Pendidikan di Aceh

oleh

Prof. Dr H Safwan Idris, M. A

 

Latar Belakang

Perkembangan pendidikan di Aceh sejak berakhirnya kerajaan Aceh sampai menjelang berakhirnya masa Pembangunan Jangka Panjang Pertama pada awal 1994 merupakan refleksi dari perjalanan sejarah Aceh dalam masa itu sendiri yang penuh dengan gejolak dan perobahan-perobahan yang sangat drastis. Struktur kehidupan sosial politik masyarakat Aceh mengalami gejolak yang luar biasa sejalan dengan gejolak sejarah Aceh sejak mulai diperangi oleh Belanda pada tahun 1873. Sejak meletusnya perang tersebut, masyarakat Aceh boleh dikatakan diliputi oleh serangkaian peperangan yang sangat lama yang telah meng-hancurkan seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat termasuk lembaga pendidikannya. Perobahan yang dialami itu meliputi perobahan dari sebuah kerajaan yang berdaulat, menjadi daerah perang dan jajahan Hindia Belanda, daerah pendudukan Jepang, daerah modal dalam masa revolusi kemerdekaan dan pem-berontakan DI setelah Aceh menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak meletusnya perang tersebut pada tahun 1873, sampai setelah terjadinya perobahan struktur politik dengan kemenangan Golkar di Aceh pada tahun 1986, Aceh tidak pernah sunyi dari pergolakan bersenjata. Pendidikan yang ada di Aceh sekarang ini merupakan produk sejarah yang penuh dengan pergolakan tersebut. Pada masa kerajaan Aceh, pendidikan di Aceh dilaksanakan pada Meunasah-meunasah dan Dayah-dayah mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi. Peperangan telah membuat lembaga-lembaga ini hancur berantakan serta kehilangan guru dan murid-muridnya.

 

Setelah Belanda mulai menguasai Aceh mereka menerapkan pendidikan sistem barat di Aceh sebagaimana halnya di daerah-daerah lain di Hindia Belanda. Jepang yang mengalahkan Belanda di Nusantara ini pada awal Perang Dunia kedua juga membawa sistem pendidikan yang berbeda dengan pendidikan yang di-terapkan oleh Belanda dan disesuaikan baik dengan kebudayaan Jepang dan keadaan peperangan yang sedang berlangsung. Diatas sistem pendidikan yang ditinggalkan oleh Belanda dan Jepang itu Republik Indonesia mulai membangun sistem pendidikan baru yang bersifat nasional setelah berhasil merebut kemerdekaan dari Belanda melalui perjuangan bersenjata keras. Inilah rentetan sejarah yang mempengaruhi perkembangan pendidikan di Aceh. Diatas segalanya, sistem pendidikan tradisional yang ada tetap bertahan dan juga beradaptasi dengan sistem yang baru.

 

Sebagai produk dari suatu sejarah yang panjang dan penuh gejolak itu, pendidikan di Aceh telah mengalami perobahan-perobahan yang sangat drastis, namun sampai saat itu perjalanan dan perobahan itu masih terus berlanjut karena bentuk dan sistem pendidikan yang sudah ada sekarang dirasakan masih belum memenuhi harapan masyarakat Aceh. Bentuk dan sistem pen-didikan yang ada di Aceh sekarang ini belum merupakan suatu bentuk integral yang bersatu dan memiliki hakikat tersendiri tetapi lebih merupakan beberapa bentuk yang terpisah-pisah sebagai warisan masa pra-penjajahan, ditambah dengan model-model yang diperkenalkan selama penjajahan dan kemerdekaan dan perco-baan-percobaan baru sebagai interaksi antara bentuk-bentuk dan model-model tersebut. Mencari, merumuskan dan menerapkan suatu bentuk yang sangat diharapkan dan sesuai dengan keinginan masyarakat serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta keadaan dunia dewasa ini tentu merupakan suatu pekerjaan besar dan ini merupakan pekerjaan yang harus diselesaikan dalam masa Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua yang akan datang.

 

Usaha-usaha untuk melakukan hal tersebut sebenarnya sudah dimulai di Aceh melalui konsep kentimewaan Aceh. Keistimewaan Aceh merupakan suatu bentuk otonomi daerah yang diberikan kepada masyarakat Aceh pada tahun 1959, sebagai upaya meredakan konflik politik atau menurut istilah Dr. Nazaruddin Syamsuddin “pemberontakan kaum republik yang timbul di daerah ini pada tahun 1953. Meskipun secara struktural dan formal belum banyak yang bisa dilakukan dalam mewujudkan ke-istimewaan atau otonomi tersebut, namun otonomi tersebut telah memberikan semangat tersendiri kepada masyarakat Aceh yang dapat mendorong masyarakat Aceh memenuhi berbagai keingin-annya dalam pembangunan Aceh. Lahirnya Kota Pelajar Mahasiswa (Kopelma) Darussalam pada tanggal 2 September 1959 merupakan wujud nyata dari usaha-usaha mengintegrasikan pendidikan di Aceh dalam pelaksanaan konsep keistimewaan Aceh dalam bidang pendidikan. Darussalam dewasa ini merupakan satu-satunya kampus di seluruh Indonesia dimana perguruan tinggi umum dan agama hidup bersama-sama dalam satu kampus. Konsep keistimewaan Aceh masih tetap merupakan kesempatan besar untuk mencari, merumuskan dan menerapkan suatu bentuk dan model pendidikan yang terpadu yang sesuai dengan harapan masyarakat Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun usaha yang sudah lama dirintis tersebut belum lagi menghasilkan suatu pendidikan yang terpadu serta berkwalitas yang dapat memenuhi keinginan rakyat Aceh dan sesuai dengan perkembangan dewasa ini. Apa yang telah dilakukan sejak lahirnya Daerah Istimewa Aceh. bahkan sejak dibentuknya kembali Propinsi Aceh pada tahun 1957, masih merupakan usaha-usaha darurat dalam memberikan pendidikan kepada anggota masyarakat secara merata. Secara kwantitas, usaha-usaha pendidikan selama ini lebih terpusat pada pemerataan kesempatan pendidikan bagi seluruh anggota masyarakat terutama pada tingkat dasar. Dengan dibukanya banyak sekali Sekolah Dasar Inpress maka pengadaan dilakukan secara darurat melalui berbagai program gurupun diploma. Pendidikan tinggipun masih bersifat darurat, karena tenaga dosen yang tersedia pada umumnya masih lulusan program sarjana. Karena usaha-usaha lebih terpusat pada pemerataan, maka usaha pemaduan dan peningkatan mutu begitu ketinggalan selama ini. Karena itu pekerjaan mencari, merumuskan dan menerapkan suatu konsep baru yang memenuhi harapan dan kebutuhan merupakan suatu pekerjaan berat yang harus dilanjutkan.

 

Untuk melakukan pekerjaan ini kita perlu memahami bentuk pendidikan yang ada sekarang sebagai produk sejarah yang demikian itu. Disamping itu kita perlu juga memahami berbagai aspirasi pendidikan yang ada serta kenyataan-kenyataan yang tidak dapat dielakkan yang telah tumbuh dalam masyarakat dalam perjalanan sejarah Aceh yang penuh dengan gejolak itu. Agar pemahaman dan pengertian tersebut bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, maka keadaan pendidikan di Aceh yang telah berkembang sampai sekarang perlu dikomunikasikan kepada masyarakat. Perkembangan pendidikan di Aceh terutama sejak tahun 1959 perlu dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat. Tahun 1959 ini sangat penting karena tanggal 2 September tahun tersebut telah dijadikan sebagai tonggak bersejarah dalam kebangkitan pembangunan pendidikan di Aceh. Inilah tujuan utama dari penulisan buku ini yang dilaksanakan oleh Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Daerah Istimewa Aceh, suatu badan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah Istimewa Aceh untuk mengidentifikasikan permasalahan-permasalahan pendidik-an di Aceh secara terpadu dan menyeluruh serta merumuskan cara-cara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.

Kelahiran Lembaga ini sebenarnya mempunyai arti penting dalam mencari bentuk pendidikan yang lebih terpadu untuk Daerah Istimewa Aceh karena kelahiran lembaga ini pada hakikatnya merupakan suatu langkah dalam menjabarkan konsep diluncurkan keistimewaan Aceh. Konsep keistimewaan Aceh yang pada tahun 1959 itu memiliki tiga komponen utama yaitu keistimewaan dalam bidang agama, pendidikan dan adat istiadat. Untuk menjabarkan otonomi dalam bidang keagamaan dan pengembangan kehidupan beragama di Daerah Istimewa Aceh. Pemerintah Daerah telah membentuk lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Istimewa Aceh pada tahun 1966. Selanjutnya MUI D.I. Aceh ini dipergunakan oleh Pemerintah sebagai model untuk membentuk MUI-MUI Lain di seluruh Indonesia dan di tingkat nasional. Untuk menjabarkan keistimewaan dalam bidang adat istiadat Pemerintah Daerah Istimewa Aceh telah membentuk Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA). Disamping itu usaha-usaha memahami adat serta mengadakan festival kebudayaan telah meningkatkan kembali appresiasi masyarakat terhadap Adat dan Kebudayaan Aceh.

 

Untuk melengkapi konsep keistimewaan Aceh maka pada tahun 1990 dibentuklah Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Daerah Istimewa Aceh yang merupakan badan ketiga yang dibentuk sebagai langkah konkrit memikirkan penjabaran keistimewaan Aceh. Sebenarnya MPD ini tidak dapat dianggap sebagai badan yang pertama yang lahir sebagai penjabaran konsep keistimewaan Aceh. Dalam rangka melaksanakan pembangunan pendidikan di Aceh setelah Propinsi Aceh dibentuk kembali pada tahun 1957, terutama pada waktu mendirikan Kampus Kota Pelajar Mahasiswa (KOPELMA) Darussalam pada tahun 1959, Peme-rintah Daerah pada tanggal 26 Maret 1958 telah membentuk sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh (YDKA) Yayasan tersebut kemudian berobah nama menjadi Yayasan Pembina Darussalam (YPD). Meskipun YDKA atau YPD lahirnya sebelum kelahiran Daerah Istimewa Aceh, YPD sebenarnya sudah merupakan sebuah badan yang berusaha mewujudkan keistimewaan Aceh dalam bidang pendidikan. Bahkan kita dapat mengatakan bahwa semangat YPD-lah yang melahirkan otonomi pendidikan dalam konsep keistimewaan Aceh. Yayasan inilah yang menjadi badan sentral dalam menggerakkan dan melaksanakan pembangunan Darussalam sebagai kampus pendi-dikan secara resmi pada tanggal 2 September 1959 dan tanggal inilah yang kemudian ditetapkan menjadi Hari Pendidikan Daerah Istimewa Aceh dan diperingati setiap tahun.

 

Tetapi setelah pembangunan dan pengembangan lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang ada di Darussalam dilaksanakan oleh masing-masing Departemen secara sentral dari Jakarta, maka peranan yayasan ini menjadi begitu berkurang dan dilupakan begitu saja. Nama YPD sekarang ini hampir tidak terdengar lagi kecuali sebagai yayasan penerbit Majalah Sinar Darussalam, suatu publikasi ilmiyah yang dimulai pada tahun 1968 dan sangat berjasa dalam mempromosikan Kopelma Darussalam itu. Dengan surutnya peranan YPD ini konsep Darussalam sebagai kota pelajar mahasiswa yang terpadupun hampir seluruhnya berantakan. Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) dipindahkan dari Kampus tersebut. Dayah Tinggi Pante Kulu sebagai satu-satunya lembaga yang sepenuhnya diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Aceh mundur sedikit demi sedikit dan berubah menjadi perguruan umum swasta. Untunglah atas usaha beberapa tokoh pendiri Darussalam kehadiran IAIN Ar-Raniry di Darussalam masih dapat dipertahankan. Sekarang Pemerintah Daerah Istimewa Aceh telah membentuk MPD yang dapat diharapkan sebagai pengganti YPD yang telah mundur tersebut. Badan inilah sekarang yang ditugaskan oleh pemerintah Daerah untuk memikirkan pengembangan pendidikan di Daerah Istimewa aceh secara terpadu.

 

Kelahiran MPD merupakan kelahiran kembali keinginan masyarakat Aceh tentang pembangunan pendidikan seperti yang berkembang pada awal Pemerintah Daerah Istimewa Aceh dan MPD diharapkan dapat mewarisi semangat tersebut. Selama ini pengembangan pendidikan di Aceh dilakukan oleh badan-badan, lembaga atau instansi yang terpisah-pisah yang masing-masing mengembangkan pendidikan di Aceh ini secara terpisah-pisah sebagai hasil dari warisan dan pola pengembangan pendidikan yang muncul selama masa pergolakan tersebut yang terpisah-pisah. Tersentralisasinya kebijaksanaan pendidikan selama ini merupakan satu sebab penting bahwa pendidikan di Aceh tidak bisa diintegrasikan. Kenyataan ini pula yang menyebabkan konsep keistimewaan dalam bidang ini tidak bisa dikembangkan dengan baik. Keadaan ini dirasakan sangat merugikan perkembangan pendidikan di daerah ini karena masyarakat tidak bisa meng-konsentrasikan pilihannya dalam memilih pendidikan untuk anak-anaknya. Akibatnya banyak biaya dan tenaga yang dihabiskan dengan hasil yang tidak memadai. Dan agar perkembangan pen-didikan di daerah ini dapat diintegrasikan menjadi suatu sistem yang terpadu dan memenuhi harapan masyarakat Aceh maka tradisi yang terpisah itu perlu dipahami dan dikaji dengan sebaik-baiknya.

 

Sebelum dilanjutkan dengan uraian atau pemberian tentang tradisi pengembangan pendidikan di Aceh yang agak terpisah-pisah disini akan diberikan sedikit definisi pendidikan yang menjadi fokus dalam tulisan ini. Pendidikan disini diberi definisi sebagai usaha pewarisan nilai-nilai dalam suatu masyarakat yang dilakukan oleh orang yang dewasa terhadap orang yang belum dewasa yang melembaga dan membudaya dalam upaya meningkatkan kwalitas kehidupanya, mengembangkan dan melestarikan hasil karya, cipta dan karsanya. Pewarisan dilakukan melalui bimbingan, pelatihan, pengajaran dan sebagainya. Yang dimaksud dengan nilai-nilai disini ialah segala hasil cipta, karya dan karsa yang berharga sebagai produk kebudayaan dan peradaban manusia. Tujuan dari pe-warisan nilai-nilai tersebut ialah untuk menciptakan manusia yang dewasa dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan ma-syarakatnya yang untuk melakukannya dibutuhkan usaha-usaha yang melembaga. Konsep melembaga dipakai disini karena pada umumnya usaha-usaha yang akan dibicarakan disini adalah usaha-usaha yang memang melembaga dan sudah memasyarakat.

 

Pendidikan dapat juga didefinisikan sebagai kegiatan ewarisan nilai yang berlangsung secara alamiyah dalam keluarga dan masyarakat tanpa ada lembaga-lembaga formil yang professional dan modern yang memiliki kedudukan yang mapan dalam masyarakat. Konsep pendidikan yang demikian adalah dalam konsep yang tahap perkembangannya masih sangat primer karena dalam masyarakat primitifpun pendidikan yang demikian tetap ada. Meskipun keluarga sebagai lembaga pendidikan primer tetap essensial, dalammasyarakat modern dewasa ini usaha-usaha yang melembaga diluar keluarga menjadi topik utama mengembangkan pendidikan. Karena itulah definisi pendidikan disini menekankan pada usaha-usaha yang melembaga tanpa mengabaikan keluarga sebagai lembaga pendidikan yang primer itu. Konsep membudaya dipakai disini berdasarkan kepada anggapan bahwa suatu usaha yang melembaga mempunyai kandungan nilai-nilai budaya atau dapat mempengaruhi nilai-nilai budaya masyarakat. Misalnya pendidikan di Meunasah sebagai suatu usaha pendidikan memiliki kandungan budaya tertentu bagi masyarakat Aceh.

 

Tiga Tradisi Pendidikan

 

Ketiga tradisi pendidikan yang akan diuraikan disini merupakan produk dialektikal proses sejarah Aceh itu sendiri. Tradisi pendidikan dayah dan meunasah merupakan tradisi yang diwarisi masyarakat Aceh dari zaman kerajaan Aceh yang merupakan suatu thesis dalam tradisi pendidikan di Aceh. Tradisi pendidikan yang dikembangkan oleh Belanda dengan tradisi pendidikan barat merupakan antithesis terhadap pendidikan yang ada dalam masyarakat pada waktu itu. Perkembangan kedua macam tradisi pendidikan ini telah menciptakan dikotomi dalam masyarakat Aceh, seperti dikotomi pendidikan umum dan agama, dikotomi agama dan dunia, dikotomi dunia dan akhirat, dikotomi sekuler dan religious serta dikotomi lainnya yang mencerminkan kedua jenis usaha melembaga dalam pewarisan nilai-nilai. Untuk menghadapi dikotomi ini lahirlah berbagai usaha yang mencari jalan lain yang merupakan sintesis dari usaha-usaha yang ada. Ini merupakan tradisi ketiga yang akan terus berkembang dimasa yang akan datang sebagai hasil creatif respon masyarakat menjawab tantangan zaman.

 

Sebagai usaha yang melembaga dari masyarakat, maka pendidikan di Aceh yang sangat asli adalah pendidikan yang dilaksanakan melalui lembaga meunasah dan dayah. Dalam konsep ini termasuk juga lembaga yang disebut balé atau rangkang. Peranan meunasah dan dayah sebagai lembaga utama pendidikan dalam masyarakat Aceh bukan saja dapat kita baca dalam literatur tentang Aceh seperti buku Snouck Hurgronje, tetapi juga pada masih adanya lembaga-lembaga tersebut dalam masyarakat sampai sekarang ini. Usaha-usaha pendidikan di Aceh melalui meunasah memang sudah sangat melembaga dan membudaya, sehingga meskipun dewasa ini kita memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang baru, namun masyarakat masih tidak mau dengan serta merta melepaskan keberadaan lembaga ini. Pendidikan yang dilaksana-kan melalui meunasah merupakan pendidikan dasar bagi masyarakat Aceh. Semua kampung di Aceh memiliki meunasah yang disamping peranannya sebagai lembaga pendidikan juga mempunyai peranan kemasyarakatan lainnya. Bahkan dalam perantauanpun masyarakat Aceh tetap membangun meunasah kalau jumlah mereka sudah cukup membentuk suatu komunitas baru.

 

Dayah atau pesantren sebagai lembaga yang berasal dari masa sebelum kedatangan Belanda merupakan lembaga yang khusus menyelenggarakan pendidikan. Ditilik dari istilahnya, istilah dayah berasal dari istilah zawiyah dalam bahasa Arab yang berarti sudut. Ini disebabkan dalam tradisi Islam pendidikan danpengajaran pada mulanya dilaksanakan di sudut-sudut mesjid. Setelah lembaga yang memakai tempat di sudut-sudut ini menjadi besar maka ia diperlengkapi dengan fasilitas-fasilitas lainnya namun mesjid tetap menjadi pusatnya. Di Indonesia, atau khususnya di Aceh, konsep lembaga pendidikan tersebut nampaknya telah berinteraksi dengan baik dengan lembaga yang dulu sudah berada di nusantara ini yang berasal dari tradisi Hindu atau Budha yang dewasa ini disebut dengan pesantren. Karena asal usul pribumi tersebut, maka dayah disebut juga pesantren seperti halnya pesantren-pesantren yang ada di Jawa. Tetapi di Aceh yang telah lebih lama memiliki tradisi Islam istilah dayah lebih menonjol, mungkin karena asal usulnya Islam.

Pendidikan sistem dayah memiliki beberapa ciri penting. Ciri dayah atau pesantren yang sangat menonjol adalah pemondokan untuk santri atau murid-murid dalam satu kompleks bersama-sama 7 guru. Karena pemondokan ini, dayah disebut juga dengan pondok atau pondok pesantren. Menurut sebagian orang istilah pondok ini sendiri berasal dari bahasa Arab tinggal. Tradisi dayah untuk memberi pemondokan kepada berarti tempat santrinya masih terus berlanjut sampai sekarang meskipun ada lembaga-lembaga yang menamakan dirinya pesantren yang tidak memiliki pemondokan yang memenuhi syarat. Secara struktural pemondokan siswa ini sangat penting dalam pembinaan pendi-dikan. Pemondokan siswa bersama-sama dengan guru merupakan suatu komunitas yang sangat terpadu dimana proses pendidikan sebagai suatu proses pembentukan kepribadian dapat berjalan secara alamiyah. Ciri lainnya dari pendidikan dayah ialah pengajarannya sangat terpusat pada ilmu-ilmu agama dalam pengertian tradisional.

 

Tradisi pendidikan dayah adalah tradisi yang sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat dan dibiayai oleh masyarakat. Partisipasi pemerintah dalam pengembangan lembaga pendidikan ini masih sangat terbatas. Tradisi pendidikan yang seluruhnya dilaksanakan oleh masyarakat ini mungkin berasal dari zaman lampau dimana lembaga-lembaga ini dibangun oleh para ulama. Bahkan yang lebih menonjol lagi ialah lembaga ini pada umumnya dimiliki oleh perorangan sehingga lembaga pendidikan ini sangat peka terhadap berbagai perobahan dalam masyarakat. Kesinam-bungan pendidikan modal dayah semata-mata karena akar budayanya yang sudah begitu mendalam dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana akan diuraikan dalam satu bab tersendiri selanjutnya, pendidikan tradisi dayah memang mengalami berbagai perobahan dan nampaknya sedang mendapat momentum baru dewasa ini. Ini nampaknya terkait dengan perbaikan standard ekonomi masyarakat, sehingga mereka lebih mampu memberikan biaya kepada pendidikan dengan model ini.

 

Belanda yang mulai menguasai Aceh sejak dekade kedua abad kedua puluh tidak melanjutkan sistem pendidikan dayah di Aceh. Pendidikan sistem sekolah yang sudah diterapkannya di daerah-daerah lain yang lebih dahulu dikuasainya, dikembangkan juga di Aceh. Pemerintah Hindia Belanda mulai mengembangkan sekolah di Indonesia pada pertengahan abad ke 19. Pada tahun 1849 untuk pertama kalinya pemerintah Hindia Belanda mendirikan Sekolah Dasar tiga tahun dan Sekolah Guru pada tahun 1852. Pada tahun 1854 sebuah Peraturan Organik dikeluarkan yang menugaskan kepada pemerintah kolonial untuk menyediakan pendidikan bagi anak-anak pribumi. Pada tahun 1867 Departemen Pendidikan didirikan dan sejak itu jumlah Sekolah Dasar untuk anak-anak Indonesia bertambah dengan cepat sehingga pada tahun 1892 jumlah anak-anak Indonesia pada sekolah tersebut sudah mencapai 52.700 orang. Pada tahun 1893 Belanda memperkenalkan dua macam sekolah lagi yaitu Sekolah Klas I (Eerste Klasse) untuk anak-anak golongan aristokrat dan orang kaya, dan Sekolah Klas II (Tweede Klasse) untuk anak-anak orang biasa. Pada tahun 1907 Belanda mendirikan Sekolah Desa (Volksschool) yang merupakan suatu terobosan karena buat pertama kali sistem pendidikan Barat diperkenalkan kepada masyarakat luas (mass).

 

Menurut statement yang ditulis dalam buku 10 Tahun Darussalam dan Hari Pendidikan Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang diterbitkan oleh Yayasan Pembina Darussalam pada tahun 1959, untuk daerah Aceh, pendidikan model barat pertama sekali diterapkan oleh Belanda adalah di Singkil, yang berdekatan dengan Tapanuli dimana pendidikan model Belanda sudah lebih dahulu diterapkan. Setelah kekuasaan Belanda bertambah kuat maka sekolah-sekolah Belanda pun mulai dibangun di Aceh. Sekolah-sekolah Belanda pada tingkat Dasar meliputi Volksschool (Sekolah Desa), Inlandsche Vervolgschool (Sekolah Bumiputra Lanjutan). Meisjesschool (Sekolah Puteri), Vervolgschool-met Nederlandsch (Sekolah Lanjutan dengan Bahasa Belanda), Vervolgschool met Landbouwklas (Sekolah Lanjutan dengan Klass Pertanian). Hollandsch Inlandsche School (Sekolah Dasar Belanda untuk Bumiputra), Europeesche Lagere School (Sekolah Dasar untuk Anak-anak Eropah), Hollandsch Chinese School (Sekolah Dasar Belanda untuk Cina), dan beberapa jenis sekolah lainnya. Pada tingkat menengah Belanda mendirikan MULO di Kutaradja yang merupakan satu-satunya sekolah menengah pada waktu itu. Pada zaman Jepang semua sekolah-sekolah dasar itu dijadikan Kokumin Gakko (SekolahN egara) yang masa belajarnya enam tahun.

 

Dari tradisi baru yang telah dimulai oleh Belanda dan dirobah oleh Jepang itulah timbul tradisi baru pendidikan di Aceh. Sekolah-sekolah tersebut pada zaman Belanda bukan hanya didirikan oleh Pemerintah kolonial, tetapi juga oleh organisasi-organisasi masyarakat Indonesia seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah. Dari tradisi tersebutlah lahirnya Sekolah Rakyat (SR) yang kemudian menjadi Sekolah Dasar (SD). Demikian juga lahirnya Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan sekolah-sekolah kejuruan lainnya. Sesuai dengan tradisi yang dikembangkan oleh Belanda sekolah-sekolah ini menekankan pendidikan umum yaitu pendidikan untuk kebutuhan praktis warga masyarakat. Dalam konsep kebutuhan praktis ini termasuk kebutuhan akan pegawai pemerintah dan swasta serta kebutuhan kepada tenaga terampil untuk menjalankan berbagai usaha. Dari tradisi inilah nampaknya berkembangnya orientasi menjadi pegawai dalam dunia pendidikan seperti yang masih dirasakan dewasa ini.

 

Kehadiran tradisi pendidikan barat di Aceh yang dibawa oleh Belanda menimbulkan berbagai reaksi dalam masyarakat Aceh. Ada segolongan masyarakat yang sangat menentang sistem pendidikan tersebut sampai menyatakan bahwa mengikuti pendidikan di sekolah akan menjadi kafir. Golongan ini masih tetap mendidik anak-anak mereka melalui pendidikan tradisionil yaitu pendidikan dayah atau pesantren. Tetapi sangat banyak juga anggota masyarakat yang menunjukkan tanggapan yang positif terhadap pendidikan sistem barat tersebut, dan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah tersebut dan kemudian menjadi pegawai negeri. Bahkan setelah masyarakat Aceh, sepertinya masyarakat Indonesia lainnya, memperoleh pendidikan model barat tersebut, banyak juga yang menyatakan bahwa Belanda sangat melalaikan pembangunan pendidikan di Aceh. Memang, karena perang yang berkepanjangan, Belanda tidak sempat membangun Aceh sebagaimana di wilayah wilayah lainnya. Tetapi setelah pendidikan model barat ini diteruskan oleh pemerintah Indonesia, ulama pesantren pun sudah mulai memasukkan anak-anak mereka ke pendidikan sekolah ini.

 

Meskipun dapat menerima sistem pendidikan barat atau umum tersebut, masyarakat Aceh pada umumnya, terutama dari kalangan ulama tidak puas dengan pendidikan tersebut karena tidak memasukkan pendidikan agama. Meskipun pada masa kemerdekaan pendidikan agama dimasukkan ke dalam sistem pendidikan umum tersebut masyarakat masih belum puas dengan porsi yang diberikan kepada pendidikan agama. Untuk mengatasi hal ini maka lahirlah tradisi ketiga dalam perkembangan pen-didikan di Aceh yaitu tradisi mengawinkan pendidikan agama dan umum dalam suatu lembaga baru yang dewasa ini disebut madra-sah. Tidak dapat dibantah bahwa tradisi ini lahir dari adanya appre-siasi masyarakat terhadap sistem pendidikan yang dikembangkan oleh Belanda dan diteruskan setelah kemerdekaan, tentu dengan penyesuaian-penyesuaian. Karena adanya appresiasi tersebutlah maka pada zaman Belanda pun sudah banyak tokoh-tokoh yang meniru sistem pendidikan Belanda dan memasukkan pendidikan agama Islam dalam kelembagaannya. Di antara tokoh-tokoh tersebut terdapatlah Tgk. Muhammad Daud Beureueh, Tgk. Abdurrahman Meunasah Meutjap, Tgk. Sjech Ibrahim, dan tentu ada lagi variasi-variasinya seperti pesantren atau dayah terpadu, namun pokoknya tetap pada tradisi yang tiga macam ini. Masing-masing tradisi ini telah tumbuh berkembang atau bertahan dengan kondisinyamasing-masing. Tradisi dayah, sebagai lembaga yang dilaksanakan penuh oleh masyarakat masih menghadapi berbagai kendala terutama dalam pembinaan pengembangan dan pembaharuan kelembagaannya. Tradisi sekolah telah berkembang dengan berbagai variasi mulai dari dasar sampai lembaga pendidikan tinggi. Demikian juga, tradisi madrasah yang makin kukuh landasan formalnya sudah memiliki lembaganya sampai tingkat tinggi dalam bentuk IAIN di seluruh Indonesia. Ketiga tradisi ini sebenarnya bukan saja terdapat di Aceh, tetapi kehadiran tradisi-tradisi ini di Aceh, memang benar-benar merupakan produk sejarah Aceh itu sendiri.

Sebenarnya masyarakat Aceh tidak puas dengan tradisi-tra-disi yang terpisah-pisah ini, namun usaha mengembangkan satu tradisi atau model yang memuaskan semua pihak nampaknya masih sangat jauh. Kalangan dayah belum begitu mau agar dayah-dayah dirobah saja agar sesuai dengan madrasah atau sekolah. Kalangan madrasahpun tidak ingin tradisi ini dihapuskan saja apalagi sekarang ini telah mendapat landasan formil yang lebih kuat. Demikian juga perobahan sekolah sangat terikat dengan sistem nasional, karena apabila sekolah dirobah di Aceh, dia akan berbeda dengan sekolah secara nasional. Pada tahun 1967 dan 1968 sudah mulai dirintis usaha-usaha mengintegrasikan kurikulum madrasah dan sekolah pada tingkat dasar. Tetapi karena kendala sen-tralisasi usaha ini belum mendatangkan hasil. Yang nampaknya sudah agak berhasil ialah memadukan antara pendidikan madrasah dan dayah atau antara sekolah dan dayah, atau bahkan antara ketiganya seperti yang terlihat dalam pengembangan beberapa pesantren terpadu di Aceh. Nampaknya model yang mudah penyesuaian ini akan mudah dikembangkan sebagai satu model yang lebih sesuai bagi semua di masa yang akan datang.

 

Organisasi dan Kepemimpinan

Disamping melihat dari segi tradisi seperti yang diuraikan di atas, pendidikan di Aceh dapat juga dilihat dari segi organisasi yaitu pendidikan sebagai usaha bersama dan melembaga. Dilihat dari segi ini pendidikan di Aceh dengan tiga tradisi tersebut diatas masih belum terpadu dan masih bergerak sendiri-sendiri. Dalam pelaksanaan usaha-usaha pendidikan yang bersifat melembaga organisasi pendidikan sebagai wujud kebersamaan dalam me-laksanakan pendidikan masih menghadapi kendala-kendala birokrasi dan sentralisasi. Sebagai usaha bersama pelaksanaan pendidikan melibatkan banyak sumber daya manusia, sarana, sistem pelaksanaannya, sistem pembiayaan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan pendidikan. Agar tercapainya effisiensi dan hasil maksimum, pengerahan sumber daya dan sumber dana dan sarana perlu diorganisasikan dengan baik sehingga kesenjangan dapat dihindari baik kesenjangan karena kekurangan maupun karena kelebihan sumber. Sistem birokrasi sangat menentukan apakah pengerahan ini dapat dilakukan dengan baik, effektif dan effisien dan ini merupakan pensyaratan utama keberhasilan pendidikan ditinjau dari segi administrasi dan managemen.

Aspek yang paling penting dalam organisasi pendidikan ini ialah adanya suatu kepemimpinan yang effektif dalam pelaksanaan pendidikan. Salah satu persoalan penting dalam pengembangan pendidikan di Aceh ialah menentukan siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap perkembangan pendidikan di Aceh, baik pendidikan sekolah, pendidikan madrasah ataupun pendidikan dayah. Sebagai penguasa tunggal di daerah dan sebagai Kepala Daerah, Gubernur Kepala Daerah pada dasarnya memegang tanggung jawab integral terhadap perkembangan pendidikan di Daerah Istimewa Aceh secara keseluruhan. Tetapi karena sistem pendidikan kita yang masih sentralistis, peranan yang bisa dimainkan oleh Gubernur sebagai Kepala Daerah sangat terbatas, baik dari segi kebijaksanaan maupun dari segi penerapan dan pembiayaan. Dengan dibentuknya MPD sebagai badan non-struktural dari Pemerintah Daerah Istimewa Aceh diharapkan Kepala Daerah dapat memberikan suatu kepemimpinan integral terhadap perkembangan pendidikan di Aceh secara keseluruhan karena Badan ini mewakili dan bertanggung jawab kepada Gubernur Kepala Daerah. Karena itu berfungsinya Majelis Pendidikan Daerah sebagai organisasi bersama untuk seluruh menentukan bagi ter-kegiatan pendidikan di Aceh, sangat integrasinya pendidikan di Aceh dalam bidang organisasi.

 

Sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989, tentang Sistim Pendidikan Nasional, tanggung jawab utama pelaksanaan pendidikan terletak pada Departemen Pendidikan dan Kebu-dayaan Di Daerah Istimewa Aceh, secara struktural Departemen tersebut diwakili oleh Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Ini berarti Kanwil Dikbud tersebut merupakan pemegang tanggung jawab utama pelaksanaan pendidikan di Aceh. Tetapi dalam kenyataannya, konsep tersebut tidak dapat diwujudkan. Misalnya instansi tersebut tidak memiliki wewenang memikirkan pengembangan lembaga pendidikan tinggi seperti Universitas Syiah Kuala, dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi swasta lainnya. Demikian juga instansi tersebut tidak me-miliki wewenang untuk membina pendidikan yang dilaksanakan di madrasah-madrasah dan dayah-dayah. Bahkan wewenang instansi tersebut terbatas pada pendidikan menengah baik umum maupun kejuruan, kepemudaan dan program-program pendidikan luar sekolah. Program program lainnya menjadi tanggung jawab badan-badan lain secara otonom dan bertanggung jawab pada instansi pusat. Disamping Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan, untuk tingkat dasar pendidikan dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Sesuai dengan struktur yang berlaku instansi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan ini berada dibawah Gubernur Kepala Daerah dan bertanggung jawab kepadanya. Ini berarti Dinas Pendidikan dan Kebudayaan berada dalam lingkup Departemen Dalam Negeri. Kedudukan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang demikian itu kelihatannya mencerminkan otonomi daerah dalam pendidikan dasar dimana Gubernur dapat mengatur pendidikan Dasar. Tetapi dalam kenyataannya substansi pendidikan dasar masih tetap diatur oleh Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan. Karena hal-hal inilah misalnya Instruksi Gubernur No. 2 Tahun 1990 tentang Wajib Dapat Membaca Al-Qur’an bagi lulusan Sekolah Dasar serta kebijakan lainnya tentang peningkatan pendidikan agama dan adat istiadat serta Bahasa Aceh di Daerah Istimewa Aceh agak sulit dilak-sanakan. Demikian juga kebijakan Gubernur Kepala Daerah tersebut juga tak luput dari kritikan-kritikan, mungkin karena dianggap wewenang Gubernur adalah dalam bidang organisasi semata dan tidak menyangkut bidang materi pendidikan.

 

Pendidikan sistem madrasah diorganisasikan oleh Departemen Agama, yang dalam hal ini oleh Kanwil Departemen Agama Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Tetapi karena Kanwil Departemen Agama ini bukan saja mengurus madrasah, tetapi juga mengurus lembaga-lembaga dan kegiatan-kegiatan agama lainnya maka madrasah ini hanya diurus oleh satu bidang saja dari Kanwil Departemen Agama. Selanjutnya bidang ini mengurus madrasah mulai Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah sampai Madrasah Aliyah. Ini sangat berbeda dengan pendidikan sekolah yang diurus oleh Kanwil dan Dinas Pendidkkan dan Kebudayaan dimana Dinas dan Kanwil masing-masing mengurus Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah baik Pertama maupun Lanjutan Atas saja. Dari segi birokrasi hal ini menjadi satu sebab tidak terurusnya pendidikan madrasah dengan baik, karena volume kerja satu bidang dianggap tidak seimbang dengan volume kerja satu kanwil atau satu dinas. Demikian juga staff yang tersedia dalam pelaksanaan suatu bidang pada kanwil tentu tidak sebanding dengan staff yang tersedia pada kanwil atau dinas. Ini merupakan kendala struktural yang sangat penting dalam pengembangan madrasah dewasa ini.

 

Akan tetapi dengan keluarnya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta beberapa Peraturan Pemerintah (PP) serta Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, maka secara formal permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan sistem madrasah sudah bisa diatasi. Dalam istilah Dedi Supriadi, “Pelita VI akan membuka babak baru bagi lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah naungan Departemen Agama dan ini disebabkan oleh terjadinya perubahan struktural dalam pendidikan di Indonesia dengan keluarnya beberapa peraturan baru tersebut. Dalam beberapa ketentuan dari per-undang-undangan baru tersebut pendidikan madrasah dianggap sebagai pendidikan yang memiliki ciri khas yang disahkan oleh Undang-undang. Seperti dikemukakan dalam pasal 10 PP, No. 28. Tahun 1990, dan pasal 11 PP No. 29 Tahun 1990, maka pendidikan sistem madrasah sebagai sistem pendidikan yang berciri khas Islam akan diselenggarakan oleh Departemen Agama Dengan per-undang-undangan baru ini maka kedudukan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah menjadi lebih kuat kedudukannya.

 

Berbeda dengan pendidikan madrasah dan sekolah yang diorganisasikan oleh Pemerintah melalui kanwil dan dinas seperti tersebut diatas, pendidikan dayah yang seluruhnya dilaksanakan oleh masyarakat belumlah memiliki organisasi yang baik. Memang untuk memikirkan kepentingan pembangunan dan pengembangan pendidikan dayah ini, ulama-ulama dayah telah mendirikan sebuah organisasi yang disebut Persatuan Dayah Inshafuddin, pada tahun 1968¹8. Disamping organisasi tersebut, Kanwil Departemen Agama juga mencatat perkembangan dan pengembangan lembaga pendi-dikan ini melalui Bidang Pendidikan yang ada pada kantor tersebut. Tetapi lembaga pendidikan dayah lebih banyak ber-kembang secara sendiri-sendiri mengikuti tradisi yang sudah lama berkembang. Karena lembaga-lembaga ini dibangun secara sendiri-sendiri oleh ulama-ulama dayah, lembaga-lembaga ini lebih bersifat independen, dan sebagaimana yang dialami oleh Persatuan Dayah Inshafuddin, masih memerlukan waktu untuk meng-organisasikan lembaga-lembaga ini sehingga menjadi suatu usaha bersama yang saling mendukung. Sebagai organisasi yang didirikan oleh ulama-ulama dayah, organisasi ini, meskipun masih bersifat silaturrahmi, juga sudah berkembang menjadi forum bersama dalam pengembangan dan menjaga kepentingan pendidikan dayah di Aceh.

 

Disamping organisasi dan instansi-instansi di atas, masih ada beberapa organisasi lain yang menyelenggarakan pendidikan di Aceh seperti Muhammadiyah, Sarekat Islam, Taman Siswa dan Yayasan-yayasan swasta lainnya. Namun dalam pelaksanaan pendidikannya, semua organisasi ini merujuk kepada organisasi-organisasi atau instansi-instansi tersebut diatas sebagai jama’ahnya dalam kegiatan pendidikan. Sekolah-sekolah Muhammadiyah, misalnya, merujuk kepada Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan atau Dinas Pendidikan dan Kebudayaan karena menyelenggarakan pendidikan sistem sekolah. Beberapa pesantren terpadu misalnya merujuk kepada Kanwil Departemen Agama karena menyeleng-garakan pendidikan model madrasah yang dipadukan dengan dayah. Perujukan tersebut merupakan refleksi dari sistem pendidikan yang berlaku sekarang ini, dimana pendidikan harus mengikuti pola-pola yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Sayangnya karena pola pendidikan dayah atau pesantren belum ada perundang-undangannya, atau belum dimasukkan secara formil sebagai bagian dari asset pendidikan Indonesia maka sistem pendidikan dayah ini masih sangat tertinggal penanganannya. Pada tingkat tinggi, meskipun universitas-universitas dan institut yang ada di Daerah Istimewa Aceh pada umumnya bersifat otonomi, namun lembaga-lembaga itu sangat sentralistis sifatnya. dan sangat sedikit wewenang pemerintah daerah atau instansi di daerah terhadap lembaga-lembaga tersebut. 

 

Pengembangan Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry sangat tergantung pada kebijakan dari masing-masing Departemen di Pusat. Sedangkan pengembangan perguruan-perguruan tinggi swasta diatur oleh Departemen di Pusat melalui sebuah instansi yang disebut KOPERTIS untuk perguruan tinggi umum di bawah Depdikbud dan KOPERTAIS untuk perguruan tinggi agama yang merujuk kepada Departemen Agama. Untuk perguruan tinggi umum, KOPERTIS berkedudukan di Medan yang membawahi Sedangkan instansi dan Sumatera Utara. wilayah Aceh KOPERTAIS masih berkedudukan di IAIN Ar-Raniry sehingga pengembangan perguruan tinggi agama di Aceh masih melekat sekali dengan keberadaan IAIN Ar-Raniry sebagai lembaga pendidikan tinggi Agama di Aceh. Pada tingkat tinggi ini hanya ada dua tradisi pendidikan saja yaitu pendidikan sistem sekolah yang bernaung di bawah Depdikbud, dan pendidikan sistem madrasah yang berintikan IAIN dan bernaung dibawah Departemen Agama.

 

Catatan Kaki

  1. Tentang Perang Aceh lihat misalnya Paul van’t Veer, Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Jakarta, Grafiti Press, 1985.
  2. Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh”, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1990. 
  3. Safwan Idris, “Fakta dan Problema Pendidikan di Aceh Selama 30 Tahun”, makalah disampaikan pada Seminar Pendidikan Dalam Rangka Peringatan 30 Tahun Hari Pendidikan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, 1989, hal. 8. 
  4. 10 Tahun Darussalam dan Hari Pendidikan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, Yayasan Pembina Darussalam, 1969, hal. 89-90. (selanjutnya disebut 10 Tahun Darussalam). 
  5. Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Jakarta, Yayasan Soko Guru, 1985, hal. 68-71 (jil. I), dan 1-34 (Jil. II)
  6. Muslim Ibrahim MA, Dr. Tgk. H., “Pengembaraan Kebudayaan Aceh di Luar Tanah Ranahnya”, Makalah disampaikan pada Simposium Islam dan Kebudayaan Indonesia, Dulu, Kini dan Esok, Festival Istiqlal, Jakarta, 21-24 Oktober 1991. 
  7. Appresiasi Dayah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam di Aceh, Hasil Seminar Dayah Inshafuddin, banda Aceh, 4 sd. 6 September 1987, P.B. Inshafuddin, Banda aceh, 1987, hal. 9-10. 
  8. Van der Veur, Paul W., Education and Social Change in Colonial Indonesia, I: Progress and Procrastination in Education in Indonesia Prior to World War II, Ohio, Ohio University, Center for International Studies, 1969, hal. 1-2. 
  9. 10 Tahun Darussalam, hal. 328. 
  10. Ibid, hal. 369-374, dan hal. 402. 
  11. Ibid, hal. 371 dan Nazaruddin Syamsuddin, Ibid, hal. 21. 
  12. Nazaruddin Syamsuddin, Ibid, hal. 20-21. 
  13. 10 Tahun Darussalam, hal. 403-405. 
  14. 10 tahun Darussalam, hal. 394. 
  15. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, 1989. 
  16. Dedi Supriadi, :Transformasi Lembaga Pendidikan Islam”, SUARA KARYA, 29 Desember 1993, No. 6906, Th. XXIII. 
  17. Ibid.
  18. Persatuan Dayah Inshafuddin, Himpunan Hasil-Hasil Mubes III, Banda Aceh, 1986, hal. 12.
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments