Lompat ke konten

Transformasi Pendidikan Dari Sekolah Penggerak

Program Sekolah Penggerak (PSP), yang diluncurkan dengan semangat transformatif pada 2021, menjadi bukti ambisi Indonesia dalam mendobrak stagnasi sistem pendidikan melalui pendekatan inovatif. Selama empat tahun, program ini menjangkau 18.872 satuan pendidikan, dari PAUD hingga SLB, dengan intervensi holistik: pendampingan konsultatif, penguatan SDM, penerapan Kurikulum Merdeka, digitalisasi sekolah, serta pendanaan berbasis data. Upaya ini patut diapresiasi sebagai langkah progresif untuk menjawab tantangan kualitas pendidikan yang timpang.

 

Namun, keputusan penghentian PSP melalui Kepmendikbudristek No. 14/2025 mengundang refleksi mendalam. Alasan “ketidaksesuaian dengan perkembangan hukum dan layanan pendidikan bermutu” perlu dibaca secara kritis. Di satu sisi, dinamika kebijakan memang menuntut adaptasi, tetapi di sisi lain, penghentian mendadak program yang melibatkan ribuan sekolah—di mana hanya angkatan pertama yang tuntas—menimbulkan kegamangan. Bagaimana nasib investasi sumber daya, harapan, dan komitmen angkatan kedua dan ketiga yang terhenti di tengah jalan? Keprihatinan para kepala sekolah yang merasa “terlantar” adalah alarm penting: reformasi pendidikan memerlukan konsistensi dan keberlanjutan, bukan sekadar eksperimen kebijakan yang terputus.

 

PSP telah menorehkan warasan positif, khususnya dalam mempercepat Kurikulum Merdeka dan membangun ekosistem sekolah berpemikiran maju. Tetapi, penghentiannya mengingatkan kita pada risiko policy discontinuity yang kerap menggerus kepercayaan publik. Pertanyaan mendasar mengemuka: bagaimana mekanisme evaluasi program sebesar PSP dilakukan? Apakah dampak jangka panjang dan pembelajaran dari sekolah-sekolah angkatan pertama telah dijadikan pijakan untuk merancang transisi yang mulus?

 

Ke depan, sekolah-sekolah PSP diharapkan tetap menjadi lighthouse bagi transformasi pendidikan, meski tanpa payung program resmi. Ini adalah ujian bagi kemandirian institusi pendidikan dan komitmen kolektif untuk menjaga api inovasi tetap menyala. Pemerintah perlu memastikan bahwa penghentian PSP tidak menjadi akhir dari upaya reformasi, melainkan awal dari kebijakan yang lebih matang, inklusif, dan berkelanjutan. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk merancang program yang tidak hanya visioner, tetapi juga memiliki exit strategy terukur, sehingga perubahan sistemik benar-benar tertanam—bukan sekadar hingar-bingar proyek temporer.

 

Pada akhirnya, PSP mengajarkan bahwa transformasi pendidikan bukanlah lari cepat, tetapi maraton yang membutuhkan konsistensi, evaluasi adaptif, dan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan. Semoga langkah ke depan lebih bijak: memetik pelajaran dari PSP, lalu melangkah dengan pijakan yang lebih kokoh.

 

4 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x