ini, yang dapat dikatakan sudah mendarah daging.
Dalam era Indonesia merdeka, perhatian pemerintah terhadap penulisan Arab Melayu mulai tumbuh kembali, namun tidak berumur panjang. Di saat itu, pelajaran membaca dan menulis huruf Arab Melayu telah diajarkan di sekolah-sekolah pada tingkat Sekolah Dasar. Tetapi sekitar tahun 60-an pelajaran tersebut dihapuskan, yang kemungkinan besar akibat desakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sedang merajarela ketika itu.
Sebatas penulis ketahui, khusus di Aceh sejak beberapa tahun yang lalu juga diajarkan kembali tulisan Arab Melayu dengan nama Tulisan Arab Indonesia (TAI). Namun, pembelajaran ini masih perlu ditingkatkan terutama dalam bidang pengadaan buku bacaan/pedoman penulisan Arab Melayu dan memberikan pendidikan khusus bagi para guru tentang bahan pengajaran tersebut.
Perkembangan terakhir dari penulisan Arab Melayu di Aceh adalah keluarnya Instruksi Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tanggal 1 Muharram 1423 atau 16 Maret 2002, yang menggalakkan kembali penggunaan huruf Arab Jawi di Bumi Aceh Serambi Mekkah.
Sejauh pengamatan penulis, sebagian dari isi instruksi itu memang telah berjalan, khususnya penulisan nama kantor/lembaga/toko dengan menggunakan huruf Arab Melayu disamping huruf Latin. Akan tetapi penulisan Arab Melayu pada lembaga-lembaga tersebut masih salah kaprah, karena masih ada kaidah-kaidah penulisan Arab Melayu yang diabaika
Meneruskan Politik Penjajahan
Diplomat besar Indonesia Haji Agussalim pernah menyatakan sikap beliau dalam masalah huruf Arab Jawi. Haji Agussalim adalah Menteri Luar Negeri Republik Indonesia pertama, dan konon menguasain 12 bahasa.
Dengan judul, yaitu “Meneruskan Politik Penjajahan”, H. Agussalim berkata: “Maka pemerintah kita dan pelbagai partai perhimpunan, perserikatan dan lembaga-lembaga masyarakat, mencurahkan usaha tenaga dan biaya untuk memberantas buta huruf Latin dan menyiarkan bacaan-bacaan dengan menggunakan huruf Latin saja. Dengan demikian kita meneruskan politik penjajahan di masa yang lalu itu, yang sengaja hendak dihapuskan baca tulis dengan huruf Arab dan melenyapkan segala bacaan huruf Arab dari kalangan masyarakat kita.”
“Bahaya dan bencana keadaan itu untuk kebudayaan kita yang asli, dasar yang sehat untuk mencapai kemajuan kebudayaan, sesuai dengan budi pekerti dan akhlak yang menjadi pokok asli dari pada bangsa kita, patut sekali dipikirkan oleh pemerintah dan pemimpin-pemimpin dan pemuka-pemuka kita semua”.
“Mungkinkah kita akan mendapatkan kemajuan kebudayaan; jika terlebih dahulu kita membiarkan luput pokok kebudayaan yang sebesar-besarnya itu?”.
Berdasar kutipan buku “Seratus Tahun Jejak Langkah Haji Agussalim” dengan jelas dapat kita pahami, betapa seriusnya masalah aksara Jawi menurut pendapat H. Agussalim, yang pada pokoknya mengatakan bahwa penghapusan mata pelajaran huruf Jawi ( bahasa Aceh = harah Jawoe ) dalam sistim pendidikan di Indonesia, merupakan bahaya dan bencana bagi kebudayaan bangsa Indonesia.
Memang telah jadi kenyataan sejarah, bahwa selama zaman penjajahan di Indonesia, merupakan masa penggusuran dan penggayangan besar-besaran terhadap kebudayaan bangsa kita.
Dalam rangka menggalakkan kembali pemakaian huruf Arab Melayu di Aceh, Pemda Aceh perlu mewajibkan pengajaran huruf Arab Melayu (huruf Jawi) pada setiap jenjang pendidikan, baik di sekolah umum, madrasah maupun dayah-pesantren. Fasilitas yang memadai perlu disediakan secara tetap setiap tahun anggaran.
Guna menumbuhkan rasa cinta yang lebih mendalam terhadap huruf Arab Melayu, Pemda Aceh / Lembaga terkait perlu lebih sering mengadakan pameran dan lomba yang berkaitan penulisan Arab Melayu; disertai hadiah yang membanggakan bagi para pemenangnya.
Para calon pejabat eksekutif dan legislatif di Aceh tidak hanya diwajibkan mampu membaca Al-Qur’an, tetapi perlu pula diwajibkan lancar membaca dan menulis tulisan Arab Melayu/Jawoe, karena huruf Jawi yang berkembang di Nusantara itu berasal dari Aceh.
Prof. Dr. Husaini Ibrahim, MA mengirim WA kepada saya minta membantu beliau mengasuh Mata Kuliah (MK) Bahasa Sumber: Arab Melayu. Saya setuju atas saran beliau dan minta dijadwalkan masuk kuliah pada Hari Jum’at bagian sore. Hari itu, di Prodi Pendidikan Sejarah FKIP USK berlangsung rapat pembagian tugas mengajar bagi para dosen (Senin, 7 Juli 2025).
MK Bahasa Sumber: Arab Melayu sudah berlangsung lebih 20 tahun. Saat itu pihak Pusat-Jakarta megusulkan dua MK Bahasa Sumber. Satu dipakai untuk Bahasa Sumber: Bahasa Belanda yang sudah berjalan sejak lama, yang diasuh Bapak Drs. Rusdi Sufi. Sementara satu MK Bahasa Sumber lagi belum jelas dipakai untuk materi apa yang sesuai.
Pada suatu rapat pembagian tugas staf pengajar, dosen senior Drs. Muhammad Ibrahim mengusulkan MK Arab Melayu sebagai bahan bagi Bahasa Sumber yang masih kosong.
Ada peserta rapat yang bertanya, siapa pengasuhnya?. Beliau segera menjawab dengan langsung menunjuk saya menjadi Pengasuh MK Arab Melayu bersama Dra. Aisyah Muhammad.
Saat itu, hasil alih aksara hikayat dari huruf Jawi/Jawoe/Arab Melayu ke aksara Latin yang saya lakukan, sudah tujuh judul hikayat dimuat Harian Serambi Indonesia secara bersambung hingga tamat. Masa pemuatannya sekitar tiga tahun antara tahun 1992 s/d 1995 (seribu hari).
Sejak pensiun pada taanggal 1 Oktober 2019 barulah saya lepas dari tanggung jawab mengasuh MK itu. Alhamdulillah, setelah hampir enam tahun pensiun, saya diberi kesempatan kembali pulang ke habitat hobi sendiri.
Sesungguhnya, Arab Melayu bahasa Aceh-lah yang paling saya gemari, tapi tak bisa terlaksana karena mayoritas mahasiswa Prodi Sejarah FKIP USK bukan bahasa Aceh sebagai bahasa Ibunda mereka.
Nasib Malang Naskah Arab Melayu – Jawi
SELAIN akibat gempuran negara-negara penjajah, “kehancuran” huruf Arab Jawi juga disebabkan perkembangan zaman.
Sejak puluhan tahun lalu huruf Latin telah menggeser huruf Arab Melayu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh dan nusantara. Keadaan itu menyebabkan naskah-naskah lama kian kurang dibaca dan disalin ulang dan pada akhirnya akan PUNAH-habis.
Mayoritas masyarakat Aceh dewasa ini hanya bisa membaca dalam huruf Latin. Akibatnya, banyak manuskrip atau naskah lama yang tertulis dalam huruf Arab Melayu dibiarkan terlantar sekarang karena tidak bisa dibaca.
Perkembangan sarana hiburan modern juga ikut melunturkan peranan Sastra Aceh sebagai sumber hiburan masyarakat. Kehadiran industri film, radio, televisi dan media cetak
yang memberi bermacam jenis hiburan serta bahan bacaan telah menyebabkan kepopuleran naskah Arab Melayu dan naskah Sastra Aceh menurun tajam; bahkan hampir-hampir tidak ada pihak yang menghiraukannya lagi.
Kini di desa-desa, naskah Arab Melayu dan naskah Sastra Aceh jenis apa pun seperti hikayat, nadham, tambeh dan kitab-kitab agama yang ditulis dalam huruf Arab Melayu, baik yang dalam bahasa Arab, Melayu dan bahasa Aceh; hanya disimpan oleh pemiliknya di balai-balai kandang lembu, atas kandang ayam, di rak dapur (bahasa Aceh: sandeng dapu) serta di bara-bara atau para Rumoh Aceh.
Ketika Rumoh Aceh dibongkar guna dibangun “rumoh geudong”, maka hilanglah semua naskah Jawoe yang selama ini hanya dijadikan “benda azimat” yang tak pernah disentuh tangan.
Memang, sebagian besar masyarakat Aceh masih enggan membuang langsung naskah-naskah lama (manuskrip) itu, karena mereka takut pada kutukan Tuhan (bahasa Aceh: teumeureuka). Walaupun dianggap sudah memuakkan atau barang-barang yang menyemakkan,
namun mereka belum berani benar-benar membuangnya, sebab sebagian dari manuskrip-manuskrip itu masih dikeramatkan.
Beginilah, keadaan yang tengah dialami naskah-naskah lama Sastra Aceh dewasa ini. Dalam suasana konflik Aceh, tentu semakin memperburuk keadaan itu.
Dalam suasana Aceh yang kacau-balau seperti beberapa waktu yang lalu banyak penduduk desa yang mengungsi, maka semakin banyak pula naskah-naskah lama Sastra Aceh yang rusak-terbuang, tak ada yang mempedulikannya.
Begitulah kondisi nasib huruf Arab Jawi di Aceh dan Nusantara-Asia Tengara. Keadaannya sangat miris, yang membuat para pencintanya menangis. Tapi tak terbuka jalan menangkis!
Kunci buat membangkitkannya adalah menerapkannya sebagai mata pelajaran wajib di SEKOLAH dan DAYAH.
Tapi tak ada pihak yang mau menggubris dan bersusah payah. Kita hanya mampu menerima Takdir Allah!.
Catatan : Artikel ini merupakan salinan dari tulisan Tgk T. Abdullah Sakti