Lompat ke konten

Peran Tulisan Jawi di Indonesia (2)

Gempuran Bangsa Barat terhadap Huruf Jawi – Jawoe di Asia Tenggara

 

ABAD ke-16, 17 bangsa Eropa mulai berdatangan ke Asia Tenggara. Dari waktu ke waktu sampai ke abad ke-20, mereka semakin merata berada di berbagai negeri di Nusantara. Akhirnya semua Negeri secara umum berkebudayaan Melayu telah menjadi jajahan dari bangsa Barat.

 

Kesemua bangsa penjajah itu, yaitu Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Perancis dan Amerika Serikat adalah bangsa-bangsa yang tidak memakai huruf Arab (Arab Melayu) dalam penulisannya. Mereka memiliki huruf sendiri yang berasal dari peradaban Yunani-Romawi, yaitu huruf Latin.

 

 

Sejak itu, peranan huruf Arab Melayu secara berangsur-angsur terus berkurang dalam kehidupan orang-orang pribumi. Sebab, para penjajah memaksakan huruf Latin kepada rakyat di Nusantara ini melalui lembaga-lembaga pendidikan yang dibangun mereka.

 

Khusus di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), penggusuran secara besar-besaran huruf Arab Melayu baru secara resmi terjadi pada tahun 1901. Ketika itu, pada tanggal 1 Januari 1901, Raja Belanda Ratu Welhelmina mengeluarkan Dekrit tentang Politik Etis dalam sistem penjajahan di Hindia Belanda.

 

Politik “balas budi” itu antara lain memberikan pendidikan modern ala Barat kepada anak negeri jajahan Belanda. Karena itu, dibangunlah beribu-ribu tempat pendidikan umum di seluruh Hindia Belanda dengan memakai huruf Latin dalam penulisannya.

 

Jauh sebelumnya, pada abad ke 16 upaya menggeser peran huruf Arab Jawi telah dilakukan oleh pihak tertentu.

 

Hal ini secara langsung telah menjatuhkan martabat huruf Arab Melayu dalam pandangan sebagian pribumi. Tinggallah Dunia Pesantren, Surau dan Pondok (Dayah di Aceh) sebagai benteng terakhir, sehingga penulisan Arab Melayu masih kekal lestari hingga saat ini.

 

Sebagai bukti, perpustakaan Dayah Tanoh Abee Seulimum, Aceh besar, masih memiliki beribu-ribu naskah kitab lama (Perpustakaan Tanoh Abee, Buku I, 1980).

 

Kemunduran bagi penulisan Arab Melayu di Aceh lebih kemudian. 

Ketika Belanda sedang menggayang huruf Arab Melayu secara gencar di daerah-daerah lain- lewat pendidikan ala Barat, malah di Aceh (thn 1901), Belanda sedang bertempur habis-habisan melawan rakyat Aceh, yang telah di tempa dengan baris-baris tulisan Arab Melayu, yakni Hikayat Prang Sabi (Hikayat Perang Sabil).

 

Akhirnya para ilmuan Belanda yang dipelopori Snouck Hurgronje berusaha mempelajari karya-karya berhuruf Arab Melayu milik orang Aceh guna mengetahui jalan “lurus” mengalahkan perlawanan orang Aceh sendiri (Snouck Hurgronje, 1985).

Tidak kurang 600 naskah Jawi/Jawoe (Arab Melayu bahasa Aceh) telah dialihkan ke huruf Latin saat itu. (Lihat; Majalah Tempo, 23-39 Juli 2006: 70).

 

Dalam pengamatan saya paling akhir, upaya Belanda mengikis peran huruf Jawi sampai menyentuh “Hikayat Aceh”, yang isinya tentang keperkasaan Sultan Iskandar Muda. Sebagian besar isi hikayat itu telah hilang entah kemana. Hanya tinggal kisah masa kakek-kakek Sultan Iskandar Muda dan cerita masa kecil beliau. Hikayat Aceh pada 24 Mei 2023 telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia (Memory of the World).

 

Dalam penyalinan Hikayat Prang Gompeuni, yang disyairkan Syekh Do Karim, Keutapang Dua, campur tangan Snouck Hurgronje cukup menyolok; telah mengkerdilkan peran para tokoh Aceh, terutama Sultan Aceh yang melawan Belanda.

 

 

Tentang strategi perang akal budi” yang ditempuh Belanda ini, Prof. Madya. DR. Muhammad Yusof Hashim dari jabatan Sejarah Universiti Malaya menulis : Bayangkan saja bagaimana Malaicus Snouck Hurgronje mengguna dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya naskah-naskah Melayu yang ada di Aceh pada penghujung abad ke-19 bagi meneliti “hati budi dan nurani” penduduk-penduduk Aceh sehingga Aceh berjaya ditakluki oleh Belanda setelah bertungkus-lumus dan berhempas pulas kuasa penjajah ini gagal menawan dan menjajah Aceh melalui saluran diplomatik, perang urat saraf dan paksaan senjata”.

 

Sebuah pengumuman/maklumat Residen Aceh di tahun 1948 secara langsung juga ikut menggusur huruf Arab Melayu. Isi pengumuman tentang syarat-syarat pemilihan anggota Dewan Kota/DPR Kutaraja saat itu, antara lain berbunyi :

 

Yang berhak dipilih untuk menjadi anggota Dewan Kota adalah bangsa Indonesia, berumur 25 tahun ke atas, tahu membaca dan menulis haruf Latin, tidak dalam tahanan preventif atau dalam menjalani hukuman, dalam keadaan berpikir sehat, dan sekurang-kurangnya 1 tahun terus-menerus telah menjadi penduduk Haminte Banda Aceh”.

 

Dalam era Indonesia merdeka, perhatian pemerintah terhadap penulisan Arab Melayu mulai tumbuh, namun tidak berumur panjang. Di saat itu, pelajaran membaca dan menulis huruf Arab Melayu telah diajarkan di sekolah-sekolah pada tingkat Sekolah Dasar (SD).

 

Tetapi sekitar tahun 60-an pelajaran tersebut dihapuskan, yang kemungkinan besar akibat desakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sedang merajarela ketika itu.

Sebatas penulis ketahui, khusus di Aceh sejak beberapa tahun yang lalu juga diajarkan kembali tulisan Arab Melayu dengan nama Tulisan Arab Indonesia (TAI).

 

Namun, pembelajaran ini masih perlu ditingkatkan terutama dalam bidang pengadaan buku bacaan/pedoman penulisan Arab Melayu dan memberikan pendidikan khusus bagi para guru tentang bahan pengajaran tersebut.

 

 

Perkembangan lanjutan dari penulisan Arab Melayu di Aceh adalah keluarnya Instruksi Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tanggal 1 Muharram 1423 atau 16 Maret 2002, yang menggalakkan kembali penggunaan huruf Arab Jawi di Bumi Aceh Serambi Mekkah.

 

Sejauh pengamatan penulis, sebagian dari isi instruksi itu memang telah berjalan, khususnya penulisan nama kantor/lembaga/toko dengan menggunakan huruf Arab Melayu disamping huruf Latin.

 

Akan tetapi penulisan Arab Melayu pada lembaga-lembaga tersebut belum memadai, karena masih ada kaidah-kaidah penulisan Arab Melayu yang diabaikan.

 

Perkembangan terkini, huruf Arab Melayu atau Jawi alias Jawoe, kini sudah digusur di kantor dan pertokoan di Aceh.

 

Instruksi PJ Gubernur Aceh Achmad Marzuki beberapa tahun lalu (tahun 2023) mengenai “Aksara Aceh” juga gagal terlaksana!. Hal ini akibat beliau sudah digantikan PJ. Gubernur Aceh yang lain.

.

 

Catatan : Artikel ini merupakan salinan dari kiriman Tgk T. Abdullah Sakti .

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x