Insya Allah, 18 Mei 2025 genaplah dua tahun pengakuan Unesco terhadap Hikayat Aceh sebagai Warisan Budaya Dunia.
Sejauh yang saya amati, belum pernah tersiar sambutan pihak Aceh akan penghargaan Lembaga Tingkat Dunia itu.
Apakah kita termasuk warga dunia yang tak berakal budi (?).
Seandainya Hikayat Aceh Dijumpai Lengkap,
Apakah Tetap Diakui Unesco?
Oleh: T.A. Sakti
SEJAUH yang masih tersimpan hingga hari ini,” Hikayat Aceh” bukanlah sebuah naskah lama (manuskrip) yang lengkap isinya. Alhamdulillah, walaupun demikian manuskrip ini sudah diakui Unesco; badan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sebagai Memory of the World, yakni Memori Warisan Budaya Dunia.
Dalam hal ini, apakah Unesco terlalu gegabah menyeleksinya?. Sama sekali tidak!. Saya amat yakin, bahwa salah satu faktor paling kuat yang menentukan Hikayat Aceh dapat diakui Unesco, karena manuskrip ini sudah dikaji Teuku Iskandar sebagai bahan disertasi di Universitas Leiden, Belanda tahun 1959.
Disertasi itu sebuah karya ilmiah tertinggi.
Sebelumnya, memang telah ada beberapa peneliti Barat yang mengutip Hikayat Aceh untuk memperkuat hujjah/alasan bagi disertasi mereka. Misalnya, Juynboll telah mengutip Hikayat Aceh bagi beberapa bagian karya ilmiahnya. Penulis Van der Linden, sudah menulis mengenai Hikayat Aceh dalam disertasi yang berjudul “Pengaruh Eropa dalam Literature Melayu”.
Dia dengan agak mendalam menulis tentang kedatangan utusan-utusan Portugis ke Aceh yang tersurat dalam Hikayat Aceh.
Setelah Perang Dunia ke II selesai, terbit pula disertasi Van Nieuwenhujze dengan judul “Samsu’l-Din van Pasai” (Syamsuddin dari Pasai). Dalam disertasi itu dicantumkan satu bab penuh isi Hikayat Aceh.
Sampai hari ini Syekh Syamsuddin Pasai sebagai penasehat Sultan Saidil Mukammil dan Sultan Iskandar Muda masih dianggap sebagai penulis Hikayat Aceh.
Walaupun sudah banyak dikaji dan dikutip para sarjana asing, tetapi penerbitan lengkap teks Hikayat Aceh tidak ada sampai sekarang ( tahun 1959). Maka “Untuk sekedar mengisi kekosongan itulah kami bermaksud menyajikan teks itu di sini”, kata Teuku Iskandar dalam disertasinya.
Aceh – Portugis harmonis
Masa pemerintahan Sultan Saiyidil Mukammil – kakek Sultan Iskandar Muda – adalah masa indah, makmur, damai dan tenteram. Selama 15 tahun (1589 – 1604) masa pemerintahannya, hubungan Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Portugis dalam kondisi harmonis yang bersahabat.
Beberapa peristiwa terkait tentang baiknya hubungan diplomatik antara kedua kerajaan itu dicantumkan panjang lebar dalam Hikayat Aceh. Pada kesempatan ini saya kutip kisah yang terpendek saja sebagai berikut:
“Apakala sampai Syah ‘ Alam (gelar lain bagi Sultan Saidil Mukammil) ke istana Bunga Setangkai, maka semayam seperti ‘adat semayam pada ketika menyuruh sambut surat daripada raja-raja asing itu. Maka Syah ‘Alam memeri (memberi) titah menyambut surat itu dengan hormatnya. Maka memeri titah Syah Alam kepada Syaikhul Islam menyuruh memeca (membaca) surat itu.
Maka tatkala terdengar perkataan dalam surat itu, maka Syah ‘Alampun sukacita, maka antusan itupun dikaruniai persalinan(diberi pakaian kebesaran yang lengkap – TA).
Setelah beberapa hari kemudian dari itu, maka Syah ‘Alam memberi titah memanggil antusan itu. Maka sabda Syah ‘Alam kepada antusan itu; “Apa kehendak Sultan Pertugal menyuruhkan kamu
kedua ini kepadaku?.”
Maka sembah Dang Dawis dan Dang Tumis, antusan yang kedua itu: Tuanku, kami dititahkan saudara tuanku menghadap duli halarat tuanku ini, bahwa dari tuanku hendak memohonkan Kota Biram yang ditepi laut itu”.
Maka Syah ‘Alampun tersenyum menengar (mendengar) sembah antusan itu.” (Teuku Iskandar, Hikayat Aceh , halaman 146).
Pada halaman 152 disebutkan:”Maka berapa lamanya antusan itu di Aceh maka iapun mohon kembali. Maka sabda Syah ‘Alam:”Baiklah, jika kamu kembali katakan pesan kita kepada raja Pertugal, bahwa raja Pertugal minta Kota Biram itu, bahwa Kota Biram itu kota yang mengawal Kuala Aceh.
Jikalau tempat lain yang dipinta raja Pertugal, niscaya kami beri”.
Perang 120 tahun
Salah satu bagian penting Hikayat Aceh yang hilang – entah kemana? – merupakan kisah berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam serta cerita kerajaan ini melakukan perang pengusiran terhadap penjajahan Portugis di Malaka selama 120 tahun.
Peristiwa ini dimulai pada masa Sultan Ali Mughyat Syah, sang pendiri kerajaan besar itu tahun 1514. Pada masa itu, Portugis sudah tiga tahun menguasai Kerajaan Malaka (1511) dan mulai memperluas kekuasaannya dengan menduduki Kerajaan Pasai, Pedir dan Kerajaan Daya di Sumatra..
Sultan Ali Mughayat Syah sangat khawatir dengan kondisi demikian. Ia memerintahkan Panglima Raja Ibrahim melakukan penyerangan terhadap Portugis di Daya, Pedir – Pidie dan Pasai.
Setelah tentera Portugis terusir dan pulang ke Malaka, maka berdirilah Kerajaan Aceh Darussalam, yang meliputi wilayah Aceh Besar, Daya, Pidie dan Pasai tahun 1524.
Sultan Ali Mughayat Syah yang telah mengusir Portugis dari daratan Sumatra, masih terus melanjutkan perlawanan terhadap Portugis yang sudah menjajah Malaka.
Setelah Sultan Ali Mughayat Syah meninggal tahun 1530, perjuangan mengusir penjajah Portugis di Malaka masih tetap diteruskan oleh sultan-sultan penggantinya. Dalam masa seabad lebih berkali-kali para sultan Aceh menyerang kota Malaka untuk mengusir Portugis.
Dalam disertasi sejarawan Perancis Denys Lombard; yang telah diterjemahkan, Kerajaan Aceh – Jaman Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636) juga dimuat daftar penyerangan Aceh ke Malaka, yaitu pada tahun 1537, 1547, 1568, 1573, 1575, 1582, 1587, 1606 dan 1629 (halaman 131).
Masa Sultan Iskandar Muda
Hikayat Aceh sama sekali tidak menyinggung masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Aceh selama 30 tahun (1607 – 1636). Manuskrip bagian ini telah hilang sepenuhnya. Padahal, bagian inilah mengandung sejarah Aceh yang cukup panjang, paling kurang lebih dua kali lipat dari manuskrip yang masih ada hingga sekarang.
Dalam buku “Perjuangan Orang Melayu Menentang Penjajahan Abad 15 – 19” karya Haji Buyung bin Adil, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia Kuala Lumpur 1985, pada bab enam diberi judul “Aceh Menentang Portugis (1537 – 1629).
Dalam bab ini secara panjang-lebar dijelaskan peran orang Melayu Aceh berperang melawan Portugis di Malaka.
Berikut kutipannya:”Kira-kira pada bulan November 1628, Sultan Iskandar Muda telah menghantarkan satu angkatan laut Acheh pergi mengepung dan menyerang orang Portugis di Melaka.
Angkatan perang Acheh itu mengandungi sebanyak 236 buah kapal lengkap dengan alat senjatanya membawa 20,000 orang askar (tentera) Acheh, di bawah pimpinan panglima Acheh yang bergelar Orang Kaya Laksamana dan Orang Kaya Raja Setia Lela.”(halaman 59).
Buku yang ditulis Haji Buyung bin Adil ini betul-betul adil dan bijaksana dalam menafsirkan sebuah peristiwa sejarah. Kerajaan Aceh dimasukkan dalam lingkungan Dunia Melayu, yang bersama-sama berjuang mengusir penjajah Portugis di Malaka.
Akibatnya, sampai sekarang rakyat Malaysia menghargai dan segera bersahabat dengan orang Aceh ketika mereka berjumpa di mana saja..
Akhirul kalam, saya memang tidak berencana menjawab pertanyaan pada judul artikel ini. Saya mengharapkan jawaban yang tepat dari para pembaca, ayoo biar lebih seru!.
*Penulis: Aneuk ubat Tabib Wen (pasien patah tahun 1986),di Rumoh Teungoh, Gampong Ujong Blang, Mukim Bungong Taloe, Kecamatan Beutong, Nagan Raya melaporkan dari Gampong Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie.
Tambeh: Laporan ini pernah dimuat dalam “Jurnalisme Warga” Serambi Indonesia, Banda Aceh pada bulan Agustus 2024 lalu.
(T.A. Sakti)